Meski dikenal sebagai simbol kemajuan teknologi global, Jepang justru tertinggal dalam digitalisasi layanan publik dan keamanan siber. (REUTERS)


Toilet otomatis yang bicara. Robot yang menyapa di pintu restoran. Kereta peluru meluncur 320 kilometer per jam tanpa suara. Citra ini lekat dengan Jepang di mata dunia. Negeri Matahari Terbit sejak lama dikenal sebagai simbol kecanggihan teknologi. 

Tapi siapa sangka, di balik semua kemewahan futuristik itu, Jepang justru menyimpan ironi besar yang selama bertahun-tahun dibiarkan. seperti ketertinggalan digital yang akut, menghambat efisiensi birokrasi, melemahkan pertahanan siber, dan mempersulit kehidupan warga sehari-hari.

Selama bertahun-tahun Jepang dipuji karena inovasinya di bidang manufaktur dan robotik. Tapi ketika dunia berlari menuju digitalisasi layanan publik dan sistem kerja yang fleksibel, Jepang malah terjebak dalam labirin prosedur analog yang lambat, tidak praktis, dan mudah disusupi. 

Banyak kementerian dan perusahaan besar di negeri ini masih mengandalkan mesin faksimile, menyimpan data di disket, dan mewajibkan penggunaan stempel pribadi atau hanko untuk mengesahkan dokumen penting. Beberapa bahkan menyuruh karyawan datang ke kantor hanya untuk menekan cap.

Situasi ini menjadi bumerang saat pandemi COVID-19 merebak. Ketika negara-negara lain mulai menyalurkan bantuan sosial dan pelacakan COVID secara digital dan real time, Jepang justru kelabakan karena tidak memiliki sistem terpadu. 

Aplikasi pelacakan gagal berfungsi. Bantuan keuangan tersendat berminggu-minggu. Kupon vaksin bahkan masih dikirim lewat pos biasa. Semuanya seperti ironi dari negara yang kita kira sudah hidup di masa depan.

Masalah ini makin krusial saat Jepang menjadi target empuk serangan siber dari kelompok peretas asing. Bukan satu atau dua, tetapi lebih dari dua ratus lembaga pemerintah, perusahaan teknologi, lembaga riset, dan bahkan pelabuhan serta bandara telah menjadi korban. 

Dunia melihat, Jepang yang futuristik di permukaan ternyata rapuh di dalam. Sistem digitalnya keropos, keamanannya lemah, dan responsnya lambat.

Mengapa negara sebesar Jepang bisa tertinggal sejauh ini? Dan apa upaya mereka untuk mengejar ketinggalan sebelum semuanya terlambat?


Serangan Siber Setiap 13 Detik: Citra Aman Jepang Kini Dirusak Hacker

Ancaman terbesar bagi sistem digital Jepang datang dari luar negeri. Sejak 2019, kelompok peretas MirrorFace yang diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintah China, telah melancarkan serangan siber sistematis terhadap Jepang. 

Dalam empat tahun, lebih dari 210 entitas disusupi. Mulai dari Kementerian Pertahanan dan Luar Negeri, hingga Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), lembaga riset teknologi tinggi, serta perusahaan yang bergerak di bidang semikonduktor dan pertahanan.

MirrorFace dikenal sebagai bagian dari jaringan peretasan APT10. Modus mereka beragam, mulai dari spear-phishing menggunakan email dengan judul politis seperti “Taiwan Strait” atau “Japan-US Alliance”, hingga menyusup lewat celah sistem VPN, lalu memasukkan malware canggih seperti LODEINFO dan NOOPDOOR yang disamarkan lewat Windows Sandbox agar tidak terdeteksi oleh sistem keamanan standar.

Skalanya mencengangkan. Pada Desember 2023, lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines tertunda akibat serangan DDoS terhadap sistem IT maskapai. 

Di tahun yang sama, Pelabuhan Nagoya, pelabuhan terbesar Jepang yang menangani lebih dari 10 juta kontainer per tahun, lumpuh selama dua hari akibat serangan ransomware. 

Meski berlokasi di pusat riset antariksa dan modern secara fisik, lembaga ini menjadi korban kebocoran data sensitif karena mengandalkan sistem IT warisan yang dibangun dua dekade lalu dan jarang diperbarui. (Getty Images)

JAXA mengalami kebocoran data sensitif soal riset luar angkasa. Bahkan beberapa politisi dan think tank Jepang juga dilaporkan menjadi korban.

“Banyak dari sistem yang digunakan saat ini dibangun dua dekade lalu dan tidak pernah diperbarui secara menyeluruh,” kata Toshio Nawa, pendiri Nihon Cyber Defence, lembaga yang kerap membantu audit keamanan siber di lembaga pemerintah. “Dalam dunia IT, kami menyebutnya sistem warisan. Dan Jepang punya terlalu banyak.”

Motohiro Tsuchiya, profesor kebijakan publik di Universitas Keio, memberikan gambaran yang mengejutkan tentang situasi saat ini. “Pemerintah sekarang mengatakan bahwa serangan siber menghantam Jepang setiap 13 atau 14 detik sekali. Ini bukan situasi teoritis. Ini kenyataan di lapangan.”


Di Balik Internet Cepat, Sistem Masih Pakai Faks dan Disket

Jika ada satu kalimat yang merangkum ironi digital Jepang, maka itu adalah negara dengan robot tercanggih tapi masih pakai disket. Hingga pertengahan 2023, banyak instansi pemerintah Jepang masih meminta warganya mengirim dokumen via faks, sebuah teknologi yang sudah lama ditinggalkan di sebagian besar negara maju. 

Bahkan lebih mengejutkan lagi, pemerintah Jepang baru secara resmi menghentikan penggunaan disket pada tahun 2023—empat belas tahun setelah produsen utamanya, Sony, berhenti memproduksinya.

Menurut laporan lembaga riset global IMD World Digital Competitiveness, Jepang hanya berada di peringkat ke-31 dalam hal daya saing digital. Padahal infrastruktur internetnya sangat cepat. 

Tapi akses cepat ini tidak dimanfaatkan maksimal karena sistem digitalnya terfragmentasi, tidak terintegrasi antarinstansi, dan penuh prosedur manual.

“Sebagian besar sistem informasi di pemerintahan Jepang dirancang untuk berdiri sendiri,” ujar Hiroshi Mikitani, CEO Rakuten sekaligus anggota Dewan Digitalisasi Nasional. 

“Tidak ada konsistensi data antarinstansi. Hal ini membuat setiap inovasi jadi mandek karena harus dimulai dari nol di setiap departemen.” tambahnya

Sebanyak 77 persen sekolah di Jepang masih menggunakan mesin faks untuk komunikasi administratif. Sebanyak 40 persen masyarakat Jepang mengaku masih mengandalkan faksimile dalam berbagai urusan, mulai dari mendaftar layanan publik hingga mengirim dokumen pajak.

Ilustrasi: Digitalisasi layanan publik di Jepang berjalan lambat. Sebagian besar prosedur birokrasi masih menuntut pegawai datang langsung ke kantor, hanya untuk menandatangani dokumen dengan stempel pribadi, simbol budaya kerja lama yang sulit ditinggalkan. (REUTERS/Toru Hanai)

 Sementara itu, hanya 7,5 persen dari total 56.000 prosedur administratif yang bisa diselesaikan sepenuhnya secara online hingga tahun 2019.

Kantor-kantor pemerintahan, bahkan yang berada di pusat kota Tokyo, masih mewajibkan pegawai datang ke kantor untuk menandatangani dokumen dengan stempel pribadi. 

Dalam praktiknya, lebih dari 60 persen pekerja yang seharusnya bisa bekerja dari rumah tetap diwajibkan hadir secara fisik hanya untuk urusan birokrasi semacam ini.


Pandemi COVID-19 Menguak Kerapuhan Sistem Digital Jepang

Saat pandemi melanda dunia, Jepang tidak hanya gagal merespons cepat, tapi juga memperlihatkan kelemahan mendasar dalam infrastruktur digitalnya. 

Program bantuan tunai dari pemerintah tersendat karena sistem pusat tidak kompatibel dengan sistem di pemerintah daerah. Banyak warga yang harus menunggu berminggu-minggu karena verifikasi data dilakukan manual.

Aplikasi pelacakan COVID-19 buatan pemerintah, COCOA, mengalami kesalahan fatal selama empat bulan, aplikasi itu gagal mengirimkan notifikasi kepada pengguna yang berinteraksi dengan pasien positif. Pemerintah harus meminta maaf secara terbuka, dan aplikasi tersebut akhirnya ditinggalkan karena dianggap tidak efektif.

Kupon vaksin juga dikirim melalui pos biasa, menyebabkan keterlambatan distribusi dan pemborosan anggaran. Semua ini menunjukkan bahwa Jepang tidak memiliki sistem data kesehatan terpusat dan terintegrasi, bahkan setelah lebih dari satu dekade wacana digitalisasi publik digaungkan.

Kotaro Tamura, mantan anggota majelis tinggi Jepang dan kini pengajar di National University of Singapore, menegaskan bahwa persoalannya bukan pada kurangnya teknologi. 

“Kami punya otak, punya uang, punya jaringan internet terbaik. Tapi kami terlalu takut dengan perubahan. Kami tidak terlalu baik dalam hal yang tidak bisa kami sentuh,” ujarnya dalam sebuah forum kebijakan digital di Tokyo.


Akar Masalahnya Bukan Teknologi, Tapi Budaya dan Demografi

Ketertinggalan digital Jepang bukan karena tidak punya uang, bukan juga karena kurang insinyur. Masalah utamanya ada pada budaya kerja dan struktur demografi.

Budaya birokrasi Jepang menekankan formalitas, ketelitian, dan hierarki. Penggunaan hanko dianggap simbol otoritas. Banyak pemimpin institusi menolak meninggalkan sistem lama karena merasa nyaman dengan tradisi tersebut. 

Bahkan ketika sistem digital lebih cepat dan hemat biaya, banyak pejabat senior menganggap perubahan sebagai ancaman terhadap stabilitas organisasi.

Transformasi digital kerap mandek bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena mayoritas penduduk tidak merasa perlu berubah. Di Jepang, budaya menyesuaikan diri lebih kuat daripada dorongan untuk berevolusi. (AP/Eugene Hoshiko)

Demografi juga menjadi kendala. Jepang adalah negara dengan populasi tertua di dunia. Lebih dari 30 persen penduduknya berusia di atas 65 tahun. Kelompok ini cenderung tidak akrab dengan sistem digital dan tidak merasa perlu untuk belajar. 

Dalam banyak kasus, justru kelompok usia muda yang menjadi lebih konservatif, cenderung tidak melawan sistem, dan memilih “menyesuaikan diri” demi kenyamanan sosial.

“Banyak anak muda Jepang diajarkan untuk tidak mengambil risiko,” kata Shoko Egawa, jurnalis senior yang banyak menulis soal reformasi birokrasi. “Mereka tumbuh dalam sistem yang menyuruh mereka patuh, bukan bertanya. Itu membuat transformasi digital jadi lebih sulit.”


Pemerintah Mulai Bergerak, Tapi Akankah Cukup?

Menyadari ancaman yang semakin nyata, pemerintah Jepang meluncurkan Digital Agency pada tahun 2021. Lembaga ini diberi mandat luas untuk menyatukan berbagai sistem digital lintas kementerian, mempercepat transformasi layanan publik, dan memperbaiki pengalaman pengguna warga terhadap birokrasi.

Pada 2025, Jepang mengesahkan Undang-Undang Pertahanan Siber Aktif, sebuah langkah yang cukup berani mengingat konstitusi damai Jepang yang selama ini sangat membatasi tindakan proaktif militer dan siber. UU ini memberi wewenang kepada pemerintah untuk menetralisasi server penyerang jika terjadi serangan siber masif.

“Ini adalah langkah besar yang menandai pergeseran paradigma keamanan digital Jepang,” ujar Kaori Iida, analis kebijakan siber dari Japan Institute of International Affairs. 

“Tapi masih ada banyak pekerjaan rumah. Transformasi digital butuh lebih dari sekadar undang-undang. Ia butuh perubahan budaya dan kebijakan insentif yang tepat.” tambahnya

Dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI), Jepang memilih jalur yang berbeda dari Uni Eropa yang ketat dalam regulasi. Pemerintah Jepang lebih memilih pendekatan pro-inovasi, dengan harapan bisa mendorong pertumbuhan teknologi dalam negeri dan tidak tertinggal dari China dan AS.


Bangkit atau Semakin Tertinggal?

Di era ekonomi digital yang ditentukan oleh kecepatan, integrasi data, dan efisiensi sistem, Jepang tidak bisa terus bergantung pada masa lalunya. 

Citra futuristik yang selama ini dibanggakan kini diuji oleh kenyataan bahwa toilet pintar dan robot pelayan tidak cukup untuk membuat negara ini tahan banting terhadap krisis dan ancaman digital.

“Kalau Jepang tidak segera berubah, kami akan kehilangan seluruh daya saing yang telah kami bangun sejak era pascaperang,” tegas Hiroaki Miyata, profesor sistem kebijakan kesehatan di Universitas Keio. “Bukan hanya sektor publik, tapi juga swasta akan tertinggal jauh di belakang.”

Dunia terus bergerak maju. Negara-negara seperti Korea Selatan, Estonia, dan Singapura telah membuktikan bahwa reformasi digital yang serius bisa mengubah cara negara melayani rakyatnya. Jepang kini dituntut untuk membuang romantisme masa lalu dan berani melakukan lompatan yang menyakitkan tapi perlu.