![]() |
| Sejarah asal usul nama hari dalam bahasa Indonesia, dari pengaruh Arab, Latin, hingga tradisi lokal. Mengapa kita menyebut Senin sampai Minggu? (Pexels/Mehr Davon) |
Nama hari dalam bahasa Indonesia begitu akrab digunakan sehari-hari. Namun, tidak semua orang tahu dari mana asal sebutan Senin hingga Minggu itu muncul. Sejarah panjang bahasa, agama, dan budaya ikut memengaruhi bagaimana penamaan hari terbentuk.
Meski terlihat sederhana, penamaan hari menyimpan jejak pertukaran budaya di Nusantara. Dari tradisi Arab hingga pengaruh Eropa, setiap nama hari yang kini kita pakai punya cerita sendiri.
Pengaruh bahasa Arab
Nama hari dalam bahasa Indonesia pada dasarnya dipengaruhi kuat oleh bahasa Arab. Hal ini berkaitan dengan masuknya Islam ke kepulauan Nusantara sejak abad ke-13.
Dalam bahasa Arab, penamaan hari sederhana yaitu mulai dari al-Ithnayn (hari kedua) hingga al-Jum‘ah (hari berkumpul). Kata-kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu, dan akhirnya menjadi bentuk yang kita kenal sekarang.
Senin berasal dari al-Ithnayn (dua).
Selasa dari ath-Thulatha’ (tiga).
Rabu dari al-Arba‘a (empat).
Kamis dari al-Khamis (lima).
Jumat dari al-Jum‘ah (berkumpul).
Sabtu dari as-Sabt (istirahat).
Minggu awalnya dipengaruhi istilah Portugis dan Latin, meski ada perdebatan soal asalnya.
Penyerapan istilah Arab ini tidak lepas dari peran kitab keagamaan, pendidikan pesantren, dan interaksi dagang di masa lalu.
Minggu atau Ahad?
Dari semua nama hari, sebutan "Minggu" paling menarik. Sebagian orang mungkin masih ingat bahwa di buku-buku pelajaran agama Islam, hari terakhir pekan disebut Ahad, bukan Minggu.
Kata Ahad berasal dari bahasa Arab al-Ahad yang berarti "satu". Namun, dalam pemakaian sehari-hari, istilah itu tidak sepopuler "Minggu".
Lalu dari mana datangnya "Minggu"? Menurut ahli bahasa, istilah ini kemungkinan besar dipengaruhi bahasa Portugis. Kata Domingo (dari bahasa Latin dies Dominicus, hari Tuhan) diserap ke dalam bahasa Melayu dan berubah menjadi "Minggu".
Jadi, ada percampuran tradisi di sini: bahasa Arab mengenalkan "Ahad", sementara pengaruh Eropa menghadirkan "Minggu". Keduanya masih dipakai, meski "Minggu" lebih dominan dalam konteks umum.
Nama hari sebelum pengaruh Arab
Sebelum Islam masuk, masyarakat Nusantara tentu sudah mengenal sistem waktu. Di Jawa misalnya, ada penanggalan tradisional yang menggunakan pasaran Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Siklus pasaran ini dipadukan dengan tujuh hari dalam sepekan. Jadilah kombinasi 35 hari yang sampai sekarang masih dipakai dalam tradisi Jawa, termasuk untuk menentukan hari baik dalam pernikahan atau acara adat.
Di Bali, sistem penanggalan juga punya nama hari sendiri yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa konsep siklus waktu sudah lama hadir di kepulauan Indonesia, meski penamaannya bervariasi.
Pengaruh luar baru kemudian memperkaya istilah yang kita gunakan. Islam membawa istilah Arab, sementara kolonialisme dan interaksi global menghadirkan unsur Eropa.
Nama hari bukan sekadar tanda waktu, tapi juga punya fungsi sosial. Hari Jumat misalnya, identik dengan ibadah salat Jumat bagi umat Islam. Itu sebabnya, nama "Jumat" yang berasal dari kata "berkumpul" terasa sangat pas dalam praktik keagamaan.
Sementara itu, Sabtu dan Minggu di era modern dikenal sebagai akhir pekan atau hari libur. Konsep ini sejatinya datang dari Barat, ketika sistem kerja formal mengenalkan pola lima hari kerja.
Namun, dalam kehidupan masyarakat tradisional, perbedaan hari kerja dan hari libur tidak sejelas itu. Kalender pertanian, musim panen, dan upacara adat lebih berpengaruh daripada konsep akhir pekan.
Evolusi bahasa dan pemakaian sekarang
Seiring perkembangan bahasa, istilah nama hari juga mengalami penyesuaian ejaan. Misalnya, dulu ejaan "Djoemahat" dipakai untuk menyebut Jumat. Setelah ejaan bahasa Indonesia disempurnakan, bentuknya menjadi "Jumat".
Di beberapa daerah, masyarakat masih menggunakan istilah lokal. Di Jawa, orang bisa saja menyebut "Setu" untuk Sabtu. Di Sumatra atau daerah lain, variasi pelafalan juga ditemukan.
Meski berbeda-beda, masyarakat tetap saling memahami. Hal ini menunjukkan fleksibilitas bahasa Indonesia dalam menyerap dan menyesuaikan istilah dari berbagai sumber.
Mengetahui asal-usul nama hari memberi gambaran bagaimana bahasa Indonesia terbentuk. Ada jejak interaksi dengan dunia Arab, Eropa, dan juga warisan lokal Nusantara.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga arsip sejarah. Dari nama hari saja, kita bisa melihat perjalanan panjang masyarakat kepulauan ini dalam berhubungan dengan dunia luar.
Di tengah perkembangan zaman, istilah itu tetap dipakai tanpa banyak berubah. Generasi baru mungkin tak lagi memikirkan dari mana kata "Selasa" atau "Rabu" berasal, tapi mereka tetap menggunakannya setiap hari.
Nama hari dalam bahasa Indonesia adalah hasil pertemuan berbagai budaya. Islam memberikan dasar kuat lewat istilah Arab, kolonialisme menambahkan pengaruh Eropa, sementara tradisi lokal tetap bertahan dengan sistemnya sendiri.
Perubahan mungkin terjadi, tetapi tujuh nama yang kita pakai sekarang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dari jadwal sekolah hingga acara penting, istilah itu menjadi penanda waktu yang tak tergantikan.

0Komentar