Roy Suryo menyayangkan pencabutan pernyataan Prof. Sofian Effendi soal ijazah Jokowi. Ia menduga ada tekanan dan menyebut situasi itu mirip adegan film G30S/PKI. (Dok. MI)

Polemik soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali memicu perdebatan tajam di ruang publik. Setelah pernyataan mengejutkan dari eks Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi, yang meragukan keaslian ijazah S1 Jokowi, kini giliran pakar telematika Roy Suryo yang angkat bicara. 

Bukan soal benar atau tidaknya ijazah itu, melainkan tentang mengapa Prof. Sofian tiba-tiba mencabut pernyataannya sehari setelah menyulut kontroversi nasional.

Pada 16 Juli 2025, Sofian muncul dalam tayangan YouTube bertajuk Langkah Update. Di situ, ia secara terbuka menyebut bahwa ada hal-hal yang menurutnya janggal dari dokumen akademik Jokowi. 

Bahkan, ia menyebut isu ini sebagai “skandal besar” yang layak dikaji lebih dalam. Namun hanya berselang 24 jam, tepatnya 17 Juli, Sofian mengeluarkan surat bermaterai yang berisi pencabutan pernyataan, permintaan maaf kepada pihak-pihak yang disebut, dan desakan agar video tersebut ditarik dari peredaran.

Langkah mundur Sofian itu membuat banyak pihak terkejut. Salah satu yang paling vokal menyayangkan adalah Roy Suryo. 

Dalam pernyataannya pada 19 Juli, Roy secara terang-terangan menyebut bahwa perubahan sikap Sofian terasa janggal dan tidak konsisten. 

"Ini mirip adegan di film Pengkhianatan G30S/PKI, ketika para jenderal dipaksa menandatangani pengakuan," kata Roy, membandingkan peristiwa ini dengan skenario tekanan politik di masa lalu.

Roy menilai bahwa keberanian awal Prof. Sofian dalam membuka diskusi tentang isu sensitif ini justru berujung pada keheningan yang membingungkan publik. Ia menduga ada tekanan yang cukup besar di balik keputusan Sofian mencabut ucapannya. 

“Apakah tekanan itu datang dari institusi atau individu, publik berhak bertanya-tanya. Karena sebelumnya, beliau bicara sangat yakin dan lugas,” ujarnya.

Nama Prof. Sofian sendiri bukan figur sembarangan di dunia akademik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Rektor UGM periode 2002–2007 dan dikenal luas sebagai birokrat senior di era reformasi. 

Selain itu, ia juga sempat menjadi Asisten Menteri Negara Riset dan Teknologi pada masa Orde Baru. Kredibilitas akademiknya membuat pernyataan awalnya tentang ijazah Jokowi mendapat perhatian besar. Tapi setelah surat permintaan maaf itu dirilis, narasi berubah drastis dan publik pun terbagi dua.

UGM sendiri sejak awal konsisten menepis keraguan. Dalam pernyataan resmi, kampus ini menegaskan bahwa Joko Widodo adalah lulusan sah Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980. 

Nama, ijazah, serta dokumen akademik lainnya masih tersimpan lengkap di arsip universitas. “Data Pak Jokowi lengkap dan otentik,” tegas Rektor UGM saat ini, Prof. Ova Emilia, beberapa waktu lalu.

Namun suasana publik tetap gaduh. Apalagi dalam era digital seperti sekarang, isu seperti ini menyebar cepat tanpa jeda. Tayangan video Prof. Sofian sudah telanjur dipantau ribuan orang sebelum akhirnya dihapus. 

Dalam 12 jam pertama saja, video itu sudah ditonton lebih dari 300 ribu kali dan dibagikan secara luas di media sosial, termasuk grup-grup WhatsApp yang sulit dikendalikan peredarannya.

Di sisi lain, kasus ini memunculkan lagi pertanyaan lama soal transparansi dokumen akademik pejabat publik. Meski secara formal kasus ijazah Jokowi sudah dinyatakan tuntas oleh Mahkamah Konstitusi dan berbagai lembaga negara, tetap saja suara-suara sumbang muncul secara periodik, apalagi menjelang tahun-tahun politik.

Roy Suryo bukan kali ini saja mengomentari isu sensitif seputar Jokowi. Dalam beberapa tahun terakhir, mantan Menpora ini memang aktif memberikan pandangan di ruang digital, terutama soal teknologi informasi dan dokumentasi digital. 

Tapi kali ini, nada kritiknya lebih personal bukan kepada Jokowi, melainkan pada Prof. Sofian yang dianggapnya “tidak konsisten”.

“Kalau dari awal tidak punya bukti, jangan bicara seolah-olah punya. Tapi kalau sudah bicara, lalu mundur karena tekanan, itu lebih berbahaya. Bisa menciptakan preseden buruk bagi kebebasan akademik,” ujar Roy lagi.

Sejumlah pengamat juga menilai situasi ini sebagai bukti bahwa ruang publik di Indonesia makin sensitif terhadap narasi alternatif. Apalagi ketika narasi itu datang dari sosok berpengaruh dan menyangkut figur publik sekelas Presiden. 

Munculnya pernyataan, lalu pencabutan, justru memperkeruh suasana dan menambah ketidakpercayaan publik pada informasi resmi.

Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana media sosial bekerja lebih cepat dari klarifikasi. Sekali informasi dilempar, dampaknya sulit dibendung. 

Dan ketika narasumber utama kemudian mencabut ucapannya, sebagian besar publik sudah terlanjur membentuk opini.

Kini, setelah pencabutan pernyataan dan permintaan maaf resmi dari Sofian, secara hukum kasus ini mungkin dianggap selesai. Tapi secara sosial, justru sebaliknya. Muncul pertanyaan baru: apakah pernyataan awal itu lahir dari keyakinan pribadi, kesalahan data, atau ada kepentingan lain di belakangnya?

Sementara itu, video yang dihapus tidak menghapus jejak digitalnya. Potongan pernyataan Sofian masih beredar dalam bentuk tangkapan layar dan cuplikan pendek. Di X (dulu Twitter), tagar #IjazahJokowi dan #SofianEffendi sempat trending pada malam pernyataan itu dirilis, menandakan tingginya atensi publik.

Roy Suryo menutup komentarnya dengan satu kalimat yang menggelitik: “Publik sekarang tak lagi mudah diyakinkan oleh surat permintaan maaf. Yang dibutuhkan justru transparansi total.”

Narasi sudah digelar, tapi teka-teki masih menggantung. Dalam politik Indonesia, kadang suara yang dicabut justru lebih keras dari yang diumumkan.