Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah resmi menyepakati 11 poin penting dalam revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan mengubah struktur tata kelola perusahaan negara. Kesepakatan itu dicapai dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi UU BUMN di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Jumat (26/9/2025).
Perubahan paling mendasar dalam revisi ini adalah transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN), sebuah lembaga baru yang akan menjalankan fungsi pengawasan dan pengaturan perusahaan pelat merah.
“Pengaturan terkait lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang BUMN dengan nomenklatur Badan Pengaturan BUMN yang selanjutnya disebut BP BUMN,” kata Ketua Panja Revisi UU BUMN, Andre Rosiade, saat memimpin rapat, dikutip dari Koran BUMN.
Transformasi kelembagaan ini akan menjadi fondasi baru dalam pengawasan BUMN, sekaligus menegaskan pemisahan fungsi negara sebagai regulator dan pemilik perusahaan negara.
Revisi UU juga menetapkan aturan baru yang melarang menteri dan wakil menteri merangkap jabatan sebagai direksi, komisaris, atau dewan pengawas BUMN.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang memerintahkan penghapusan konflik kepentingan dalam struktur pengawasan BUMN.
“Larangan ini bertujuan mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan profesionalisme dalam pengelolaan BUMN,” ujar Andre.
Meski begitu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa aturan tersebut tidak berlaku untuk pejabat eselon I.
“Sampai hari ini belum ada larangan untuk eselon I,” kata Supratman, seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Kehadiran wakil pemerintah tetap diperlukan sebagai pengawas dalam struktur BUMN.”
Berdasarkan data Transparency International, hingga Juli 2025 terdapat 34 dari 56 wakil menteri dan pejabat setingkat yang masih menduduki posisi komisaris di berbagai BUMN.
Revisi UU juga memperkuat peran pengawasan eksternal. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kini memiliki kewenangan penuh untuk melakukan audit terhadap keuangan BUMN, langkah yang diyakini dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan negara.
“Pengaturan kewenangan pemeriksaan keuangan BUMN oleh BPK menjadi salah satu poin penting dalam revisi ini,” kata Andre, dikutip dari Detik.
Perubahan lain yang signifikan adalah penghapusan ketentuan lama yang menyebut direksi dan komisaris BUMN bukan penyelenggara negara. Dengan status baru sebagai penyelenggara negara, mereka kini dapat dijerat sanksi hukum jika terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“Dengan status ini, penegakan hukum terhadap pejabat BUMN akan lebih kuat dan tidak ada lagi celah hukum,” tegas Andre dalam kesempatan yang sama, seperti diberitakan Kompas.
Anggota Komisi VI DPR Firnando Hadityo Ganinduto menilai revisi ini akan memperkuat prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
“Perubahan ini menutup potensi konflik kepentingan dan memastikan pengelolaan BUMN berjalan secara profesional dan akuntabel,” ujarnya.
Revisi UU BUMN yang mencakup 84 pasal perubahan ini selanjutnya akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Setelah pengesahan, pemerintah akan menyusun Peraturan Presiden dalam waktu 30 hari untuk mengatur mekanisme transisi kelembagaan dari Kementerian BUMN ke BP BUMN.
Perubahan besar dalam struktur hukum ini menandai era baru dalam pengelolaan perusahaan negara — dari lembaga politik menuju lembaga pengaturan yang lebih profesional, transparan, dan bebas konflik kepentingan.

0Komentar