![]() |
| Kebangkitan Sanseito memicu kekhawatiran ekonomi Jepang: krisis tenaga kerja, inflasi, dan ancaman proteksionisme yang bisa menjauhkan investor. (REUTERS/Toru Hanai) |
Inflasi pangan yang menekan rumah tangga Jepang, nilai tukar yen yang merosot ke level terlemah dalam 30 tahun, serta krisis tenaga kerja yang kian akut, menjadi latar kebangkitan partai baru yaitu Sanseito.
Partai populis sayap kanan ini, yang awalnya hanya dikenal lewat kanal YouTube dan media sosial, kini berhasil memenangkan 14 kursi di parlemen dan memaksa koalisi lama Liberal Democratic Party (LDP) dan Komeito kehilangan mayoritas.
Fenomena ini bukan sekadar gejolak politik biasa. Naiknya Sanseito menandai pergeseran arah ekonomi Jepang menuju jalur populisme proteksionis sebuah jalan yang, menurut sejumlah analis, berpotensi mengancam daya saing Jepang di Asia Timur, menekan investor, dan memperburuk stagnasi ekonomi yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade.
Sanseito membawa slogan tak resmi yang populer di media sosial: “Japanese First”. Istilah ini merujuk pada pandangan nasionalis yang menekankan bahwa kepentingan warga Jepang harus selalu diutamakan di atas kepentingan asing.
Dalam praktiknya, slogan ini kerap digunakan untuk mendukung kebijakan proteksionis, pembatasan tenaga kerja migran, dan penolakan terhadap pengaruh globalisasi.
“Ini bukan sekadar reaksi sesaat terhadap inflasi atau nilai tukar,” ujar Joshua Walker, Presiden Japan Society di New York, dalam wawancara dengan BBC. “Sanseito mewakili rasa frustrasi publik yang dalam. Tapi arah kebijakan mereka anti-globalisme, anti-imigrasi, pemotongan pajak tanpa basis fiskal kuat berpotensi memperlemah Jepang dalam jangka panjang.”
Janji Pajak Ringan, Tapi Defisit Mengintai
Platform ekonomi Sanseito sederhana: pemotongan pajak penghasilan dan konsumsi, pengurangan pengeluaran kesejahteraan, serta penolakan pada apa yang mereka sebut “globalisme”.
![]() |
| Sohei Kamiya, pemimpin Partai Sanseito, berbicara kepada media usai pemilu Majelis Tinggi di Tokyo, Minggu (20/7/2025). (Dok. Kyodo News via AP) |
Dalam kampanye, pemimpin Sanseito, Sohei Kamiya, kerap menuding perdagangan bebas dan investasi asing sebagai penyebab ketimpangan harga, bahkan menyebut turis asing sebagai salah satu faktor naiknya harga pangan seperti beras yang melonjak hingga dua kali lipat pada pertengahan 2025.
Bagi kelas menengah yang terhimpit inflasi, janji itu terdengar melegakan. Namun bagi ekonom, langkah tersebut menyimpan risiko besar. Tanpa reformasi struktural, pemotongan pajak diprediksi akan memperlebar defisit fiskal Jepang, yang kini sudah mencapai lebih dari 260% dari PDB tertinggi di antara negara-negara maju.
“Jika kebijakan ini dijalankan tanpa pengendalian anggaran, Jepang akan makin sulit membiayai transformasi ekonominya, terutama investasi pada sektor teknologi dan energi hijau,” kata Hiroshi Watanabe, mantan pejabat Kementerian Keuangan Jepang yang kini menjadi analis di Institute for International Economic Studies.
Selain risiko fiskal, retorika anti-globalisme Sanseito dapat membuat Jepang menjauh dari kerja sama perdagangan besar seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan berbagai kemitraan dengan ASEAN.
Para investor asing pun mulai bersikap hati-hati. Data Japan External Trade Organization (JETRO) mencatat penurunan 12% rencana investasi baru pada kuartal kedua 2025, sebagian karena ketidakpastian politik pasca pemilu.
Pekerja Asing Jadi Korban di Tengah Krisis Demografi"
Jepang kini menghadapi populasi menua tercepat di dunia. Angka kelahiran terus turun, mencapai rekor terendah 1,2 anak per perempuan pada 2024. Sementara itu, tenaga kerja berusia produktif menyusut lebih dari 500 ribu orang per tahun.
Untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, konstruksi, pertanian, dan perawatan lansia, Jepang semakin bergantung pada pekerja asing.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah pekerja migran mencapai 1,8 juta orang pada 2024, termasuk puluhan ribu pekerja asal Indonesia.
Namun, Sanseito justru mendorong kebijakan anti-imigrasi ketat, dengan target “nol orang asing ilegal” dan peningkatan pengawasan terhadap tenaga kerja asing.
![]() |
| Foto yang diambil pada 15 November 2023 ini menunjukkan orang-orang berjalan melewati persimpangan di Tokyo, Jepang. (ANTARA/Xinhua/Zhang Xiaoyu) |
Mereka juga mengusulkan kuota ketat pada program magang teknis yang selama ini menjadi pintu masuk utama pekerja Asia Tenggara.
Dampaknya bisa signifikan. Defisit tenaga kerja diperkirakan bisa membengkak hingga 2 juta posisi pada 2027 jika akses pekerja migran dipersempit, menurut studi Nomura Research Institute.
Produktivitas nasional berpotensi stagnan karena industri padat karya kesulitan memenuhi permintaan. Kenaikan upah akibat kelangkaan pekerja juga berpotensi menekan bisnis kecil dan menengah.
“Tanpa tenaga kerja asing, banyak sektor akan lumpuh,” kata Ayumi Tanaka, peneliti di Asian Migration Studies Center, Tokyo. “Kebijakan ini bukan hanya berdampak pada pekerja migran, tapi juga pada keberlanjutan ekonomi Jepang sendiri.”
Bagi pekerja Indonesia, situasinya makin rumit. Komunitas mereka di Jepang khawatir akan meningkatnya diskriminasi sosial dan regulasi yang lebih ketat.
“Ada rasa cemas di kalangan pekerja kami. Mereka takut dijadikan kambing hitam atas masalah ekonomi,” ujar Rizky Adi Putra, Ketua Persatuan Pekerja Indonesia di Osaka.
Inflasi, Yen Lemah, dan Musuh Bernama ‘Globalisme’"
Naiknya Sanseito tidak lepas dari gejolak ekonomi rumah tangga Jepang. Harga pangan, terutama beras, naik dua kali lipat dalam setahun terakhir, sementara yen jatuh ke sekitar ¥149 per USD, level terendah sejak awal 1990-an.
Bagi banyak warga, situasi ini memicu keresahan. Sanseito memanfaatkan momen tersebut dengan menyasar narasi sederhana yang menyalahkan turis asing, globalisasi, dan kebijakan keterbukaan ekonomi sebagai penyebab krisis harga.
Meski narasi itu populer, ekonom menilai masalah struktural jauh lebih dominan. “Pelemahan yen lebih banyak disebabkan perbedaan kebijakan moneter dengan AS dan Eropa, sementara inflasi pangan dipicu rantai pasok global dan iklim,” kata Watanabe. “Menyalahkan asing mungkin menjual secara politik, tapi tidak menyelesaikan masalah.”
Jika retorika ini menjadi basis kebijakan, Jepang berisiko kehilangan salah satu pilar pertumbuhan terbesarnya pada sektor pariwisata. Industri ini menyumbang sekitar 7% PDB Jepang, dengan lebih dari 31 juta turis asing berkunjung pada 2024.
Retorika anti-asing bisa merusak citra Jepang sebagai destinasi ramah wisatawan, sekaligus menekan devisa yang sangat dibutuhkan di tengah pelemahan yen.
Apakah Populisme Membawa Jepang ke Jalan Buntu?
Di saat banyak negara Asia Timur berinvestasi besar pada transformasi digital dan energi hijau, Jepang justru terancam melambat. Sanseito tidak menjadikan inovasi sebagai prioritas utama.
![]() |
| Sohei Kamiya, pemimpin partai Sanseito, berpidato dalam rapat umum kampanye pemilu di prefektur Saga, Kyushu, pada 12 Juli 2025. (Kyodo/Nikkei Asia) |
Bahkan, sebagian anggota partai kerap mengangkat narasi skeptis terhadap AI, otomasi, dan agenda iklim global, yang mereka anggap sebagai “proyek globalis” yang merugikan Jepang.
Akibatnya, inisiatif dekarbonisasi yang direncanakan pemerintah bisa tertunda atau bahkan diblokir di parlemen. Regulasi terkait teknologi canggih juga berpotensi terhambat, menunda investasi di sektor AI dan robotika yang selama ini menjadi kekuatan Jepang.
“Jika Jepang kehilangan momentum inovasi, mereka bisa tertinggal dari Korea Selatan, Tiongkok, bahkan Uni Eropa dalam lima tahun ke depan,” kata Kazuo Mori, analis teknologi di Nikkei Asia Review.
Bagi negara-negara tetangga, terutama Indonesia, kebangkitan Sanseito membawa tantangan ganda: akses tenaga kerja yang lebih sulit dan potensi meningkatnya diskriminasi sosial terhadap pekerja migran. Di sisi lain, ketidakpastian politik dan ekonomi bisa memengaruhi kemitraan dagang serta investasi bilateral.
Para pengamat menyarankan agar komunitas pekerja migran dan NGO memperkuat advokasi dan komunikasi dengan pemerintah Jepang, sekaligus menjalin koordinasi erat dengan Kedutaan Besar RI di Tokyo. “Diplomasi ekonomi dan perlindungan tenaga kerja harus jalan beriringan,” kata Rizky.
Bagi Jepang sendiri, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyalurkan gelombang populisme ke arah konstruktif tanpa mengorbankan daya saing global.
Tanpa strategi yang lebih inklusif dan berorientasi jangka panjang, Sanseito bisa mendorong Jepang menuju ekonomi yang lebih tertutup, terisolasi, dan stagnan sebuah risiko yang bisa dirasakan bukan hanya oleh Jepang, tapi seluruh rantai ekonomi Asia.




0Komentar