Direktorat Jenderal Pajak menghadapi tantangan besar menarik pajak dari sektor informal Indonesia yang masih dominan. Pemerintah lakukan berbagai strategi termasuk multi-door approach dan insentif UMKM. (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali menyoroti tantangan besar dalam memperluas basis perpajakan, khususnya dari sektor informal yang masih mendominasi perekonomian Indonesia. Pernyataan itu disampaikan dalam forum internasional di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa sektor informal tengah tertekan akibat kondisi ekonomi yang dinamis. Situasi tersebut membuat upaya penarikan pajak kian rumit. 

“Ini sudah bertahun-tahun kita coba masuk ke dalam bagaimana informal sektor itu bisa masuk ke dalam formal sektor. Jadi berbagai macam cara sudah kita mulai,” ujarnya dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Februari 2025 jumlah pekerja sektor informal mencapai 86,58 juta orang atau 59,40% dari total angkatan kerja. 

Angka itu naik dibanding periode sebelumnya. Sementara pekerja di sektor formal tercatat 59,19 juta orang atau 40,60%. Kondisi ini mempertegas dominasi sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan nasional.

Porsi besar tenaga kerja di sektor informal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak sekaligus menaikkan rasio perpajakan yang saat ini masih bertahan di kisaran 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk menjawab hambatan itu, DJP menerapkan strategi multi-door approach yang melibatkan koordinasi lintas lembaga. Mekar menyebutkan, pendekatan ini menekankan sinkronisasi antara kepatuhan pajak dengan pemberian izin usaha. 

“Kita sekarang Pak Bimo (Dirjen Pajak) kuat sekali bicara mengenai multi-door approach. Artinya kita mendekati semua, mulai dari aparat penegak hukum, termasuk pihak-pihak yang memang bisa memberikan data dan informasi kepada kita,” katanya.

Salah satu langkah konkret yang ditempuh ialah mewajibkan pengecekan kepatuhan pajak sebelum izin usaha disetujui, termasuk Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). 

Langkah ini diambil setelah sebelumnya ditemukan kasus izin usaha diberikan kepada perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Di sisi lain, pemerintah juga menurunkan tarif pajak final untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 1% menjadi 0,5% dari omzet. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum cukup menjaring pelaku usaha. 

“Itu pun belum bisa menjaring banyak warga masyarakat kita. Dan itu banyak isu-isu yang masuk ke sosial politiknya juga nanti harus kita pertimbangkan di dalam diskusi-diskusi kita,” ucap Mekar.

Untuk memperluas jangkauan, pemerintah memperpanjang fasilitas PPh final 0,5% hingga 2029. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebijakan ini menyasar 542.000 wajib pajak dengan alokasi anggaran Rp2 triliun. Fasilitas itu hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun.

Ekonom pajak dari DDTC, seperti dikutip news.ddtc.co, menilai tantangan perpajakan sektor informal bukan hanya menekan penerimaan negara, tetapi juga membuat rasio pajak sulit bergerak naik. Dengan shadow economy yang mencapai hampir 60% tenaga kerja, ruang fiskal pemerintah untuk membiayai pembangunan masih terbatas.

Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan pajak sektor informal bukan sekadar teknis administrasi, melainkan juga menyangkut struktur ekonomi dan sosial yang masih sangat besar di luar sistem formal.