Malaysia berhasil menjadi negara kedua terbaik di Asia dalam work-life balance menurut Global Life-Work Balance Index 2025. (Foto: Xinhua/Chong Voon Chung)

Malaysia baru-baru ini diakui sebagai negara terbaik kedua di Asia dalam hal mencapai keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance), hanya berada di bawah Singapura. 

Hasil ini dirilis oleh Global Life-Work Balance Index 2025 yang disusun perusahaan manajemen kerja jarak jauh, Remote.

Negara tersebut memperoleh skor 57,03 dari 100, berdasarkan indikator seperti jumlah cuti tahunan, cuti sakit berbayar, akses layanan kesehatan, hingga tingkat kebahagiaan masyarakat. Secara global, Malaysia menempati peringkat ke-27 dari 60 negara yang dievaluasi.

Sebaliknya, Indonesia berada di posisi keenam di Asia dengan skor 52,07, menempati peringkat global ke-34 di atas Arab Saudi, Israel, dan Ukraina.

Pencapaian Malaysia tahun ini dianggap mengejutkan karena pada 2024 negara tersebut justru berada di posisi nyaris terbawah, yakni peringkat ke-59 dari 60 negara dengan skor hanya 27,51, tepat di atas Nigeria.

Lonjakan peringkat yang signifikan dalam satu tahun menunjukkan adanya perubahan besar dalam kebijakan ketenagakerjaan dan kesejahteraan pekerja.

Menurut laporan Remote, faktor utama yang mendorong kenaikan Malaysia adalah peningkatan standar cuti, sistem cuti sakit berbayar, serta akses kesehatan yang sebagian besar ditanggung pemerintah. 

Selain itu, skor kebahagiaan masyarakat Malaysia mencapai 5,96, yang turut mendongkrak penilaian.

“Ini menunjukkan pemerintah Malaysia mulai lebih serius memperhatikan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, sesuatu yang semakin menjadi perhatian global,” kata Ahmad Fadli, peneliti ketenagakerjaan di Universiti Malaya, saat diwawancara oleh media lokal.

Meskipun Malaysia naik pesat, Singapura masih menjadi negara terbaik di Asia dalam hal work-life balance dengan skor 57,85.

Perbedaan skor antara Singapura dan Malaysia cukup tipis, hanya 0,82 poin. Faktor yang membuat Singapura unggul antara lain adanya upah minimum lebih tinggi, fasilitas kesehatan berkualitas, serta dukungan kebijakan pemerintah dalam pengaturan jam kerja.

Di tingkat global, peringkat tertinggi ditempati oleh Selandia Baru dengan skor 86,87, disusul Irlandia, Belgia, Jerman, dan Norwegia. 

Negara-negara ini dikenal memiliki cuti wajib yang panjang, sistem upah adil, serta jam kerja mingguan lebih singkat dibanding negara lain.

Indonesia berada di posisi keenam di Asia dengan skor 52,07, di bawah Jepang (56,54), Taiwan (54,61), dan Korea Selatan (53,42).

Secara global, Indonesia berada di peringkat 34, lebih tinggi dari Arab Saudi (50,79), Israel (49,79), dan Ukraina (49,77).

Menurut Ratri Nuraini, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, posisi Indonesia cukup baik namun masih jauh dari ideal.

“Indonesia punya modal dengan jumlah cuti tahunan minimal yang relatif lebih tinggi dari Malaysia. Tapi faktor jam kerja panjang, tekanan produktivitas, serta sistem cuti sakit yang tidak seragam membuat skor kita tertahan,” jelas Ratri.


Faktor penilaian indeks

Indeks keseimbangan kehidupan dan pekerjaan yang dirilis Remote menggunakan 10 indikator utama, antara lain:

• Hak cuti tahunan berbayar.

• Kebijakan cuti sakit dan pembayaran selama cuti.

• Cuti melahirkan.

• Upah minimum per jam.

• Rata-rata jam kerja mingguan.

• Akses terhadap layanan kesehatan.

• Skor kebahagiaan masyarakat.

• Tingkat keamanan pekerja.

• Inklusivitas bagi komunitas LGBTQ+.

• Kebijakan perlindungan sosial lain.

Negara yang berada di peringkat atas umumnya memiliki kombinasi kebijakan kerja fleksibel, perlindungan pekerja yang kuat, serta infrastruktur sosial yang mendukung kesejahteraan.


Perbandingan cuti kerja Malaysia dan Indonesia


Cuti tahunan
Di Indonesia, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, pekerja berhak atas cuti tahunan minimal 12 hari kerja. Beberapa perusahaan memberikan tambahan cuti berdasarkan masa kerja.

Di Malaysia, jumlah cuti tahunan bergantung pada masa kerja. Bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 2 tahun, cuti tahunan hanya 8 hari. Masa kerja 2–5 tahun mendapat 12 hari, dan lebih dari 5 tahun berhak 16 hari.


Cuti sakit
Malaysia memberi cuti sakit berbayar penuh yang jumlahnya meningkat sesuai masa kerja: 14 hari (kurang dari 2 tahun), 18 hari (2–5 tahun), dan 20 hari (lebih dari 5 tahun). Ada juga cuti sakit rawat inap hingga 60 hari setahun.

Di Indonesia, hak cuti sakit diakui tetapi jumlah hari tidak diatur setegas cuti tahunan. Kebijakan bervariasi antar perusahaan, dengan dukungan BPJS Ketenagakerjaan untuk kondisi tertentu.


Cuti melahirkan
Kedua negara mengikuti rekomendasi ILO, memberikan cuti sekitar 3 bulan dengan tanggung jawab pendanaan dari pengusaha.


Hari libur nasional dan cuti bersama
Indonesia memiliki 16 hari libur nasional per tahun, ditambah cuti bersama sekitar 8 hari.

Malaysia memiliki sekitar 14 hari libur nasional, tanpa cuti bersama tambahan.


Perbandingan tersebut menunjukkan Indonesia unggul pada cuti tahunan standar (12 hari) yang berlaku untuk semua pekerja, sedangkan Malaysia lebih fleksibel dan bertingkat sesuai masa kerja.

Namun Malaysia lebih unggul dalam kebijakan cuti sakit yang jelas, berbayar, dan memiliki aturan khusus untuk rawat inap.

“Cuti sakit yang terstruktur membuat pekerja di Malaysia lebih terlindungi ketika menghadapi kondisi darurat kesehatan,” kata Mohd Azlan, konsultan ketenagakerjaan di Kuala Lumpur.

Hasil indeks ini mencerminkan tren global yang menekankan pentingnya keseimbangan kerja dan kehidupan. 

Negara-negara yang berada di peringkat atas cenderung memiliki jam kerja lebih pendek, gaji tinggi, serta jaminan sosial kuat.

Di Selandia Baru misalnya, pemerintah mendorong program kerja empat hari dalam seminggu sebagai uji coba. Di Jerman, pekerja mendapat rata-rata lebih dari 20 hari cuti berbayar per tahun, belum termasuk libur nasional.

Kebijakan tersebut didukung dengan produktivitas kerja yang tetap tinggi, menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja bisa berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.


Tantangan Indonesia

Bagi Indonesia, tantangan utama terletak pada jam kerja panjang dan minimnya regulasi detail terkait cuti sakit.

Selain itu, tingkat upah minimum yang relatif rendah dibanding negara tetangga membuat pekerja sering harus mengambil pekerjaan tambahan, yang mengurangi waktu untuk keluarga dan aktivitas pribadi.

“Kebijakan cuti di Indonesia cukup baik di atas kertas, tapi implementasinya tidak merata. Banyak perusahaan kecil yang masih kesulitan memberi hak cuti penuh karena alasan biaya,” ujar Siti Andayani, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ketenagakerjaan Nusantara.

Kenaikan pesat Malaysia dari posisi terbawah ke salah satu yang terbaik di Asia menyoroti pentingnya reformasi kebijakan ketenagakerjaan. 

Peringkat yang lebih baik tidak hanya meningkatkan reputasi negara, tetapi juga memengaruhi daya tarik investasi asing dan kualitas hidup masyarakat.

Indonesia, meski berada di posisi menengah, masih memiliki ruang perbaikan besar. Dengan memperbaiki aturan cuti sakit, memperkuat jaminan sosial, serta menekan jam kerja berlebihan, Indonesia berpotensi meningkatkan peringkatnya dalam tahun-tahun mendatang.