Mimpi uang cepat dan status warga negara berubah menjadi mimpi buruk bagi ribuan orang dari negara berkembang, termasuk Satria Arta Kumbara, eks prajurit marinir Indonesia yang kini kehilangan kewarganegaraannya usai menjadi tentara bayaran Rusia.
Praktik rekrutmen ini bukan kasus tunggal. Di balik konflik Ukraina, Rusia disebut menjalankan operasi senyap merekrut tentara asing, dari Asia Selatan hingga Afrika, dengan iming-iming visa, gaji tinggi, dan jalan pintas menuju kewarganegaraan.
Iming-Iming Gaji dan Visa: “Cuma jadi asisten, bukan ikut perang”
Proses rekrutmen tentara asing oleh militer Rusia dilakukan secara masif, terselubung, dan sistematis. Dari pengakuan sejumlah korban, banyak yang dijanjikan pekerjaan non-militer sebagai pekerja konstruksi, penjaga keamanan, bahkan koki. Namun sesampainya di Rusia, mereka justru diarahkan langsung ke pusat pelatihan militer.
Salah satu korbannya adalah seorang pria asal Sri Lanka yang diwawancarai media Jerman DW. “Saya tanya ke komandan, saya ingin pulang. Tapi dia bilang tidak bisa. Di kontrak disebut kalau saya kabur, saya bisa dipenjara 15 tahun,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dialami oleh seorang pria asal Nepal yang tertarik bergabung setelah dijanjikan gaji besar. “Katanya cuma jadi pembantu, bukan ikut perang,” katanya mengutip rekannya yang merekrut dia dari India.
Di lain sisi, video YouTube dari kanal Baba Vlogs yang berbasis di India mempromosikan pekerjaan di Rusia sebagai "peluang emas", dengan gaji Rp32–40 juta per bulan.
Bukan hanya janji, para calon tentara ini bahkan harus membayar mahal. Seorang pria Nepal mengaku mengeluarkan hingga US$9.000 (sekitar Rp146 juta) untuk memperoleh visa turis Rusia, yang ternyata hanyalah kedok. Setelah masuk Rusia, mereka langsung dikirim ke kamp pelatihan militer.
Dari Imigran hingga Narapidana: Sasaran Empuk Rekrutmen Militer
Menurut laporan investigatif berbagai media global, termasuk CNN dan Moscow Times, sasaran utama perekrutan ini adalah kelompok masyarakat miskin dan rentan secara keimigrasian: pekerja migran, overstay visa, pengangguran, hingga narapidana.
Dalam kasus ekstrem, narapidana dijanjikan pembebasan dini. Lemekani Nyirenda, mahasiswa asal Zambia yang dipenjara di Rusia, direkrut untuk bergabung dengan Wagner Group. Ia akhirnya tewas dalam pertempuran tanpa sepengetahuan keluarganya.
Petro Yatsenko, juru bicara intelijen militer Ukraina (HUR), menyebut bahwa banyak dari mereka direkrut dengan janji akan ditempatkan di zona aman, bekerja di perusahaan, atau diberi perlindungan hukum.
Namun kenyataannya, mereka langsung dikirim ke garis depan dengan pelatihan militer seadanya, selama dua minggu, bahkan tanpa penerjemah.
“Yang terjadi adalah eksploitasi terselubung. Mereka ini jadi tameng hidup. Rusia memanfaatkan kerentanan ekonomi mereka,” ujarnya.
Satria Kumbara: Dari Marinir Indonesia Jadi Warga Tak Bernegara
Kasus Satria Arta Kumbara menjadi sorotan publik Indonesia setelah videonya viral. Dalam video itu, Satria mengaku menyesal bergabung sebagai relawan militer Rusia dan meminta kembali menjadi warga negara Indonesia.
Namun, berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan RI, keikutsertaan dalam militer asing tanpa izin presiden otomatis membuat status kewarganegaraan hilang.
Satria adalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana Rusia menggunakan jalur hukum dan diplomatik untuk menjebak para tentara asing. Dalam kontrak militer, disebutkan bahwa siapa pun yang bergabung wajib menjalani masa tugas minimal setahun. Bila mereka melarikan diri atau membatalkan sepihak, ancaman hukuman penjara 10–15 tahun langsung berlaku.
Yang lebih tragis, proses memperoleh kewarganegaraan Rusia lewat jalur militer ternyata tidak otomatis. Banyak dari mereka justru kehilangan status WNI tanpa mendapat status baru dari Rusia, menjadikan mereka stateless atau warga tak bernegara.
“Saya ingin kembali ke Indonesia. Saya menyesal,” ujar Satria dalam video berdurasi dua menit itu.
15 Ribu Warga Nepal, Ratusan Korban, dan Respons Global
Menurut data intelijen Ukraina, Rusia telah merekrut sedikitnya 15.000 warga Nepal untuk dikirim ke medan perang di Ukraina. Pemerintah Nepal sendiri mengakui ada sekitar 200 orang warganya yang terlibat, dengan 13 orang dilaporkan tewas. Perbedaan data ini menjadi sumber ketegangan diplomatik.
Pada Desember 2023, Nepal secara resmi melarang warganya bepergian ke Rusia untuk keperluan kerja, menyusul meningkatnya angka kematian. Namun larangan itu sulit ditegakkan, karena jalur rekrutmen menggunakan visa turis dan jalur transit melalui India atau UEA.
Sri Lanka dan Sierra Leone juga melaporkan upaya pemulangan warganya yang tertangkap atau tertahan di Rusia dan Ukraina. Namun proses itu tidak mudah. Selain kendala politik, sebagian besar dari mereka sudah kehilangan paspor asal dan tidak memiliki dokumen imigrasi.
Sementara itu, Rusia menolak tuduhan rekrutmen ilegal dan menyebut semua proses dilakukan secara sukarela. Namun laporan dari organisasi HAM internasional menyebut adanya praktik pemaksaan, manipulasi informasi, dan penyembunyian risiko.
Apa yang dilakukan Rusia sejatinya bukan hanya praktik militer, tapi juga bagian dari strategi ekonomi dan geopolitik. Dengan merekrut tentara asing, Rusia mengurangi tekanan sosial dalam negeri dan menyebarkan beban perang ke negara lain, terutama negara-negara Global South yang rentan.
Janji kewarganegaraan dan visa tinggal dipakai sebagai alat tawar. Dengan paspor Rusia, para migran berpikir mereka bisa menyelamatkan masa depan. Nyatanya, paspor itu justru menjebak mereka dalam kontrak militer yang kejam dan tak bisa dinegosiasikan.
Di sisi lain, negara asal mereka mengalami dilema. Di satu sisi ingin menyelamatkan warganya, di sisi lain harus menghadapi tekanan politik luar negeri dan citra buruk di mata internasional.
Penutup: “Perang Bukan Lagi Soal Ideologi, Tapi Siapa yang Mau Dibayar”
Kisah seperti Satria Kumbara, Lemekani dari Zambia, atau para pemuda Nepal dan Sri Lanka membuka mata dunia bahwa perang kini tak hanya soal konflik antar negara, tapi juga soal perebutan manusia dari kelas bawah sebagai komoditas.
Rekrutmen tentara asing oleh Rusia memperlihatkan wajah gelap dari konflik Ukraina. Dalam perang modern, bukan hanya senjata dan strategi yang menentukan, tapi juga siapa yang cukup putus asa untuk dijadikan pion.

0Komentar