![]() |
| AS dan sekutunya mempercepat pengembangan drone mirip Shahed Iran untuk menghadapi ancaman amunisi murah jarak jauh yang mengubah strategi perang. (Tangkapan layar video wsj.com) |
Amerika Serikat dan sekutu Eropanya tengah berpacu mengembangkan sistem senjata baru yang terinspirasi dari drone Shahed buatan Iran, sebagai respons terhadap perubahan dinamika peperangan modern yang kini mengandalkan amunisi jarak jauh berbiaya murah.
Langkah ini muncul menyusul peningkatan dramatis penggunaan drone Shahed oleh Rusia dalam perang Ukraina.
Menurut data intelijen Barat, Moskow telah meluncurkan lebih dari 33.000 unit varian Shahed sepanjang 2025, naik tujuh kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 4.800 unit.
Peningkatan itu mendorong Pentagon membentuk satuan tugas baru pada pekan ini untuk mempercepat pengembangan alternatif drone versi Amerika.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyampaikan pada Selasa (23/9) bahwa Komando Pusat AS (CENTCOM) kini memiliki unit khusus yang ditugaskan menghadirkan drone siap tempur untuk pasukan AS di Timur Tengah dalam waktu 60 hari.
“Target kami adalah membekali setiap regu dengan drone sekali pakai pada akhir 2026, dengan prioritas untuk unit yang bertugas di kawasan Indo-Pasifik,” ujar Hegseth.
Upaya meniru desain Shahed bukan sekadar ide. Sejumlah kontraktor pertahanan AS telah memamerkan drone baru yang sangat mirip dengan desain Iran dalam pameran Pentagon musim panas ini. Dari 18 prototipe yang ditampilkan, beberapa sistem yang paling menonjol adalah “LUCAS” buatan SpectreWorks dan “Arrowhead” milik Griffon Aerospace.
Angkatan Udara AS bahkan mengambil langkah lebih jauh dengan berencana membeli 16 unit replika Shahed-136 dari industri domestik guna mengembangkan sistem pertahanan dan strategi penangkal. Permintaan itu mengharuskan replika memiliki bentuk, ukuran, dan fungsi “identik 1:1” dengan model aslinya.
Salah satu contoh pendekatan baru datang dari MQM-172 Arrowhead milik Griffon Aerospace. Drone sayap delta ini mampu membawa muatan hingga 100 pon dan dapat diluncurkan melalui berbagai metode, mulai dari sistem pneumatik hingga roket bantu. Tidak seperti Shahed yang bersifat sekali pakai, Arrowhead dirancang berfungsi ganda sebagai target pelatihan maupun senjata serang.
Perusahaan asal Swedia, Saab, juga ikut dalam tren ini dengan mengembangkan drone pelatihan militer yang menyerupai amunisi Iran untuk kebutuhan simulasi tempur.
Meski pengembangan berjalan cepat, tantangan terbesar militer Barat tetap pada soal biaya. Produksi drone Shahed oleh Rusia di Zona Ekonomi Khusus Alabuga disebut telah memangkas harga per unit menjadi sekitar US$70.000.
Perkiraan sebelumnya dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan biaya produksi bahkan bisa serendah US$35.000.
Sebaliknya, kontraktor pertahanan AS masih berkutat pada harga yang jauh lebih tinggi. Anduril Industries, misalnya, menjual 291 unit drone jarak jauh Altius ke Taiwan tahun lalu dengan harga lebih dari US$1 juta per unit, termasuk pelatihan dan dukungan infrastruktur.
Presiden Donald Trump sempat menyoroti kesenjangan biaya itu pada Mei lalu. “Iran membuat drone seharga US$35.000 sampai US$40.000, sedangkan produsen kita menjual model sebanding seharga US$41 juta,” kata Trump dalam pidatonya.
Meski begitu, perusahaan pertahanan Barat membela produk mereka dengan menyebutkan adanya kemampuan yang lebih tinggi.
Perusahaan asal Inggris, MGI Engineering, misalnya, menegaskan bahwa drone “Skyshark” miliknya mampu terbang hingga 280 mil per jam, jauh lebih cepat dari Shahed-136 yang hanya 115 mil per jam.
Lonjakan penggunaan drone oleh Rusia mencerminkan pergeseran taktik besar dalam strategi militer. Moskow kini mengerahkan hampir 5.000 unit Shahed setiap bulan, dibandingkan hanya 150–200 unit pada awal invasi.
Puncak serangan terjadi pada 7 September, ketika Rusia meluncurkan 860 drone dan rudal dalam satu malam—serangan udara terbesar sejak perang dimulai. Beberapa drone bahkan dilaporkan melintasi wilayah udara NATO di Polandia, memicu kekhawatiran akan eskalasi konflik.
“Penempatan drone produksi massal oleh Rusia untuk menetralkan pertahanan Ukraina merupakan game changer,” kata James Patton Rogers, pakar drone dari Brooks Institute for Tech Policy, Universitas Cornell. “Serangan presisi berbiaya rendah kini menjadi salah satu ancaman paling serius bagi keamanan internasional.”
Perlombaan teknologi drone kini tak lagi sekadar soal kecanggihan, tetapi juga tentang kapasitas produksi dan efisiensi biaya.
Bagi militer Barat, tantangan utamanya adalah beradaptasi dengan era perang baru yang menempatkan kuantitas dan keterjangkauan sebagai faktor utama, menantang paradigma pengadaan senjata konvensional yang selama ini mengutamakan kecanggihan di atas segalanya.

0Komentar