Kecerdasan buatan atau AI sudah bukan sekadar teknologi masa depan. Ia sudah hidup di tengah kita, memutuskan berita apa yang muncul di layar ponsel, menentukan kelayakan kredit, bahkan membantu dokter membaca hasil radiologi.
Tapi di tengah derasnya pemanfaatan AI di berbagai sektor, Indonesia masih berjalan tanpa payung hukum yang jelas. Regulasi yang ada saat ini hanya berupa surat edaran dan pedoman etika.
Pertanyaannya, sampai kapan kita terus “berimprovisasi” tanpa aturan main yang tegas?
Di atas kertas, pemerintah sudah mengakui pentingnya tata kelola AI. Kementerian Kominfo mengeluarkan pedoman etika yang menekankan prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Masalahnya, pedoman itu tidak memiliki kekuatan hukum.
Tidak ada sanksi bila perusahaan atau pengembang melanggar. Di sisi lain, penggunaan AI makin masif, termasuk di sektor publik.
Bayangkan jika keputusan administratif seperti penerimaan bantuan sosial didasarkan pada algoritma yang bias tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
Kekosongan hukum ini menimbulkan risiko nyata. Jika AI membuat keputusan yang merugikan seseorang, siapa yang bertanggung jawab? Pengembang, pengguna, atau pemerintah? Hukum Indonesia belum punya jawaban yang jelas.
AI masih dianggap sekadar alat, bukan entitas dengan potensi dampak sosial yang besar. Akibatnya, ketika terjadi kesalahan algoritma, proses hukum menjadi abu-abu.
Negara-negara lain tidak diam. Uni Eropa sudah melahirkan AI Act yang mengatur klasifikasi risiko dan tanggung jawab pengembang. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura juga sudah mulai menata regulasi dengan pendekatan berbeda.
Mereka tidak menunggu sampai kasus besar terjadi baru bereaksi. Sementara di Indonesia, diskusi soal undang-undang AI masih sebatas seminar dan wacana lintas kementerian.
Di satu sisi, dorongan untuk membuat undang-undang AI terasa mendesak. Kita butuh kepastian hukum, standar keamanan, dan mekanisme pengawasan yang jelas. AI bukan hanya urusan teknologi, tapi soal keadilan sosial dan etika publik.
Dalam konteks ekonomi, regulasi juga penting agar pelaku industri memiliki arah yang pasti. Tanpa aturan, perusahaan bisa seenaknya mengumpulkan data atau menjalankan sistem otomatis tanpa uji kelayakan yang memadai.
Namun di sisi lain, terlalu cepat membuat regulasi juga berisiko. Teknologi AI berkembang lebih cepat dari mesin birokrasi. Undang-undang yang kaku justru bisa menjadi penghambat inovasi.
Banyak startup lokal belum punya kapasitas besar untuk memenuhi standar audit algoritma atau uji etik yang rumit. Jika aturan dibuat tanpa mempertimbangkan kemampuan pelaku industri, hasilnya bisa kontraproduktif.
Artinya, Indonesia perlu pendekatan yang seimbang. Regulasi bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memberi arah.
Negara bisa mulai dengan kerangka dasar mengatur prinsip transparansi, akuntabilitas, dan hak pengguna tanpa mengekang ruang inovasi.
Model bertingkat bisa jadi solusi, di mana AI berisiko rendah diatur lebih longgar dan AI berisiko tinggi dikenakan pengawasan ketat.
Selain itu, penting juga membentuk lembaga pengawas AI yang independen. Tanpa pengawasan yang kuat, undang-undang hanyalah dokumen kosong. Pengawas ini bisa bertugas menilai kelayakan algoritma, mengaudit data, serta memastikan bahwa keputusan AI tidak diskriminatif.
Mekanisme semacam ini sudah diterapkan di beberapa negara dan terbukti efektif mengurangi penyalahgunaan teknologi.
Pada akhirnya, kebutuhan akan undang-undang AI bukan sekadar soal hukum, tapi soal masa depan. Kita sedang hidup di era ketika kode komputer bisa mengubah hidup seseorang.
Jika negara terus menunda, maka yang mengatur bukan lagi pemerintah, melainkan algoritma yang dibuat tanpa akuntabilitas.
Membiarkan AI berkembang tanpa regulasi ibarat membiarkan kendaraan tanpa rem melaju di jalan bebas hambatan. Cepat memang, tapi satu kesalahan bisa berujung fatal.
Indonesia tak harus buru-buru membuat undang-undang yang sempurna. Tapi kita perlu langkah nyata sebuah kerangka hukum yang mampu menjaga keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab. Karena pada akhirnya, yang harus dikendalikan bukan kecerdasannya, tapi bagaimana kita menggunakannya.

0Komentar