Penerimaan pajak digital Indonesia mencapai rekor Rp41,09 triliun hingga Agustus 2025. Kontribusi terbesar berasal dari PPN PMSE, fintech, dan aset kripto yang kini menjadi penopang utama kas negara di era ekonomi digital. (JIBI/Feby Freycinetiya)

Penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital Indonesia mencatatkan rekor tertinggi mencapai Rp41,09 triliun hingga 31 Agustus 2025. Angka ini menjadi sinyal kuat bahwa ekonomi digital kini bukan lagi pelengkap, melainkan salah satu pilar utama penggerak pendapatan negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli, menyebut capaian tersebut mencerminkan transformasi fiskal yang berjalan seiring dengan pesatnya aktivitas ekonomi berbasis teknologi. 

“Dengan realisasi sebesar Rp41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Dari total penerimaan tersebut, kontribusi terbesar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) yang mencapai Rp31,85 triliun. Penerimaan itu dikumpulkan dari 201 perusahaan digital aktif dari total 236 yang telah ditunjuk pemerintah sebagai pemungut pajak sejak kebijakan ini mulai berlaku pada 2020.

Tren penerimaan PPN PMSE terus menunjukkan kenaikan signifikan. Dari Rp731,4 miliar pada 2020, meningkat menjadi Rp3,90 triliun (2021), Rp5,51 triliun (2022), Rp6,76 triliun (2023), hingga Rp8,44 triliun sepanjang 2024. Dalam delapan bulan pertama 2025, total setoran mencapai Rp6,51 triliun.

Pada Agustus lalu, DJP juga menambah empat pemungut baru: Blackmagic Design Asia Pte Ltd, Samsung Electronics Co., Ltd., PIA Private Internet Access Inc, dan Neon Commerce Inc. Penunjukan TP Global Operations Limited dicabut di waktu yang sama.

Menurut pengamat pajak digital dari Universitas Indonesia, Arya Prabowo, tren ini menandakan basis pemungutan yang semakin luas. 

“Ekonomi digital tumbuh pesat, dan itu secara langsung meningkatkan potensi pajak. Tantangannya kini adalah memastikan semua pemain, termasuk yang kecil, masuk dalam radar pajak,” katanya kepada Kontan, Sabtu (27/9/2025).

Tak hanya dari perdagangan daring, penerimaan pajak dari sektor fintech juga mencatat kontribusi signifikan sebesar Rp3,99 triliun. 

Rinciannya terdiri dari PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp1,11 triliun, PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) Rp724,32 miliar, serta PPN Dalam Negeri Rp2,15 triliun.

Sementara itu, pajak dari transaksi aset kripto menyumbang Rp1,61 triliun, terbagi atas PPh Pasal 22 sebesar Rp770,42 miliar dan PPN Dalam Negeri Rp840,08 miliar. 

Adapun pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) tercatat Rp3,63 triliun, dengan PPh Pasal 22 sebesar Rp242,31 miliar dan PPN sebesar Rp3,39 triliun.

DJP menilai capaian ini tidak lepas dari strategi pemerintah dalam memperluas basis pajak digital, termasuk mendorong kepatuhan penyedia layanan luar negeri yang beroperasi di Indonesia. 

“Pemerintah optimis tren positif ini akan terus berlanjut seiring meluasnya basis pemungutan PPN PMSE, perkembangan industri fintech dan kripto, serta optimalisasi sistem digital dalam sektor pengadaan pemerintah,” tutur Rosmauli.

Kementerian Keuangan sebelumnya telah menyatakan bahwa pajak digital akan menjadi salah satu prioritas utama dalam strategi penerimaan jangka menengah. 

Langkah ini diambil seiring pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke platform daring dan meningkatnya transaksi keuangan berbasis teknologi.

Dengan pertumbuhan sektor digital yang diperkirakan terus berakselerasi, kontribusinya terhadap pendapatan negara diprediksi akan semakin besar dalam beberapa tahun ke depan. 

Pemerintah pun tengah menyiapkan sejumlah kebijakan lanjutan untuk memastikan potensi tersebut dapat dimaksimalkan.