Apakah dunia benar-benar sedang berperang dan kita tak sadar?
Pada tahun 2025, pernyataan bahwa Perang Dunia III telah dimulai mungkin terdengar bombastis, bahkan menyesatkan. Tapi bagi Dmitry Trenin—mantan kolonel militer Soviet dan kini salah satu pengamat geopolitik Rusia paling vokal ini bukan teori konspirasi.
Bagi Trenin, dunia tengah berada dalam konflik global skala besar, namun bentuknya tidak lagi berupa tank melindas perbatasan atau jet tempur saling menjatuhkan.
“Ini bukan tentang wilayah. Ini tentang siapa yang memegang kendali atas tatanan dunia pasca-Perang Dingin,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Moskow, awal 2025 lalu.
Trenin menyebutkan bahwa sejak 2014, dunia memasuki fase pra-perang global dimulai dari aneksasi Krimea oleh Rusia, eskalasi persaingan AS-Tiongkok pada 2017, hingga konfrontasi Israel-Iran yang semakin terbuka sejak 2023. Semua ini, katanya, bukan insiden terpisah, melainkan bagian dari “perang dunia gaya baru” yang tidak kasat mata.
Dari Drone ke Disinformasi: Wajah Baru Perang Global
Konflik tak lagi hanya milik medan tempur. Ia kini menyusup ke siber, ekonomi, bahkan kesadaran publik.
Trenin mengangkat istilah perang hybrid gabungan strategi militer dan non-militer seperti sanksi ekonomi, sabotase siber, agitasi politik, hingga propaganda. Dan ini bukan teori.
Data Global Cyber Conflict Tracker mencatat 38 serangan siber berskala negara antara 2022-2024, sebagian besar melibatkan Rusia, China, AS, dan Iran.
Di medan nyata, Rusia menggunakan ribuan drone buatan Iran untuk menyerang infrastruktur Ukraina, sementara Iran disinyalir membalas tekanan Israel dan Barat lewat operasi siber pada jaringan transportasi dan keuangan Tel Aviv.
Tak ketinggalan, Tiongkok memperluas pengaruhnya di Laut China Selatan lewat manuver kapal dan intimidasi ekonomi terhadap tetangganya.
Semua ini adalah potret dari perang yang tidak diumumkan secara resmi, namun dampaknya sangat nyata: blokade digital, resesi perdagangan, dan ketegangan sosial di banyak negara.
“Ukraina Hanyalah Alat”
Pandangan Trenin tentang siapa yang sebenarnya sedang berperang.
Menurut Trenin, Ukraina hanyalah panggung. “Ukraina bukan tujuan akhir. Barat sedang mempersiapkan perang yang lebih besar,” katanya.
Dalam pandangannya, perang ini bersifat ideologis: Barat dengan tatanan liberal globalisnya melawan kebangkitan negara-negara yang ingin tatanan multipolar.
Pernyataan ini memang mencerminkan narasi dominan Rusia yang menolak hegemoni Barat. Tapi sebagian analis Barat mengakui ada titik temunya.
Profesor Anthony Glees dari University of Buckingham menyebut, “Konflik ini memang sudah lintas batas. Tapi belum pada tahap perang dunia belum ada deklarasi, belum ada teater perang global simultan.”
Namun, menurut survei Edelman Trust Barometer, 68% responden global pada 2025 mengaku percaya bahwa dunia sedang berada di ambang atau telah memasuki perang besar.
Publik melihat keterhubungan antara konflik dari Gaza hingga Taiwan, dari Kyiv hingga Laut China Selatan sebagai satu rangkaian krisis yang saling memperkuat.
Siapa di Balik Layar?
Dari NATO, AS, hingga Tiongkok semua terlibat, secara langsung maupun tidak.
Trenin menyebut NATO sebagai pemain utama dalam memperluas konflik. Dukungan militer terbuka kepada Ukraina, kehadiran pasukan di perbatasan Baltik, serta latihan gabungan di Asia Pasifik, menurutnya, merupakan bentuk keterlibatan langsung.
Di sisi lain, China tidak tinggal diam. Dalam dua tahun terakhir, Beijing menggelontorkan lebih dari US$300 miliar untuk memperkuat kapabilitas angkatan laut dan siber.
Xi Jinping menyebut “era bahaya strategis” sudah dimulai, dan bahwa China harus bersiap menghadapi tekanan global, termasuk kemungkinan blokade ekonomi.
Namun, analis independen seperti Kristian Gleditsch dari Universitas Essex memberi catatan penting: “Apa yang kita lihat adalah konflik multilateral kompleks, tapi masih jauh dari karakteristik perang dunia seperti era 1914 atau 1939.”
Perang Dunia atau Bukan?
Mengapa para ahli terpecah pendapatnya.
Perbedaan utama adalah definisi. Bagi Trenin dan sejumlah pemikir dari kubu Timur, Perang Dunia III bukan harus berbentuk invasi massal antarnegara, melainkan konflik global terkoordinasi yang memanfaatkan semua instrumen nasional—termasuk media, teknologi, dan keuangan.
“Perang Dunia III tidak akan dimulai seperti invasi Barbarossa atau krisis misil Kuba. Faktanya, perang ini sudah berlangsung – hanya saja tidak semua orang menyadarinya.” — Dmitry Trenin, pengamat geopolitik Rusia
Sebaliknya, pakar Barat seperti Sir Richard Dearlove (mantan kepala MI6) menekankan bahwa selama belum ada mobilisasi global penuh atau penggunaan senjata nuklir, maka itu belum layak disebut perang dunia.
Tapi menariknya, Jamie Dimon CEO JPMorgan Chase dalam laporan tahunan 2024 menyebut, “Kita sudah berada dalam tahap awal Perang Dunia III, bukan dalam arti militer, tapi secara ekonomi dan sistemik.”
Indonesia Terkena Dampak, Tapi Masih Aman?
Ketika negara nonblok seperti Indonesia ikut merasakan tekanan dari perang tersembunyi ini.
Indonesia mungkin tidak terlibat langsung, tapi dampaknya mulai terasa. Ekonom CORE Indonesia mencatat bahwa sejak 2022, volatilitas harga energi dan pangan meningkat 27%, sebagian besar akibat konflik di Ukraina dan Timur Tengah.
Di sisi lain, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan lonjakan serangan siber sebesar 42% sepanjang 2024, sebagian besar berasal dari luar negeri dan menyasar sektor keuangan dan energi.
“Dalam perang hybrid, tidak ada negara yang benar-benar netral. Semua jadi target,” ujar pakar pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. Dia menekankan pentingnya peningkatan keamanan digital dan diversifikasi pasokan strategis.
Jika Perang Ini Nyata, Apa Konsekuensinya?
Jika teori Trenin benar, dunia harus bersiap menghadapi perubahan besar:
Fragmentasi Ekonomi: De-dollarization, pemisahan blok dagang, dan ancaman disrupsi global supply chain.
Perlombaan Senjata Baru: Pengembangan AI untuk pertahanan, senjata otonom, hingga satelit militer.
Disrupsi Sosial dan Politik: Polarisasi masyarakat, disinformasi massif, serta kemunculan ekstremisme digital.
Perubahan Tatanan Dunia: Tatanan pasca-1945 bisa tergantikan oleh sistem multipolar, dengan kekuatan baru seperti BRICS memegang pengaruh dominan.
Namun jika Trenin keliru dan ini hanya fase transisi geopolitik biasa maka dunia masih punya peluang untuk keluar dari krisis ini lewat jalur diplomasi dan kerjasama multilateral.
Sejarah mencatat dua Perang Dunia sebelumnya terjadi karena salah kalkulasi, aliansi yang rapuh, dan ketidakmampuan melihat sinyal bahaya lebih awal.
Kini, sinyal itu bertebaran di mana-mana konflik simultan, ancaman nuklir, runtuhnya diplomasi, dan percepatan senjata AI. Kita bisa mengabaikannya, atau mulai bersiap dan menavigasi masa depan yang lebih stabil.
Teori Dmitry Trenin mungkin tidak diterima semua pihak. Tapi jika memang dunia sedang berperang, setidaknya kita tidak boleh jadi pihak yang terakhir menyadarinya.
0Komentar