Konflik bersenjata pecah di perbatasan Thailand-Kamboja. Jet tempur dikerahkan, 9 warga sipil tewas, dan 40 ribu orang mengungsi. Kamboja ajukan permintaan darurat ke PBB. (Antara Foto)

Ketegangan di kawasan perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas. Pada Kamis (24/7/2025), dua negara bertetangga itu terlibat dalam bentrokan bersenjata paling serius dalam lebih dari satu dekade terakhir. Insiden ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil, tetapi juga memicu eskalasi diplomatik hingga level Dewan Keamanan PBB.

Serangan militer Thailand dilakukan menyusul tuduhan bahwa Kamboja lebih dulu menembakkan roket BM-21 ke wilayah permukiman sipil di Distrik Kap Choeng, Provinsi Surin. 

Dalam pernyataan resminya, juru bicara militer Thailand, Ritcha Suksuwanon, mengatakan bahwa serangan tersebut menyebabkan sembilan warga sipil tewas, termasuk seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, dan 14 orang lainnya luka-luka.

Merespons hal itu, Thailand mengerahkan enam jet tempur F-16 dari Provinsi Ubon Ratchathani dan menghantam dua lokasi militer di sisi Kamboja. Wilayah Sisaket menjadi titik korban tertinggi, dengan enam warga tewas di sekitar SPBU. 

Tiga korban jiwa lainnya tercatat di Surin dan Ubon Ratchathani. Pemerintah Thailand juga menutup seluruh pos perbatasan dan mengevakuasi sekitar 40 ribu warga dari 86 desa di sepanjang perbatasan.

Bentrok bermula pada pukul 07.35 pagi ketika drone militer Kamboja disebut melintasi kawasan sensitif di sekitar Candi Ta Muen. Enam tentara Kamboja bersenjata, salah satunya membawa peluncur granat RPG, mendekati pagar kawat berduri di sisi Thailand. 

Meski sudah diteriakkan peringatan, pasukan Kamboja melepaskan tembakan sekitar pukul 08.20 ke arah timur kompleks candi, memicu balasan artileri dari pihak Thailand.

Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menekankan bahwa pemerintahannya bertindak hati-hati namun tetap tegas dalam merespons serangan lintas batas tersebut. 

"Situasi ini memerlukan penanganan hati-hati, dan kami harus bertindak sesuai dengan hukum internasional. Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindungi kedaulatan kami," ujarnya.

Kepala distrik Kabcheing di Surin, Sutthirot Charoenthanasak, turut menegaskan eskalasi yang terjadi di lapangan. "Peluru artileri menghujani rumah warga. Dua orang telah tewas," katanya.

Di sisi lain, Kamboja justru menuding Thailand sebagai pihak yang memulai agresi. Perdana Menteri Hun Manet mengirim surat resmi ke Presiden Dewan Keamanan PBB, Asim Iftikhar Ahmad, untuk meminta pertemuan darurat. 

Dalam surat tersebut, ia menuduh Thailand telah melakukan “agresi yang sangat serius yang secara signifikan mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan.”

"Saya dengan sungguh-sungguh meminta Anda untuk segera mengadakan pertemuan darurat Dewan Keamanan guna menghentikan agresi Thailand," tulis Hun Manet dalam suratnya yang dikirim dari Phnom Penh.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, menyebut tindakan militer Thailand sebagai pelanggaran terhadap integritas teritorial. 

Ia menegaskan bahwa angkatan bersenjata Kamboja hanya menjalankan hak sah untuk membela diri. "Militer Thailand telah melanggar integritas teritorial Kerajaan Kamboja dengan melancarkan serangan. Kami menjalankan hak sah untuk membela diri, sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional, untuk melindungi kedaulatan dan integritas wilayah Kamboja."

Kementerian Pertahanan Kamboja juga membantah tuduhan bahwa mereka menanam ranjau baru yang menyebabkan dua tentara Thailand kehilangan anggota tubuh. 

Pihak Phnom Penh menegaskan bahwa ledakan itu berasal dari ranjau sisa konflik lama, dan terjadi karena pasukan Thailand keluar dari jalur patroli yang telah disepakati bersama.

Ketegangan di kawasan ini bukan hal baru. Konflik wilayah perbatasan sepanjang 817 km antara Thailand dan Kamboja telah menjadi sumber sengketa selama lebih dari satu abad. 

Titik panas utama mencakup Segitiga Zamrud (Emerald Triangle), wilayah yang menyimpan banyak candi kuno dan berada di persimpangan perbatasan Thailand, Kamboja, dan Laos.

Bentrok besar terakhir terjadi pada 2011, dan ketegangan terbaru dimulai sejak Mei 2025 saat seorang tentara Kamboja tewas dalam kontak senjata. Konflik kemudian meningkat pasca-insiden ranjau yang menewaskan dua tentara Thailand. 

Meski ASEAN sejauh ini belum mengambil peran sebagai mediator, tekanan internasional diperkirakan akan meningkat menyusul permintaan resmi Kamboja ke Dewan Keamanan PBB.

Thailand merespons dengan langkah diplomatik tegas: mengusir duta besar Kamboja dan menarik pulang duta besar mereka dari Phnom Penh. Hubungan kedua negara kini berada di titik terendah dalam satu dekade terakhir.

Beberapa media internasional turut melaporkan insiden ini. Reuters menggarisbawahi jumlah korban sipil dan evakuasi besar-besaran di wilayah Thailand. AFP menyoroti pengusiran duta besar dan tuduhan pelanggaran wilayah udara oleh drone Kamboja. 

Sementara itu, Al Jazeera memuat pembelaan hukum Kamboja yang menyatakan serangan balasan mereka sah secara hukum internasional.

Hun Manet dalam wawancara terpisah menyatakan, "Kami tidak punya pilihan selain merespons secara militer untuk melindungi kedaulatan." Sementara juru bicara militer Thailand menegaskan, "Kami menyerang target militer, tetapi Kamboja menyerang warga sipil."

Respons PBB hingga kini masih menunggu konsensus di internal Dewan Keamanan. Kamboja mendesak arbitrase internasional, sedangkan Thailand lebih memilih penyelesaian bilateral. 

ASEAN sendiri belum secara resmi turun tangan, sementara kekhawatiran atas potensi eskalasi bersenjata terus menguat di kawasan.