![]() |
| Serangan rumah doa di Padang ungkap rapuhnya perlindungan bagi pelajar Kristen di Sumbar, memicu desakan reformasi pendidikan dan penegakan hukum. |
Minggu sore itu, 27 Juli 2025, suara teriakan memecah ketenangan sebuah rumah doa sederhana di Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat. Sekitar 30 anak, sebagian besar masih duduk di sekolah dasar, sedang mengikuti pelajaran agama Kristen ketika kerumunan massa tiba-tiba mendobrak masuk. Kursi-kursi berjatuhan, kaca jendela pecah, pagar rumah doa roboh.
Dua bocah perempuan, masing-masing berusia 8 dan 11 tahun, menjadi korban paling parah. Mereka dipukul dengan balok kayu dan ditendang berulang kali.
“Anak-anak itu hanya belajar, bukan beribadah di gereja. Tapi mereka diperlakukan seolah-olah melakukan sesuatu yang salah,” kata Pendeta Yosua, pengajar di rumah doa tersebut, “Mereka trauma berat. Setiap mendengar suara keras, mereka menutup telinga dan menangis.”
Polisi kini telah menangkap sembilan orang terkait serangan itu. Namun, bagi banyak pegiat hak asasi manusia, kasus ini lebih dari sekadar tindak kriminal biasa.
Mereka menyebut insiden tersebut sebagai cermin buram diskriminasi sistemik yang dihadapi siswa beragama minoritas di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan mayoritas penduduk Muslim.
Bukan Gereja Ilegal, Tapi Kewajiban Negara yang Bolong
Rumah doa di Padang Sarai bukanlah gereja resmi. Bangunan itu difungsikan semata-mata untuk kelas pendidikan agama Kristen, karena sekolah negeri tempat anak-anak itu belajar tidak memiliki guru Kristen.
Situasi ini muncul akibat regulasi pendidikan di Indonesia yang mewajibkan sekolah menyediakan pengajaran agama sesuai keyakinan siswa, tetapi dengan syarat minimal ada 15 siswa dari agama yang sama.
Jika jumlahnya kurang dari itu, siswa minoritas harus belajar di luar sekolah, biasanya di rumah ibadah atau fasilitas komunitas. Di Sumatera Barat, di mana 97% penduduknya beragama Islam, situasi ini menjadi norma.
“Secara hukum, apa yang mereka lakukan sah. Mereka tidak mendirikan gereja baru, hanya menjalankan hak dasar yang dijamin konstitusi,” tegas Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute, “Masalahnya, pemerintah gagal melindungi mereka dari intimidasi dan kekerasan.”
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2024 menunjukkan, sekitar 65% siswa beragama Kristen di Sumatera Barat harus mengikuti pelajaran agama di luar sekolah.
Dari total 11.500 siswa Kristen di provinsi itu, hanya 4.000-an yang mendapatkan pengajaran di sekolah. Sisanya bergantung pada fasilitas komunitas, yang kerap menjadi target tekanan sosial.
“Ini bukan hanya kasus Padang Sarai. Pada Juni lalu, situasi serupa terjadi di Sukabumi. Sekitar 20 anak Kristen dipaksa membubarkan kelas agamanya karena tekanan kelompok tertentu. Tidak ada perlindungan yang memadai,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Pemerintah Daerah Dinilai “Menormalisasi Intoleransi”
Wali Kota Padang, Fadly Amran, mengeluarkan pernyataan resmi sehari setelah kejadian. Ia meminta maaf kepada korban dan menyebut insiden itu sebagai “kesalahpahaman yang dipicu miskomunikasi.” Namun, bagi aktivis, kata-kata itu justru menambah luka.
“Menyebut kekerasan terhadap anak-anak sebagai ‘miskomunikasi’ adalah cara paling halus untuk menutup mata terhadap intoleransi yang nyata,” ujar Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation, dalam wawancara terpisah. “Ini bukan miskomunikasi, ini pelanggaran hak asasi manusia.”
Sejumlah aktivis menilai pemerintah daerah sering memilih bersikap netral, bahkan ketika pelanggaran jelas terjadi. Bonar dari Setara Institute menyebut ada kecenderungan pejabat lokal menghindari konflik dengan kelompok intoleran.
“Di banyak daerah, pejabat khawatir kehilangan dukungan politik jika terlihat membela minoritas. Akibatnya, penegakan hukum menjadi lemah, dan kelompok intoleran merasa kebal,” katanya.
Kepolisian setempat telah menahan sembilan orang terduga pelaku. Namun, menurut pegiat HAM, proses hukum kerap mandek di tahap awal, atau berakhir dengan vonis ringan.
Data Setara Institute mencatat, dari 25 kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia sepanjang 2023, hanya 11 kasus yang berujung pada vonis di pengadilan, dan 8 di antaranya dijatuhi hukuman percobaan.
“Tanpa penegakan hukum tegas, kejadian seperti ini akan terus berulang. Apalagi jika pelakunya percaya mereka akan dilindungi atau hanya dihukum ringan,” kata Usman Hamid.
Legislator Desak Reformasi Pendidikan dan Hukum
Anggota DPR dari Komisi VIII, Maman Imanul Haq, menyebut serangan di Padang Sarai sebagai “alarm keras” bagi pemerintah pusat. Ia mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk segera merekrut guru-guru dari agama minoritas di semua sekolah negeri, terlepas dari jumlah siswa.
“Tidak adil anak-anak harus belajar di luar sekolah hanya karena jumlah mereka sedikit. Ini memperbesar jarak sosial dan membuat mereka rentan jadi target kekerasan,” ujarnya. “Pemerintah harus menjamin layanan pendidikan agama tanpa syarat diskriminatif.”
Selain itu, sejumlah politisi mendorong agar Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah ditinjau ulang.
Meskipun insiden Padang Sarai tidak melibatkan gereja formal, aturan PBM sering dijadikan alasan kelompok intoleran untuk membubarkan kegiatan keagamaan minoritas.
“PBM 2006 harus direvisi. Aturan itu awalnya dibuat untuk mengatur, tapi dalam praktiknya justru jadi alat diskriminasi,” kata Maman.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pemerintah pusat akan memantau proses hukum kasus Padang Sarai. Namun, ia tidak menjawab secara spesifik apakah kebijakan pendidikan agama akan diubah.
“Kita akan lihat perkembangan di lapangan dulu,” katanya singkat.
Tren Intoleransi di Bawah Pemerintahan Prabowo
Kasus Padang Sarai muncul di tengah meningkatnya laporan intoleransi terhadap minoritas agama di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Data Setara Institute mencatat, dalam enam bulan pertama 2025, terdapat 37 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia, naik 25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Di Sumatera Barat sendiri, terjadi 7 insiden serupa sepanjang 2024-2025, mulai dari penolakan perayaan Natal hingga pembubaran kelas agama. Provinsi ini berulang kali masuk daftar “zona rawan intoleransi” versi laporan tahunan beberapa lembaga HAM.
“Fenomena ini bukan sekadar soal Sumatera Barat, tapi gejala nasional. Negara gagal menjamin rasa aman bagi warganya yang berbeda keyakinan,” kata Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian. “Jika dibiarkan, ini bisa mengikis kohesi sosial dan memicu polarisasi lebih dalam.”
Pengamat politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi, menilai pemerintah pusat harus lebih tegas.
“Presiden perlu menunjukkan komitmen dengan kebijakan nyata, bukan sekadar pernyataan. Misalnya, membuat program wajib guru agama minoritas di sekolah negeri, dan memastikan aparat tidak takut menindak pelaku intoleransi, siapa pun mereka,” ujarnya.
Anak-Anak yang Tumbuh dalam Ketakutan
Di tengah perdebatan politik dan hukum, para korban serangan masih berjuang memulihkan trauma. Dua bocah yang terluka kini menjalani perawatan dan konseling psikologis.
Menurut Pendeta Yosua, sebagian orang tua mulai ragu mengirim anak-anak mereka ke kelas agama Kristen karena takut kejadian serupa terulang.
“Kami berusaha meyakinkan mereka bahwa ini hak anak-anak, bukan pelanggaran. Tapi wajar jika orang tua takut. Tidak ada jaminan perlindungan nyata dari negara,” katanya.
Sementara itu, komunitas gereja di Padang mulai menggalang dana untuk memperbaiki kerusakan rumah doa, yang diperkirakan mencapai Rp 150 juta. Namun, lebih sulit dari itu adalah memulihkan rasa aman anak-anak.
“Seorang anak bertanya kepada saya: ‘Apakah kami boleh belajar tentang Yesus tanpa dipukul?’ Pertanyaan itu menghancurkan hati saya,” kata Yosua lirih.
Insiden Padang Sarai bukan sekadar kisah tentang serangan terhadap sebuah rumah doa. Ia membuka tirai tentang betapa rapuhnya perlindungan hak-hak minoritas di Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan.
Selama syarat diskriminatif dibiarkan dan penegakan hukum lemah, anak-anak dari kelompok minoritas akan terus belajar dalam bayang-bayang ketakutan sesuatu yang berlawanan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang selama ini diagungkan.



0Komentar