![]() |
| Riset global ungkap perbedaan cara Gen Z dan milenial peduli lingkungan: aktivisme vs konsumsi hijau. Siapa yang lebih berdampak? (Apluswire/Nem) |
Gelombang demonstrasi iklim global kembali mengguncang kota-kota besar dunia, menampilkan dua generasi yang kerap menjadi sorotan: Gen Z dan milenial. Di jalanan, wajah-wajah muda berusia belasan hingga awal 20-an terlihat memegang poster bertuliskan “Save Our Future”, bergema dalam aksi Fridays for Future yang dipopulerkan Greta Thunberg.
Di sisi lain, generasi yang sedikit lebih tuamilenial, yang kini berusia 28–43 tahun lebih banyak menunjukkan kepeduliannya lewat cara yang berbeda dengan membeli produk ramah lingkungan, berinvestasi pada perusahaan berkelanjutan, atau menjalankan usaha hijau.
Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya lebih peduli terhadap krisis iklim? Apakah Gen Z yang vokal dan mendominasi demonstrasi, atau milenial yang secara finansial mampu mendukung gaya hidup ramah lingkungan?
Riset global dan fenomena di Indonesia menunjukkan, jawabannya tidak sesederhana memilih salah satu.
Gen Z Lebih Lantang, Milenial Lebih Praktis
Menurut Deloitte Global 2024 Millennial & Gen Z Survey, 73% Gen Z di seluruh dunia menyebut krisis iklim sebagai ancaman terbesar generasi mereka.
Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding milenial yang mencapai 68%. Namun, cara keduanya mengekspresikan kepedulian berbeda. Gen Z lebih banyak terlibat dalam aksi demonstrasi, kampanye daring, dan gerakan advokasi.
“Gen Z dibesarkan dalam era ketika isu iklim menjadi narasi besar media dan pendidikan. Bagi mereka, protes bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban moral,” kata Dr. Ratna Dewi, sosiolog generasi dari Universitas Indonesia.
Sementara itu, milenial yang sebagian besar sudah bekerja dan memiliki penghasilan cenderung menunjukkan kepeduliannya lewat konsumsi dan investasi hijau.
Menurut Nielsen Consumer Sustainability Report 2023, 60% pembeli produk berkelanjutan di Asia Pasifik berasal dari kelompok milenial, mulai dari membeli produk tanpa plastik hingga memilih kendaraan listrik. Gen Z, sebaliknya, lebih dominan dalam kampanye media sosial dan kegiatan advokasi.
“Generasi milenial pragmatis. Mereka memilih cara-cara yang bisa dijalankan sambil tetap produktif. Sementara Gen Z cenderung idealis, melihat aksi kolektif sebagai bentuk pengaruh nyata,” tambah Ratna.
Data Global: Dua Generasi, Dua Pendekatan
Survei Pew Research (2024) di 27 negara menunjukkan, 70% Gen Z mendukung kebijakan iklim yang lebih agresif, seperti pajak karbon dan penghentian batu bara, dibanding 55% milenial.
Namun, ketika ditanya apakah bersedia membayar lebih untuk produk berkelanjutan, 66% milenial bersedia, dibanding hanya 49% Gen Z.
“Gen Z lebih suka menyuarakan perubahan, sementara milenial lebih nyaman mendukung lewat kantong mereka,” kata Emily Chan, peneliti iklim dari London School of Economics. “Keduanya penting, tapi dampaknya berbeda: aksi Gen Z mendorong kesadaran publik, konsumsi hijau milenial mendorong pasar berubah.”
Di sisi lain, aktivisme digital Gen Z tak bisa diremehkan. Riset UNDP (2023) mencatat bahwa konten bertema lingkungan yang dipimpin oleh kreator Gen Z di media sosial mampu menjangkau lebih dari 500 juta penonton global dalam setahun, meningkatkan tekanan terhadap perusahaan dan pemerintah untuk bertindak.
Fenomena di Indonesia: “Turun ke Jalan” Vs “Belanja Hijau”
Di Indonesia, perbedaan ini juga terlihat. Menurut Katadata Insight Center (2024), 54% Gen Z pernah ikut kampanye atau aksi lingkungan, baik di dunia nyata maupun media sosial. Hanya 38% milenial yang melakukan hal serupa.
Namun, 62% milenial secara rutin membeli produk berkelanjutan, seperti kemasan ramah lingkungan, kendaraan listrik, atau produk organik, dibanding 41% Gen Z.
Bagi Gen Z, aksi turun ke jalan sering menjadi cara utama mengekspresikan kepedulian. “Buat saya, kalau tidak ada tekanan publik, isu lingkungan tidak akan jadi prioritas pemerintah,” kata Rani (21), mahasiswa yang ikut aksi penolakan tambang batu bara di Kalimantan. “Posting di media sosial dan ikut demonstrasi itu cara saya berkontribusi.”
Sementara itu, milenial seperti Arif (33), pengusaha kafe ramah lingkungan di Bandung, melihat cara berbeda. “Saya pikir aksi penting, tapi perubahan nyata datang dari pasar. Kalau lebih banyak bisnis hijau, industri akan ikut berubah,” ujarnya. Arif menggunakan bahan baku lokal, kemasan biodegradable, dan panel surya untuk operasional usahanya.
Komunitas sepeda, gerakan zero waste, dan bisnis eco-friendly banyak digerakkan milenial. Sementara itu, kampanye daring seperti #BumiKitaMasaDepan dan aksi protes di Jakarta atau Bandung lebih banyak diikuti Gen Z.
Mengapa Kepedulian Mereka Berbeda?
Menurut para ahli, perbedaan ini bukan soal siapa yang lebih peduli, tetapi lebih pada latar belakang dan prioritas generasi.
Faktor Ekonomi:
Milenial rata-rata sudah mapan secara finansial, sehingga lebih mampu membeli produk ramah lingkungan yang harganya lebih mahal. Gen Z, yang banyak masih mahasiswa atau pekerja baru, lebih memilih aksi kolektif yang tak memerlukan biaya besar.
Budaya Digital:
Gen Z adalah digital native yang terbiasa menggunakan media sosial sebagai ruang advokasi. Aksi dan kampanye daring menjadi cara utama mereka mendorong perubahan.
Nilai Generasi:
Peneliti sosial, Dr. Aulia Santoso, menyebut Gen Z cenderung idealis dan kolektif, sedangkan milenial pragmatis. “Gen Z ingin perubahan struktural. Milenial percaya perubahan bisa terjadi lewat perilaku konsumen dan pasar,” katanya.
Siapa Lebih Efektif?
Dari perspektif dampak, keduanya berperan penting tapi di jalur berbeda. Aktivisme Gen Z meningkatkan tekanan politik dan kesadaran publik, sementara konsumsi hijau milenial menggerakkan pasar dan industri.
Menurut laporan International Energy Agency (IEA) 2024, penjualan kendaraan listrik di Asia Pasifik naik 35% dalam dua tahun terakhir, sebagian besar karena permintaan konsumen milenial.
Sementara itu, kampanye digital Gen Z mendorong beberapa perusahaan besar di Indonesia untuk berkomitmen pada target netral karbon setelah menghadapi tekanan publik.
“Tanpa Gen Z, isu lingkungan mungkin tidak sepopuler sekarang. Tanpa milenial, pasar hijau tidak akan tumbuh secepat ini. Jadi, keduanya saling melengkapi,” kata Emily Chan dari LSE.
Meski keduanya peduli, masih ada tantangan. Gen Z sering dikritik karena aktivisme mereka dianggap sebatas simbolik (slacktivism), sedangkan milenial dinilai hanya melakukan konsumsi hijau tanpa mendesak perubahan kebijakan.
Dr. Ratna Dewi berpendapat, solusi terbaik adalah menggabungkan kekuatan dua generasi. “Gen Z bisa memimpin gerakan sosial, sementara milenial bisa mendukung dengan kekuatan finansial dan jaringan bisnis mereka. Jika keduanya bersatu, dampaknya akan lebih nyata,” ujarnya.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang siapa yang lebih peduli bukan soal memilih pemenang. Gen Z dan milenial peduli dengan cara yang berbeda. Gen Z berteriak di jalan dan media sosial, mengguncang opini publik. Milenial mengubah pasar lewat konsumsi dan investasi.
Dua pendekatan ini, jika bersinergi, bisa menjadi kekuatan besar untuk menyelamatkan bumi di tengah krisis iklim yang kian mendesak.

0Komentar