![]() |
Surat edaran Menteri Ketenagakerjaan 2025 melarang diskriminasi usia dalam rekrutmen. Namun di lapangan, pekerja 30 tahun ke atas tetap sulit mendapat pekerjaan karena bias usia. (MI/Ramdani) |
Melalui SE Menteri Ketenagakerjaan No. M/6/HK.04/V/2025, pemerintah mencoba menekan diskriminasi dalam rekrutmen. Termasuk soal batas usia. Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan tetap menyaring kandidat berdasarkan umur, terutama terhadap mereka yang sudah memasuki usia kepala tiga.
SE yang dirilis awal Mei 2025 itu datang di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin menggila. Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat, dalam kurun Januari hingga April 2025, sebanyak 73.992 pekerja kehilangan pekerjaan.
Dari angka itu, mayoritas merupakan pekerja berusia 30 tahun ke atas, yang ironisnya justru makin sulit terserap kembali oleh pasar tenaga kerja.
Alasannya? Satu kata: umur.
“Terlalu Tua untuk Mulai, Terlalu Muda untuk Pensiun”
Meski tidak tertulis secara eksplisit, banyak perusahaan tetap menyaring pelamar kerja berdasarkan usia. Iklan lowongan masih saja mencantumkan batas maksimal umur 25 atau 27 tahun, bahkan untuk posisi non-lapangan dan tidak memerlukan tenaga fisik berat. Beberapa bahkan menyertakan syarat status belum menikah, seolah-olah pengalaman hidup menjadi beban.
Bagi pelamar berusia 30-an, fakta ini tidak mengejutkan lagi. Mereka sudah hafal dengan jawaban HRD yang menolak secara halus: “Kami mencari kandidat yang lebih muda agar bisa tumbuh bersama perusahaan.” Atau yang lebih menusuk: “Kami butuh yang cepat adaptif dan tahan tekanan.”
SE 2025 memang mengatur bahwa batasan usia hanya diperbolehkan jika sifat pekerjaan menuntut kemampuan spesifik, seperti stamina fisik tinggi. Tapi karena hanya berbentuk edaran, sifatnya tidak mengikat secara hukum. Tidak ada sanksi, tidak ada mekanisme penindakan. Bahkan banyak HRD yang tidak tahu bahwa edaran ini ada.
Sementara itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan yang semestinya menjadi landasan hukum perlindungan juga tak punya gigi. Diskriminasi dalam rekrutmen dilarang, tapi tidak ada instrumen penegakan yang cukup kuat untuk membuat perusahaan takut melanggarnya.
Kenyataan ini menempatkan pekerja usia 30 tahun ke atas di posisi paling rapuh. Terlalu tua untuk lowongan entry level, terlalu “mahal” untuk perusahaan yang ingin menekan biaya, dan belum cukup senior untuk masuk posisi manajerial.
Potret suram yang dialami banyak profesional 30+ tahun ini mencerminkan paradoks besar dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia.
SE Tanpa Sanksi, Pasar Kerja Tetap Tumpul
Pengusaha berdalih, seleksi berbasis usia bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan konsekuensi dari struktur pasar tenaga kerja yang timpang. Jumlah pelamar jauh melebihi kebutuhan, sehingga batasan usia digunakan sebagai “mekanisme penyaringan awal.”
"Daripada kewalahan menyeleksi ribuan CV, perusahaan butuh filter cepat. Umur jadi cara paling praktis," kata seorang praktisi HR dari sektor logistik, yang enggan disebut namanya.
Namun, logika ini bertabrakan dengan prinsip keadilan dan efektivitas. Dalam banyak kasus, pekerja usia 30–40 tahun justru memiliki pengalaman kerja yang relevan, kedisiplinan lebih tinggi, serta stabil secara emosional. Namun tetap tersingkir karena terjebak label "tidak segesit generasi Z".
Di sisi lain, pemerintah hanya memberi janji normatif. Tidak ada insentif konkret bagi perusahaan yang mau mempekerjakan pekerja senior.
Tidak ada lembaga pemantau yang benar-benar menindak lowongan kerja diskriminatif. Yang ada justru pernyataan retoris tentang "pentingnya kesetaraan kesempatan kerja".
Padahal, diskriminasi usia bukan hanya soal rekrutmen. Di tempat kerja pun, pekerja senior kerap tersisih secara sistematis. Banyak yang tidak mendapat kesempatan pelatihan ulang (reskilling), meski teknologi terus berubah.
Pekerja 40+ tahun sering kali dianggap tidak layak “di-upgrade”, dan hanya menunggu waktu pensiun atau PHK.
Bahkan dalam kebijakan jaminan sosial pun, kelompok ini kerap luput dari perlindungan. BPJS Ketenagakerjaan memang menyediakan jaminan pensiun, tapi hanya berlaku bagi pekerja formal.
Sebagian besar pekerja usia 30+ tahun yang bekerja di sektor informal mulai dari ojek daring, UMKM, hingga freelance tidak terlindungi. Banyak yang menunggak iuran karena penghasilan tidak menentu.
Negara Lain Bergerak, Indonesia Masih Sibuk Mengimbau
OECD mencatat usia pensiun efektif di Indonesia terus meningkat. Bagi pria, dari 64 menjadi 66 tahun; bagi wanita dari 60 ke 62 tahun. Artinya, warga Indonesia harus bekerja lebih lama.
Tapi tanpa dukungan kebijakan yang adil dan inklusif, masa kerja yang lebih panjang justru menjadi beban baru, bukan jaminan kesejahteraan.
Pemerintah memang memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Namun program pelatihannya belum sepenuhnya dirancang bagi kelompok usia menengah. Sebagian besar justru menyasar angkatan kerja muda atau fresh graduate.
Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara telah mengantisipasi masalah ini dengan kebijakan afirmatif. Belanda, misalnya, menawarkan insentif pajak bernama Loonkostenvoordeel bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja berusia di atas 56 tahun.
Singapura punya SkillsFuture Mid-Career Support Package yang membiayai pelatihan untuk pekerja usia 40–50 tahun dan memberi insentif bagi perusahaan yang merekrut mereka.
Indonesia bisa belajar dari pendekatan itu. Karena tanpa intervensi struktural, diskriminasi usia akan menimbulkan efek domino: meningkatnya pengangguran usia produktif, kemiskinan yang menjalar ke keluarga, hingga tekanan sosial pada generasi muda yang harus menopang orang tua mereka lebih lama.
Bagi Eka, 34 tahun, mantan staf keuangan di perusahaan manufaktur yang terkena PHK tahun lalu, SE Menteri hanyalah simbol semu.
“Saya sudah kirim lebih dari 80 lamaran kerja. Banyak yang jawab sopan, tapi saya tahu, umur saya yang bikin susah tembus. Bahkan posisi yang saya lamar sesuai banget dengan pengalaman saya,” ujarnya.
Eka bukan satu-satunya. Cerita serupa muncul di berbagai kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan menunjukkan bahwa ini bukan masalah individual, melainkan struktural.
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Diah Pratiwi, menyebut fenomena ini sebagai “age ceiling” batas psikologis yang tak tertulis tapi sangat nyata dalam dunia kerja.
“Kita sedang mengalami krisis kebijakan ketenagakerjaan yang tidak responsif terhadap perubahan demografi. Usia 30 seharusnya puncak produktivitas, bukan fase tersingkir,” katanya.
Tanpa regulasi yang lebih kuat, perusahaan akan terus memilih jalan pintas. Tanpa insentif nyata, pengusaha enggan menanggung risiko mempekerjakan pekerja senior. Dan tanpa perbaikan sistem jaminan sosial, kelompok ini akan terus terjebak dalam ketidakpastian.
Sementara itu, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan 2025 akan tetap menjadi lembaran kertas yang baik maksudnya, tapi lemah dampaknya. Tidak cukup untuk mengubah cara pandang, apalagi perilaku struktural di pasar kerja.
Yang dibutuhkan bukan sekadar larangan simbolis, tapi mekanisme pengawasan, sanksi administratif, serta insentif yang mendorong perubahan nyata. Regulasi harus melindungi semua usia, dan pasar kerja harus memberi tempat bagi semua yang punya kompetensi bukan hanya yang muda dan murah.
Jika tidak, Indonesia akan menghadapi generasi menua tanpa pekerjaan, dan ekonomi yang stagnan karena talenta terbaiknya dikesampingkan oleh kebijakan yang diskriminatif.
0Komentar