Pertamina melalui anak usahanya resmi meneken MoU dengan ExxonMobil, Chevron, dan KDT Global Resources untuk impor minyak mentah, LPG, dan bensin dari Amerika Serikat. (thebrandhopper.com)


Indonesia resmi menggandeng Amerika Serikat dalam kerja sama energi strategis. PT Pertamina, melalui anak usahanya PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk pembelian minyak mentah, LPG, dan bensin dari sejumlah raksasa migas AS seperti ExxonMobil, Chevron, dan KDT Global Resources LLC.

Penandatanganan MoU ini menjadi bagian penting dari strategi pemerintah untuk mengamankan pasokan energi nasional dan memperluas jalur impor bahan bakar dari mitra nontradisional. 

Tak hanya itu, langkah ini juga dikaitkan erat dengan manuver dagang Indonesia di tengah ancaman tarif impor tinggi dari AS terhadap sejumlah produk nasional.

“Negosiasi ini menyangkut energi dan juga perdagangan. Kami ingin memperluas akses pasar sekaligus menjaga stabilitas pasokan energi dalam negeri,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Reuters, Selasa (8/7).

Nilainya tidak main-main. Pemerintah Indonesia siap menggelontorkan belanja hingga US$34 miliar atau sekitar Rp551 triliun (kurs Rp16.209/US$), dengan alokasi sekitar US$15,5 miliar atau Rp251 triliun khusus untuk sektor energi. Dari total tersebut, pembelian minyak dan LPG dari AS menjadi salah satu prioritas utama.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari pendekatan komprehensif Indonesia dalam menghadapi situasi geopolitik dan dinamika harga energi global. 

Dengan menjalin kemitraan langsung dengan perusahaan-perusahaan energi besar AS, pemerintah berharap bisa menstabilkan harga energi domestik sekaligus memperkuat ketahanan energi jangka panjang.

Dari sisi teknis, Pertamina akan menggunakan minyak mentah hasil kerja sama ini sebagai feedstock untuk kilang-kilang dalam negeri. Ini berarti pasokan minyak dari AS tak hanya untuk konsumsi langsung, tapi juga mendukung pengembangan industri hilir migas nasional. 

Artinya, efek domino dari kerja sama ini bisa merembet ke peningkatan kapasitas produksi BBM dalam negeri hingga potensi penghematan devisa jangka panjang.

Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung sempat menyatakan bahwa keputusan pembelian energi dari AS masih menunggu hasil akhir negosiasi Menko Airlangga dengan Washington. Namun dengan MoU yang sudah diteken, arah kebijakan ini kini makin terang dan konkret.

Tak hanya Pertamina, FKS Group dan Sorini Agro Asia Corporindo juga turut menandatangani perjanjian dengan Cargill untuk pembelian jagung. 

Ini mengindikasikan bahwa kesepakatan dagang Indonesia-AS tak terbatas di sektor energi saja, tapi merambah pangan dan bahan baku industri lainnya.

Keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN dalam satu kerangka lobi tarif dan kerja sama dagang semacam ini cukup jarang terjadi. 

Pemerintah tampaknya ingin menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi Indonesia kini bukan lagi sebatas wacana, tapi sudah masuk tahap implementasi lewat MoU bernilai jumbo dan aktor-aktor strategis lintas sektor.

Jika terealisasi penuh, impor energi dari AS ini bukan hanya akan menambah diversifikasi pasokan nasional, tapi juga bisa memperkuat posisi tawar Indonesia dalam peta energi global— khususnya di tengah tren shifting rantai pasok dan ketidakpastian geopolitik