Seluruh zona di Indonesia kini masuk kategori “tidak aman” akibat lonjakan harga beras medium. Harga tertinggi tercatat di Papua hingga Rp54 ribu/kg. Pemerintah kerahkan Bulog dan SPHP untuk stabilisasi.

Harga beras medium di Indonesia kembali bikin rakyat geleng-geleng kepala. Sejak awal Juli 2025, lonjakan harga tak terkendali membuat seluruh wilayah Indonesia masuk dalam kategori “tidak aman”. Kenaikannya bukan lagi hitungan ratusan rupiah, tapi sudah menembus batas atas Harga Eceran Tertinggi (HET) di semua zona dan kondisinya terus memburuk.

Plt Deputi II Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, mengonfirmasi bahwa saat ini semua zona di Indonesia mengalami harga beras medium yang melampaui HET lebih dari 10 persen. 

Zona 1 mencakup Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi—menunjukkan kenaikan tertinggi secara bulanan, yakni 3,17 persen. Harga rata-rata di zona ini tembus Rp14.488 per kilogram, padahal HET hanya Rp12.500. Artinya, harga sudah 14 persen lebih tinggi dari batas tertinggi yang ditetapkan pemerintah.

Zona 2 yang meliputi sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan NTT juga sudah ikut masuk kategori rawan. Jika pekan lalu masih diklasifikasikan sebagai zona “waspada”, kini sudah resmi dinyatakan tidak aman. Rata-rata harga di zona ini kini mencapai Rp15.467 per kg, atau naik 10–11 persen dari HET. Bahkan sudah menyentuh premium HET Rp15.400.

Zona 3, yang mencakup wilayah Indonesia Timur seperti Papua dan Maluku, mencatat lonjakan harga paling ekstrem. Di beberapa kabupaten, harga beras medium menyentuh Rp18.000 hingga Rp25.000 per kilogram. 

Bahkan di Intan Jaya, Papua, harga sempat tercatat hingga Rp54.772 per kg—lebih dari 3 kali lipat harga acuan nasional. Secara rata-rata, zona ini mencatat harga Rp19.850 per kg atau 26 persen di atas HET yang ditetapkan Rp15.800.

“Kami memberikan perhatian khusus untuk beras. Minggu lalu kami sampaikan bahwa zona 2 masih di level waspada, tapi tren kenaikannya cukup tajam. Dan ternyata benar, sekarang semua zona sudah tidak aman,” ujar Edy Priyono saat ditemui di Kompleks Istana.

Ia menyebut bahwa disparitas harga antardaerah sebenarnya tidak terlalu tinggi jika melihat rata-ratanya, namun kondisi di Papua menjadi pengecualian. 

“Ada daerah-daerah yang sampai Rp25.000, Rp18.000 bahkan sampai puluhan ribu rupiah per kilogram. Ini sudah sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Lonjakan ini disebut-sebut sebagai akibat dari kombinasi gagal panen pascapanen raya April lalu, ditambah distribusi logistik yang masih tersendat di kawasan timur Indonesia. 

Di tingkat petani, harga Gabah Kering Panen (GKP) juga ikut naik di beberapa wilayah Jawa Barat misalnya, harga GKP sudah tembus Rp7.000/kg.

Melihat tren yang terus menanjak, pemerintah melalui Perum Bulog diminta bergerak cepat dengan dua strategi utama. Pertama, menyalurkan bantuan pangan berupa beras kepada 18,3 juta keluarga penerima manfaat. 

Setiap keluarga akan menerima 20 kg beras per bulan selama dua bulan ke depan. Bantuan ini diharapkan mampu menekan sisi permintaan di pasar.

Kedua, penyaluran beras melalui program SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Dalam program ini, Bulog menargetkan distribusi 1,3 juta ton beras sepanjang Juli hingga Desember 2025. Distribusi diprioritaskan ke wilayah yang mencatat disparitas harga tinggi, seperti Papua dan Maluku.

Harga SPHP ditetapkan jauh di bawah harga pasar. Untuk zona 1, beras SPHP dijual seharga Rp12.500/kg, zona 2 sebesar Rp13.100/kg, dan zona 3 sebesar Rp13.500/kg. 

Penyaluran dilakukan lewat jalur pasar tradisional, koperasi desa, hingga program Gerakan Pangan Murah (GPM) yang digelar pemerintah daerah.

Namun, pemerintah juga memperketat pengawasan demi mencegah penyalahgunaan. Setiap pedagang atau outlet wajib mendaftar melalui aplikasi Klik SPHP, dan pembelian dibatasi maksimal 10 kg per orang. 

Jika ada pelanggaran, sanksinya tidak main-main yaitu denda hingga Rp2 miliar atau hukuman penjara maksimal 4 tahun sesuai UU Pangan No. 18 Tahun 2012.

“Beras SPHP tidak boleh diperjualbelikan kembali. Setiap outlet wajib pasang label dan informasi program yang jelas. Kalau ada yang melanggar, kami tidak segan ambil tindakan hukum,” tegas Maino Dwi Hartono, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, juga memastikan pihaknya siap turun langsung ke lapangan. Saat ini, stok Bulog mencapai 4,1 juta ton per pertengahan Juni 2025 dan siap digelontorkan jika ada daerah dengan lonjakan harga ekstrem.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa program stabilisasi belum sepenuhnya efektif. Di beberapa pasar tradisional, beras SPHP belum terdistribusi merata. 

Sementara di kawasan timur, masalah utama bukan hanya soal harga, tapi distribusi yang mahal dan sulit dijangkau. Biaya logistik menjadi tantangan terbesar, terutama untuk wilayah pegunungan seperti Papua Tengah dan Papua Pegunungan.

Pemerintah memang tengah berpacu dengan waktu. Jika distribusi tak segera diperbaiki dan bantuan tak segera sampai ke tangan konsumen, lonjakan harga bisa menjadi pemicu inflasi pangan yang lebih luas. Dan seperti biasa, masyarakat kecil yang paling dulu merasakan dampaknya.

“Kalau bantuan pangan tidak langsung menurunkan harga pasar, paling tidak bisa mengurangi tekanan permintaan. Tapi tetap yang paling efektif adalah SPHP, karena itu langsung menyasar sisi pasokan,” ujar Edy Priyono.

Dengan semua zona sudah masuk kategori tidak aman, pemerintah dituntut untuk lebih sigap dari biasanya. Sebab, kalau harga beras saja sudah tak terkendali, dampak sosial-ekonominya bisa jauh lebih luas dari sekadar angka inflasi.