Eks Marinir TNI, Satria Arta Kumbara, kehilangan status WNI setelah gabung militer Rusia. Kini ia minta tolong Prabowo dan pemerintah agar bisa pulang. (Tangkapan Layar Tiktok)

Satria Arta Kumbara tak pernah menyangka pilihannya meninggalkan Indonesia demi menjadi tentara bayaran di Rusia berujung pada kehilangan status sebagai warga negara. Pria yang sebelumnya berdinas di Korps Marinir TNI AL ini kini berada di medan perang Ukraina, memanggul senjata atas nama Kementerian Pertahanan Rusia, sembari memohon agar bisa pulang ke Tanah Air.

“Saya memohon kebesaran hati Bapak Presiden Prabowo, Bapak Wakil Presiden Gibran, Bapak Menlu Sugiono untuk membantu mengakhiri kontrak tersebut,” kata Satria dalam sebuah unggahan video berdurasi satu menit di akun TikTok-nya, @zstorm689, yang dikutip Senin, 22 Juli 2025.

Satria mengaku tidak tahu bahwa tindakannya menandatangani kontrak militer dengan Rusia tanpa izin Presiden bisa membuatnya kehilangan kewarganegaraan Indonesia. 

Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan secara eksplisit menyatakan, seseorang akan kehilangan status WNI jika secara sukarela masuk dalam dinas militer negara asing tanpa izin kepala negara. Dalam kasus Satria, ketentuan itu sudah terpenuhi.

“Saya tidak pernah mengkhianati negara sama sekali,” katanya. 

Ia berdalih tindakannya semata-mata untuk mencari nafkah, bukan pengkhianatan. Namun kini ia menilai bahwa kontrak yang diteken dengan Kementerian Pertahanan Rusia “tidak sebanding” dengan hilangnya kewarganegaraan Indonesia yang ia anggap tak ternilai.

Kasus ini menyedot perhatian karena melibatkan eks prajurit aktif. Berdasarkan informasi dari TNI AL, Satria sebelumnya merupakan anggota aktif Korps Marinir, tapi sejak 2022 tidak lagi berdinas. 

Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama Tunggul, membenarkan bahwa Satria diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan putusan pengadilan militer.

“Putusan pengadilan militer tertanggal 6 April 2023 berkekuatan hukum tetap,” kata Tunggul. “Berdasarkan putusan perkara, Satria Arta Kumbara dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun disertai tambahan hukuman berupa pemecatan dari dinas militer. Putusan pengadilan militer itu tidak dapat diganggu gugat.”

Pemecatan itu dijatuhkan karena pelanggaran berat berupa desersi. Satria meninggalkan kesatuannya tanpa izin sejak 13 Juni 2022 dan tidak kembali dalam waktu lebih dari 30 hari, yang dalam hukum militer termasuk pelanggaran serius, terlebih di masa damai. 

Setelah menjalani hukuman dan resmi diberhentikan dari TNI, Satria kemudian muncul sebagai tentara kontrak untuk pihak asing.

Dalam videonya, Satria menyampaikan permohonan publik agar pesannya diteruskan ke partai Gerindra partai politik yang dipimpin oleh Presiden Prabowo. 

“Mohon bantuan teman-teman semua, minta tolong diteruskan ke admin Gerindra agar disampaikan kepada beliau,” ujarnya.

Namun secara institusi, TNI AL sudah menyatakan tak memiliki keterkaitan lagi dengan Satria. Mereka menyerahkan sepenuhnya persoalan kewarganegaraan dan permintaan pemulangan Satria kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. 

“Status kewarganegaraan itu sudah di luar kewenangan kami,” kata Tunggul.

Menurut informasi yang diperoleh CNBC Indonesia dari sumber di Kementerian Hukum dan HAM, status kewarganegaraan Satria memang secara otomatis gugur sejak ia menandatangani kontrak militer asing. 

Pemerintah Indonesia tidak perlu menerbitkan surat pencabutan secara formal karena dalam hukum, kehilangan status WNI bisa terjadi secara otomatis sesuai pasal yang berlaku.

Meski begitu, kasus ini tidak sederhana. Pemerintah Indonesia tidak bisa serta-merta memulangkan Satria tanpa dasar hukum dan diplomasi yang kuat. 

Mengakhiri kontrak militer dengan Rusia juga bukan perkara mudah, apalagi jika Satria terlibat dalam operasi militer aktif. Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri mengenai langkah selanjutnya.

Situasi ini menjadi pelajaran besar di tengah tingginya tekanan ekonomi terhadap para mantan prajurit. Di sejumlah negara, praktik menjual jasa militer sebagai “tentara bayaran” menjadi pilihan ekonomi yang tidak sedikit peminatnya. Namun risikonya sangat besar mulai dari nyawa, hukum, hingga status kenegaraan.

Data tidak resmi menyebutkan, dalam 3 tahun terakhir setidaknya belasan warga negara Indonesia pernah terlibat sebagai sukarelawan atau tentara asing di sejumlah negara konflik, seperti Ukraina, Suriah, dan Afrika Tengah. Sebagian besar di antaranya kehilangan hak sipilnya sebagai WNI dan tidak bisa kembali ke Indonesia.

Kini, nasib Satria menggantung. Ia tetap memegang senjata di wilayah konflik, tanpa kewarganegaraan, tanpa jaminan hukum, dan tanpa status yang jelas. Pilihan untuk pulang ke Indonesia terbentur oleh undang-undang, diplomasi internasional, dan ketiadaan perlindungan hukum sebagai WNI.

Satu-satunya jalan mungkin hanya melalui intervensi politik tingkat tinggi seperti yang ia harapkan dari Prabowo dan Gibran. Tapi di tengah suhu politik yang terus bergerak, belum ada tanda-tanda bahwa permohonannya akan direspons dalam waktu dekat.