Garuda Indonesia mencatat kerugian Rp2,39 triliun pada semester I-2025, melonjak 41% dibanding tahun lalu. Simak penyebab dan dampak keuangan maskapai. (Wikimedia Commons)

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatat kerugian besar pada semester pertama 2025. Berdasarkan laporan keuangan interim per 30 Juni 2025 yang dirilis perseroan, rugi periode berjalan mencapai 142,83 juta dolar AS atau setara Rp2,39 triliun. Angka ini melonjak 41,37 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, saat kerugian masih berada di kisaran Rp1,69 triliun.

Kerugian tersebut terutama disebabkan oleh penurunan pendapatan usaha serta lonjakan beban keuangan. Pendapatan usaha tercatat turun dari 1,62 miliar dolar AS menjadi sekitar 1,55 miliar dolar AS. Segmen penerbangan berjadwal menyumbang penurunan terbesar, sementara penerbangan tidak berjadwal sedikit meningkat.

“Pada semester I-2025, tekanan terutama datang dari biaya keuangan dan penurunan keuntungan selisih kurs,” tulis manajemen Garuda dalam keterangannya yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia, Selasa (23/9). 

Dalam laporan yang sama, perusahaan juga menyebut ekuitas masih negatif dengan defisiensi modal mencapai sekitar 1,5 miliar dolar AS.

Meski rugi melebar, Garuda melaporkan arus kas dari aktivitas operasional masih positif sebesar 303,33 juta dolar AS, naik dari 235,06 juta dolar AS pada periode yang sama tahun lalu. Hal ini menunjukkan bisnis inti maskapai masih menghasilkan kas meski terbebani utang.

Sementara itu, Kementerian BUMN melalui PT Danantara Indonesia sebelumnya telah menyuntikkan dana Rp6,65 triliun ke Garuda pada Juni lalu. Dana tersebut diberikan dalam bentuk pinjaman pemegang saham untuk mendukung pemeliharaan armada dan kebutuhan operasional. 

“Pendanaan ini merupakan bagian dari program restrukturisasi dan transformasi bisnis Garuda,” kata pernyataan resmi Danantara seperti dikutip dari Tempo, Rabu (24/9).

Di sisi lain, wacana merger antara Garuda Indonesia dan Pelita Air masih menjadi sorotan. Sejumlah pengamat menilai langkah tersebut bisa memperkuat industri penerbangan nasional, tetapi juga menimbulkan tantangan baru terkait integrasi dan beban utang. 

“Merger memang bisa menciptakan efisiensi, tapi persoalan keuangan Garuda yang masih berat perlu diperhatikan,” ujar analis transportasi udara dari Indopremier Sekuritas.

Meski kinerja keuangan tertekan, saham Garuda tetap diburu investor asing. Data perdagangan Bursa menunjukkan pada 24 September 2025, saham GIAA menjadi salah satu yang paling banyak dibeli investor asing, dengan volume bersih mencapai 185,26 juta lembar.