![]() |
| Ketegangan Thailand dan Kamboja kembali memuncak. Dari sengketa perbatasan hingga saling serang di wilayah sengketa. (REUTERS/Athit Perawongmetha) |
Pagi itu, 24 Juli 2025, langit di Provinsi Buriram, Thailand, mendadak berubah muram. Ledakan terdengar bersahut-sahutan, asap membubung dari arah timur, dan suara sirene memecah kesunyian.
Di titik perbatasan yang selama ini diperebutkan dengan Kamboja, kontak senjata pecah dan menewaskan 12 orang 11 di antaranya warga sipil Thailand, termasuk dua anak-anak.
Dalam waktu singkat, Thailand menutup akses lintas batas, Kamboja memutuskan hubungan diplomatik, dan dunia menyaksikan bagaimana dua negara tetangga di Asia Tenggara kembali terseret ke pusaran konflik bersenjata yang sudah berlangsung selama lebih dari satu abad.
Luka Lama yang Belum Sembuh
Sengketa antara Thailand dan Kamboja berakar jauh ke masa kolonial, saat Prancis menjadikan Kamboja sebagai protektorat di abad ke-19. Saat itulah, batas wilayah dengan Siam nama lama Thailand ditetapkan secara ambigu, terutama di sekitar Kuil Preah Vihear, situs suci abad ke-11 yang berdiri megah di perbatasan.
“Peta era kolonial seringkali dibuat tanpa akurasi tinggi. Itu meninggalkan ruang tafsir yang sampai kini belum selesai,” jelas Dr. Suthida Malikaew, sejarawan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok.
Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1962 menetapkan bahwa Kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja. Namun, area sekitarnya sekitar 4,6 kilometer persegi tetap menjadi titik panas sengketa.
Ketegangan kembali melonjak pada 2008, saat Kamboja mendaftarkan kuil tersebut sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Thailand menolak keras, mengklaim area di sekitar kuil sebagai miliknya. Bentrokan bersenjata pun pecah dan menewaskan 28 orang dalam insiden 2008 dan 2011.
“Kuil ini bukan sekadar situs budaya, tapi simbol kebangsaan bagi kedua negara,” ujar Malikaew.
Konflik ini bukan yang pertama. Kamboja pernah memutus hubungan diplomatik pada 1958 dan 1961 karena sengketa yang sama. Pada 2003, aksi massa di Phnom Penh menyerang Kedutaan Thailand, memaksa evakuasi besar-besaran warga Thailand dalam Operasi Pochentong.
Menurut data Kementerian Luar Negeri Thailand, setidaknya 50 insiden bersenjata terjadi sejak 2008, dengan lebih dari 70 korban jiwa.
Letupan 2025: Api Meledak di Ta Muen Thom
Ketegangan memuncak kembali pada Mei 2025, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak di perbatasan. Insiden ini menjadi awal rangkaian eskalasi yang terus memburuk.
Pada 15 Juni, rekaman bocor yang diduga berisi percakapan pribadi antara PM Thailand Paetongtarn Shinawatra dan mantan PM Kamboja Hun Sen beredar luas. Isinya belum sepenuhnya terungkap, namun cukup untuk mengguncang politik dalam negeri Thailand.
Mahkamah Konstitusi pun menskors Paetongtarn pada 1 Juli. Pemerintahan sementara diambil alih oleh Wakil PM Phumtham Wechayachai, yang disebut sejumlah analis “berjalan di atas bara.”
“Skandal ini melemahkan fondasi koalisi pemerintahan yang memang sejak awal rapuh,” kata Dr. Pavin Chachavalpongpun, pengamat politik Asia Tenggara dari Universitas Kyoto.
Hanya beberapa pekan setelah itu, ranjau darat meledak di wilayah perbatasan, melukai lima tentara Thailand. Bangkok menuding Phnom Penh menanam ranjau baru, namun Kamboja menyebutnya sebagai sisa perang era 1970-an.
Pada 24 Juli, titik didih tercapai. Baku tembak meletus di sekitar Kuil Ta Muen Thom situs lain yang juga disengketakan. Versi pemerintah Thailand menyebut Kamboja memulai tembakan pada pukul 08:20. Namun, Kamboja menyatakan Thailand terlebih dahulu melintasi batas dan menembak pada pukul 06:30.
Tiga jam kemudian, jet tempur F-16 milik Thailand membombardir posisi militer Kamboja. Thailand menyebut serangan itu sebagai balasan atas pelanggaran wilayah, sementara Kamboja mengklaim berhasil menembak jatuh satu F-16 klaim yang dibantah Bangkok.
“Dua belas nyawa melayang dalam waktu singkat, termasuk dua anak. Ini tragedi kemanusiaan,” kata Srey Neth, aktivis HAM Kamboja, kepada Kompas TV.
Kamboja lantas merespons dengan memutus hubungan diplomatik, melarang impor barang dari Thailand, termasuk produk hortikultura, pasokan listrik, hingga akses internet. Di sisi lain, Thailand mengevakuasi 40.000 warga dari Buriram dan Surin, dua provinsi paling terdampak.
“Kami tak punya pilihan selain menanggapi agresi dengan kekuatan,” tegas PM Kamboja Hun Manet dalam pidatonya malam itu. Pemerintahan Thailand di bawah Phumtham memilih nada lebih hati-hati. “Sengketa ini sensitif dan harus ditangani dalam koridor hukum internasional,” ujarnya.
Antara Krisis Politik dan Gelombang Nasionalisme
Konflik di perbatasan tak bisa dilepaskan dari konteks domestik masing-masing negara. Di Thailand, krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Paetongtarn yang sedang diselidiki membuat isu perbatasan menjadi distraksi politik yang efektif.
“Pemerintahan saat ini rentan, dan konflik ini jadi alat pengalihan,” ujar Chachavalpongpun. Survei lembaga lokal menunjukkan bahwa 62% publik Thailand mendukung tindakan militer tegas terhadap Kamboja.
Sementara di Kamboja, Hun Manet yang baru menjabat sejak 2023 masih berupaya memperkuat posisinya sebagai pemimpin, di tengah bayang-bayang dominasi ayahnya, Hun Sen.
“Hun Manet butuh pengakuan, dan konflik seperti ini bisa mendongkrak nasionalisme,” kata Sophea Meas, analis dari Institut Kamboja untuk Demokrasi.
Dari sisi militer, eskalasi terlihat nyata. Sejak Mei 2025, Thailand menambah 10.000 personel militer ke wilayah sengketa. Kamboja, di sisi lain, mengerahkan roket BM-21 senjata yang dianggap melanggar prinsip hukum humaniter karena efek destruktifnya terhadap wilayah sipil.
“Penggunaan senjata seperti itu di area berpenduduk adalah pelanggaran berat,” tegas Neth.
Di balik asap mesiu, dampak ekonomi mulai terasa. Larangan impor dari Kamboja menyebabkan kerugian bagi eksportir Thailand, yang ditaksir mencapai US$200 juta per bulan. Di sisi lain, Kamboja yang bergantung pada pasokan listrik dan jaringan internet dari Thailand mulai mengalami gangguan.
“Perang dagang ini menyakiti kedua pihak,” kata Dr. Chheang Vannarith, ekonom dari Institut Asia Tenggara. “Jika berlanjut, ekonomi kedua negara bisa terkontraksi 1–2% pada 2026.”
Apa Perang Besar Akan Terjadi?
Meski ketegangan memuncak, analis menilai peluang pecahnya perang terbuka masih kecil. “Kedua negara sadar bahwa eskalasi penuh akan berdampak besar secara ekonomi maupun reputasi internasional,” ujar Vannarith.
Data SIPRI menunjukkan anggaran militer Thailand mencapai US$7,3 miliar pada 2024, jauh di atas Kamboja yang hanya US$1,2 miliar. Namun, Kamboja memiliki kartu as: dukungan diplomatik dari Tiongkok.
Beijing langsung menawarkan mediasi, dengan menekankan pentingnya stabilitas regional demi kelancaran proyek Belt and Road Initiative. Namun sejarah membuktikan, Thailand dan Kamboja cenderung enggan melibatkan pihak luar.
Pada 2011, mediasi Indonesia gagal total karena ditolak oleh Bangkok.
“Solusi jangka panjang hanya mungkin lewat forum hukum seperti Mahkamah Internasional atau kesepakatan bilateral yang mengikat,” kata Chachavalpongpun.
ASEAN pun berencana menggelar pertemuan darurat di Kuala Lumpur pada Agustus. Namun, hingga kini belum ada komitmen konkret dari kedua negara untuk meredam konflik.
Konflik 2025 menjadi alarm bahwa luka sejarah yang tak disembuhkan dengan bijak akan terus berdarah. Dengan 12 korban jiwa, 40.000 pengungsi, dan hubungan diplomatik yang runtuh, kawasan ini kembali dibayangi ketidakpastian.
“Kami ingin damai, tapi tak akan menyerah,” kata seorang warga Buriram yang rumahnya luluh lantak dihantam roket. Di seberang perbatasan, seorang pengungsi di Oddar Meanchey berbisik lirih, “Kami hanya ingin hidup tenang. Tapi perang ini tak pernah selesai.”

0Komentar