Menteri perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, berjalan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Jumat (01/11). (ANTARA FOTO)

Mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong, dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025. Putusan ini dinilai mengejutkan banyak pihak bukan karena beratnya hukuman, tapi karena nuansa politik yang disebut-sebut kental membayangi proses hukum mantan pejabat era Presiden Joko Widodo itu.

Tom Lembong dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan korupsi pemberian izin impor gula pada tahun 2015. 

Ia dianggap melanggar prosedur hukum, tidak melalui koordinasi lintas kementerian, dan memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan swasta yang belakangan dianggap tidak layak menerima fasilitas impor. 

Akibat kebijakan itu, negara disebut mengalami kerugian keuangan, meskipun tidak disebutkan secara rinci angka kerugian tersebut dalam putusan majelis.

Selain pidana badan, Tom Lembong juga dijatuhi denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, hakim tidak menjatuhkan kewajiban uang pengganti karena menilai tidak ada keuntungan pribadi yang diterima oleh terdakwa dari kebijakan tersebut. 

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika menyatakan, “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Thomas Trikasih Lembong dengan pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan. Menjatuhkan denda Rp750 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar digantikan kurungan selama 6 bulan.”

Sejumlah pengamat menilai, vonis ini bukan semata persoalan hukum, melainkan cermin dari proses peradilan yang diduga mulai kehilangan independensinya. 

Pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, menegaskan bahwa secara formil, vonis 4,5 tahun itu masih sesuai hukum karena memenuhi ketentuan minimal dua pertiga dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 7 tahun penjara. 

Namun, ia menyoroti fakta bahwa Lembong hanya menjalankan perintah atasan.

“Tom Lembong dianggap terbukti melanggar Pasal 2 UU Tipikor, yang memang punya ancaman hukuman minimal 4 tahun. Karena itu putusan hakim secara hukum sah-sah saja,” kata Hudi. 

Tapi ia langsung menambahkan nada kritik: “Yang jadi masalah adalah Tom Lembong hanya ‘pembantu’ yang jalankan perintah majikan. Yang memberi perintah belum diproses hukum, ada apa?”

Pernyataan itu menggarisbawahi dugaan bahwa proses hukum terhadap Tom Lembong menyisakan ketimpangan. Menurut Hudi, aktor intelektual di balik kebijakan impor gula itu justru belum disentuh aparat hukum. 

“‘Majikan’ seyogyanya diproses hukum, bukan hanya ‘pembantu’. Masalah utama ada pada perintah sang majikan. Ini proses peradilan sesat yang bernuansa politik,” tegasnya.

Sentimen ini diamini oleh banyak kalangan sipil dan akademisi. Profesor Anthony Budiawan, salah satu ekonom yang vokal, menyebut vonis terhadap Lembong sangat ganjil jika dilihat dari data ekonomi dan kebijakan impor tahun 2015. 

Ia menyoroti tidak adanya bukti kerugian negara yang dihitung resmi, serta kenyataan bahwa tidak ada kelebihan pasokan gula saat itu. Artinya, keputusan untuk impor punya justifikasi rasional.

Kasus ini juga menjadi sorotan karena terjadi 9 tahun setelah kebijakan itu diberlakukan. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa baru sekarang kasus ini diusut? 

Apalagi, sejak 2016 hingga 2024, ada tiga menteri perdagangan yang melakukan kebijakan serupa mengeluarkan izin impor komoditas tertentu tanpa koordinasi penuh lintas kementerian namun tidak satu pun dari mereka terseret proses hukum. 

“Tiga atau empat Menteri Perdagangan setelah Tom Lembong juga melakukan impor gula… tetapi mereka aman-aman saja,” ujar salah satu pengamat kebijakan pangan yang enggan disebutkan namanya.

Spekulasi pun mengarah pada posisi politik Tom Lembong dalam Pilpres 2024 lalu. Sebagai mantan anggota tim sukses pasangan AMIN (Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar), Lembong disebut sebagai figur penting di lingkaran strategis oposisi. 

“Kasus pesanan itu sangat terasa… karena pemesan tidak terima Tom Lembong bergabung dalam Tim Sukses AMIN di Pilpres lalu,” ujar seorang aktivis yang terlibat dalam pemantauan proses hukum para tokoh oposisi.

Di kalangan pengamat hukum dan politik, pola semacam ini bukan barang baru. Dalam berbagai kasus korupsi, seringkali terlihat pola pemilihan target yang selektif. 

Jika ada keuntungan politik yang bisa diraih dari menghukum satu pihak, maka proses hukum bisa bergulir sangat cepat. Sebaliknya, jika pihak yang bersangkutan punya kedekatan dengan pusat kekuasaan, proses itu bisa seolah-olah menguap.

Fenomena ini dinilai berbahaya dalam jangka panjang. Bukan hanya merusak persepsi publik terhadap sistem hukum, tetapi juga membuat birokrasi ragu-ragu dalam mengambil keputusan. 

“Kalau setiap kebijakan menteri yang tak populer bisa ditarik jadi perkara pidana bertahun-tahun kemudian, siapa yang berani ambil risiko?” kata Hudi Yusuf.

Dalam konteks ini, vonis terhadap Tom Lembong bukan hanya soal pribadi seorang mantan menteri. Ini adalah alarm bagi dunia hukum dan tata kelola pemerintahan. Proses hukum yang kehilangan netralitas bisa menjadi alat kekuasaan yang represif, bukan lagi pelindung keadilan.

Kasus ini juga menjadi cermin bagaimana politik dan hukum saling bertaut. Ketika aturan main bisa ditafsirkan secara fleksibel, maka siapa yang berkuasa bisa menentukan siapa yang bersalah. Jika pola ini terus dibiarkan, tak menutup kemungkinan hukum akan makin kehilangan legitimasi di mata publik.

Sementara itu, hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kejaksaan Agung soal kemungkinan pengusutan aktor lain dalam kasus impor gula 2015. Namun tekanan dari publik terus meningkat, agar tidak hanya Tom Lembong yang dikorbankan dalam perkara ini.

Sejumlah kelompok masyarakat sipil bahkan tengah menggalang petisi dan mendesak Komisi Yudisial serta Komnas HAM untuk mengawasi proses ini lebih ketat. 

Mereka menilai, kasus ini bisa menjadi titik balik untuk menilai sejauh mana penegakan hukum di Indonesia benar-benar berdiri di atas keadilan bukan sekadar alat politik pihak yang berkuasa.