![]() |
| Donald Trump beri tenggat 50 hari ke Rusia untuk capai perdamaian. Inggris langsung kebut kirim senjata ke Ukraina, dari rudal Brimstone hingga 50 ribu drone. (AFP/Sergey Supinsky) |
Dalam waktu 50 hari ke depan, tekanan terhadap Rusia untuk menyetujui perdamaian meningkat drastis. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump resmi mengeluarkan ultimatum jika Moskow tidak menyepakati gencatan senjata hingga 2 September 2025, negara-negara yang masih berdagang dengan Rusia termasuk pembeli minyak seperti China dan India akan dikenai tarif 100%. Sanksi sekunder skala penuh pun menanti.
Merespons tenggat tersebut, Inggris menggagas langkah agresif. Menteri Pertahanan John Healey meluncurkan inisiatif percepatan bantuan militer bertajuk “Upaya 50 Hari” untuk memperkuat posisi Ukraina di medan perang.
Inisiatif ini diumumkan dalam sesi virtual Grup Kontak Pertahanan Ukraina (UDCG) pada Senin dan langsung mendapat sorotan tajam.
“Kita perlu meningkatkan upaya dengan ‘upaya 50 hari’ untuk mempersenjatai Ukraina di medan perang dan memaksa Putin ke meja perundingan,” ujar Healey dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa Inggris siap mempercepat pengiriman artileri, sistem pertahanan udara, serta ribuan drone.
Komitmen itu tak main-main. Inggris sudah mengirim bantuan senilai £150 juta berupa amunisi dan rudal dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam kunjungan terbarunya ke Odessa yang sempat dihujani serangan rudal Rusia, Healey juga menjanjikan 90 rudal Brimstone, 50 kapal kecil, dan kendaraan anti-ranjau semua dikirim dalam 100 hari ke depan.
Namun di tengah derasnya suplai senjata, ada peringatan yang tidak bisa diabaikan. Menteri Angkatan Bersenjata Inggris Luke Pollard sejak musim gugur lalu telah mengingatkan soal menipisnya stok senjata dalam negeri akibat suplai berkelanjutan ke Kyiv.
Realita ini menjadi dilema antara menjaga solidaritas NATO atau mempertahankan kesiapan nasional.
Tidak hanya Inggris, Trump juga mendorong NATO untuk turut membiayai pengiriman senjata buatan AS, termasuk sistem rudal Patriot dan senjata jarak jauh lainnya. Negara-negara seperti Jerman, Kanada, dan Norwegia didorong untuk menanggung ongkosnya.
Bahkan, koalisi drone yang dipimpin Inggris dan Latvia telah mengirimkan 50 ribu drone ke Ukraina dalam enam bulan terakhir dan 20 ribu unit lagi sedang disiapkan.
Di sisi lain, Rusia tak tinggal diam. Kremlin dengan tegas menyebut ultimatum Trump sebagai isyarat perpanjangan perang, bukan jalan damai. “Pernyataan Trump akan dianggap oleh pihak Ukraina bukan sebagai sinyal menuju perdamaian, tetapi sebagai sinyal untuk melanjutkan perang,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov menyampaikan bahwa Moskow tidak akan tunduk pada ultimatum apa pun, tetapi masih membuka pintu perundingan.
Meski begitu, eskalasi di lapangan bicara lain. Serangan Rusia justru meningkat. Dalam satu pekan terakhir, serangan udara di Donetsk menewaskan 11 warga sipil dan merusak sejumlah infrastruktur energi.
Pasar saham Moskow malah melonjak 3% setelah ultimatum Trump diumumkan seolah pasar tidak menganggapnya serius.
Sementara itu, mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kembali angkat suara. Ia menyoroti merosotnya minat publik Inggris terhadap konflik Ukraina dan menyindir pemerintahan Perdana Menteri Keir Starmer yang menurutnya “terganggu” oleh isu-isu domestik.
Kritik ini menggarisbawahi adanya kelelahan publik (war fatigue) terhadap konflik yang sudah memasuki tahun ketiga.
"Minat publik mulai menurun, dan itu berbahaya. Kita bisa kehilangan momentum," kata Johnson. Ia juga mengkritik bahwa terlalu banyak perhatian dialihkan ke masalah dalam negeri, padahal Ukraina membutuhkan dukungan jangka panjang.
Dari perspektif historis, tekanan untuk segera mencapai perdamaian bukan hal baru. Studi yang dirilis pada 2024 menyatakan bahwa kegagalan pembicaraan damai Istanbul pada 2022 tak sepenuhnya akibat intervensi Barat seperti yang sempat dituduhkan pada Johnson.
Sebaliknya, negosiasi saat itu gagal karena dua tuntutan besar yang tidak bisa dijembatani: Ukraina meminta jaminan keamanan dari NATO yang tak kunjung dikabulkan, sementara Rusia tetap ngotot pada permintaan denazifikasi dan pembatasan kekuatan militer Ukraina.
Sikap skeptis negara-negara Barat terhadap itikad Rusia juga berperan besar dalam keputusan Kyiv untuk melanjutkan perlawanan militer ketimbang kompromi.

0Komentar