Rusia diam-diam memasok teknologi militer canggih kepada Tiongkok yang dinilai dapat mempercepat kemampuan Beijing untuk melakukan invasi udara ke Taiwan hingga 10 sampai 15 tahun lebih awal, menurut dokumen bocor yang dianalisis Royal United Services Institute (RUSI), lembaga think tank pertahanan berbasis di London.
Sekitar 800 halaman kontrak dan korespondensi yang diperoleh kelompok peretas Black Moon dan dipublikasikan RUSI menunjukkan bahwa Moskwa telah menyetujui penjualan peralatan militer senilai lebih dari US$210 juta (sekitar Rp3,4 triliun) kepada Beijing.
Dokumen itu merinci bahwa Rusia akan mengirimkan 37 kendaraan serbu amfibi ringan, 11 meriam anti-tank swa-gerak, serta 11 pengangkut personel lapis baja udara dan kendaraan komando yang dimodifikasi dengan sistem komunikasi buatan Tiongkok. Seluruh peralatan tersebut juga disesuaikan untuk amunisi buatan Beijing.
Lebih jauh, paket kerja sama itu juga mencakup sistem parasut Dalnolyot, teknologi yang dirancang untuk penerjunan dari ketinggian hingga 32.000 kaki (sekitar 9.750 meter). Sistem ini memungkinkan pasukan terjun meluncur sejauh 50 mil tanpa terdeteksi radar.
“Ini akan memungkinkan kelompok pasukan khusus China untuk menembus wilayah negara lain tanpa diketahui,” tulis laporan RUSI yang dikutip oleh ABC News, Minggu (28/9).
Perubahan Strategi “Tahap Nol”
Analis RUSI, Oleksandr Danylyuk, menyebut kemampuan Dalnolyot dapat dimanfaatkan untuk strategi “tahap nol” dalam skenario invasi Taiwan. Strategi ini memungkinkan Beijing menyusupkan pasukan khusus dan peralatan tempur ke wilayah sekitar Taiwan tanpa melanggar wilayah udara langsung.
“China dapat menggunakan kemampuan ini untuk menerjunkan kendaraan lapis baja di dekat pelabuhan atau landasan udara Taiwan, membuka jalan bagi kekuatan invasi yang lebih besar,” ujar Danylyuk dalam analisisnya.
Selain transfer peralatan, Rusia juga berkomitmen melatih pasukan terjun payung Tiongkok secara langsung di kedua negara. Instruktur militer Rusia disebut akan memberikan pelatihan pengoperasian kendaraan, pengendalian tembakan, hingga manuver lintas udara.
Tak hanya itu, Moskwa juga akan membantu pembangunan pusat pemeliharaan di Tiongkok lengkap dengan dokumentasi teknis, yang dapat menjadi dasar bagi produksi domestik di masa depan.
“Nilai terbesar dari kesepakatan ini kemungkinan ada pada pelatihan serta prosedur komando dan pengendalian pasukan lintas udara, karena Rusia memiliki pengalaman tempur yang luas, sedangkan Tiongkok tidak,” tulis analis RUSI lainnya, Jack Watling.
Komentator militer Tiongkok, Song Zhongping, mengakui hal itu. “Tiongkok mungkin memiliki peralatan yang lebih unggul, tetapi Rusia memiliki lebih banyak pengalaman tempur,” katanya kepada media lokal di Beijing.
Terkait Perintah Xi Jinping dan Tekanan AS
Kesepakatan militer ini muncul di tengah laporan intelijen Amerika Serikat yang menyebut Presiden Xi Jinping telah memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk siap melakukan invasi ke Taiwan pada 2027. Target waktu itu bertepatan dengan meningkatnya tensi geopolitik di Selat Taiwan.
Kondisi ini juga terjadi saat Presiden AS Donald Trump dilaporkan menunda persetujuan bantuan militer senilai US$400 juta untuk Taiwan karena negosiasi dagang dengan Beijing.
Menurut RUSI, kerja sama Moskwa-Beijing memiliki dua motif utama yaitu mengalirkan dana ke industri pertahanan Rusia sekaligus mendorong Beijing ke dalam konflik strategis dengan Washington terkait Taiwan sebuah langkah yang berpotensi mengalihkan perhatian Barat dari perang di Ukraina.
Dokumen yang sama menunjukkan bahwa kesepakatan awal dicapai pada April 2021, dengan dua tahap pertama analisis teknis dan produksi peralatan selesai pada September 2024.
Sementara itu, pemerintah Rusia maupun Tiongkok belum memberikan tanggapan resmi atas laporan bocoran tersebut. Namun, analis menyebut kerja sama militer ini bisa menjadi titik balik dalam dinamika keamanan Indo-Pasifik, terutama terkait kesiapan Taiwan menghadapi ancaman invasi dalam waktu dekat.

0Komentar