Jumlah pernikahan di Indonesia anjlok hingga 1,4 juta pada 2024, terendah dalam satu dekade. Data BPS dan BKKBN ungkap faktor pendidikan, ekonomi, dan gaya hidup generasi muda yang mendorong tren tunda nikah.

Jumlah pernikahan di Indonesia anjlok dalam satu dekade terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hanya 1.478.302 pernikahan yang tercatat sepanjang 2024, turun jauh dari 2.110.776 pernikahan pada 2014. Penurunan sebesar 6,3% dalam periode sepuluh tahun ini membuat angka pernikahan berada di titik terendah sejak 2014, meski populasi Indonesia terus bertambah.

Tren ini bukan hanya soal angka. Fenomena “tunda nikah” kini semakin lazim di kalangan generasi muda, terutama di kota-kota besar. Survei BPS pada 2024 menunjukkan 69,75% pemuda berusia 20–30 tahun memilih belum menikah, naik dari 68,29% pada 2023. 

Sebagai perbandingan, pada 2014, hampir setengah populasi pemuda di rentang usia tersebut sudah menikah. Angka ini mencerminkan pergeseran pola hidup dan prioritas generasi muda.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut ada tiga faktor dominan yang mendorong penurunan ini yaitu pendidikan, kondisi finansial, dan lokasi tempat tinggal. 

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera BKKBN, dalam keterangannya, menjelaskan bahwa semakin banyak generasi muda yang menunda menikah demi menyelesaikan pendidikan tinggi dan membangun karier. 

“Biaya hidup yang tinggi di kota besar dan beban biaya pernikahan yang terus naik juga membuat banyak pasangan memilih menunda,” ujarnya.

Kementerian Penduduk dan Keluarga Berencana menambahkan, perubahan gaya hidup juga memainkan peran penting. Pergeseran pandangan generasi muda terhadap pernikahan membuat sebagian orang tak lagi melihat pernikahan sebagai kebutuhan mendesak. 

Mereka lebih memilih menunda atau bahkan enggan menikah demi fokus pada kebebasan finansial, karier, atau gaya hidup individual. 

“Ada fenomena ego yang tinggi dan meningkatnya kasus hubungan tidak sehat (toxic), yang ikut berkontribusi pada keengganan generasi muda untuk menikah,” ungkap pejabat Kemendukbangga.

Data BPS menunjukkan, penurunan jumlah pernikahan merata di hampir seluruh provinsi. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masih menjadi penyumbang terbesar pernikahan nasional, sementara Papua Pegunungan mencatat angka terendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan 2023 yang mencapai 1,57 juta pernikahan, jumlah pernikahan pada 2024 turun lagi 6,27%.

Pergeseran ini juga mempengaruhi usia menikah. BKKBN mencatat rata-rata usia perempuan menikah naik dari 20 tahun satu dekade lalu menjadi 22,3 tahun pada 2024. 

Usia menikah yang makin tua ikut menekan angka pernikahan tahunan, meski dianggap berdampak positif dalam menekan pernikahan dini yang berisiko stunting. 

“Kesiapan menikah dan hamil menjadi penting, tapi jika tren ini terus berlanjut, kita bisa menghadapi tantangan bonus demografi yang terganggu dan penurunan fertilitas dalam jangka panjang,” kata Kepala BKKBN.

Dampak penurunan pernikahan ini diperkirakan meluas pada struktur demografi Indonesia. Dengan laju fertilitas yang ikut menurun, para ekonom demografi mengingatkan risiko berkurangnya proporsi usia produktif di masa depan. 

Meski belum separah Jepang atau Korea Selatan, tren ini menjadi alarm bagi pemerintah agar menjaga keseimbangan populasi produktif.

Sejumlah pihak mendorong langkah konkret, dari insentif finansial bagi pasangan muda, program literasi keuangan dan perencanaan keluarga, hingga kampanye sosial yang lebih dekat dengan gaya hidup generasi Z. Tanpa langkah strategis, Indonesia bisa menghadapi lonjakan populasi menua lebih cepat, sementara angkatan kerja menyusut.

Tren pernikahan yang merosot tajam ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia kini memiliki prioritas dan tantangan yang berbeda dibanding dekade sebelumnya. 

Pertanyaan besarnya, apakah tren ini hanya transisi sementara menuju pernikahan yang lebih matang dan terencana, atau akan menjadi pola jangka panjang yang mengubah wajah demografi Indonesia ke depan?