Gaza tak hanya jadi medan perang berkepanjangan. Kawasan yang padat penduduk ini kini juga dijuluki sebagai "laboratorium hidup" pengujian senjata militer Israel sebuah realita kelam yang mengangkat pamor industri pertahanan negara tersebut di pasar global.
Di balik gempuran udara, serangan darat, dan blokade berkepanjangan, konflik Gaza justru menjadi ruang uji senjata-senjata terbaru Israel.
Teknologi militer canggih yang digunakan, dari bom presisi tinggi hingga sistem berbasis kecerdasan buatan (AI), dipraktikkan di medan nyata sebelum ditawarkan ke negara-negara mitra di seluruh dunia.
Ironisnya, semakin masif kerusakan di Gaza, makin meningkat pula grafik ekspor senjata Israel.
Konflik jadi ajang promosi ‘Made in Israel, Tested in Palestine’
Berbagai laporan internasional menyebut Israel rutin menguji teknologi tempur di Gaza sebelum memasarkan produk militernya secara global.
Sistem pemetaan target otomatis bernama fire factory, misalnya, mampu mengidentifikasi lokasi serangan dari data citra satelit, drone, hingga sadapan telekomunikasi hanya dalam hitungan pekan proses yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan.
“Ini bukan hanya teknologi militer. Ini model bisnis,” ujar Dr. Salah Abdel Ati, Direktur Lembaga Internasional Pembela Hak Rakyat Palestina, dalam sebuah wawancara. “Setiap serangan di Gaza adalah bagian dari strategi pemasaran.”
Senjata yang digunakan pun bukan kelas ringan. Dokter forensik Gaza, dr. Khalil Hamadeh, mengonfirmasi temuan bom MK-84 buatan AS seberat 1.000 kilogram yang digunakan di kawasan padat penduduk.
Bom jenis ini seharusnya ditujukan untuk menghancurkan bunker bawah tanah, namun efeknya di area sipil luar biasa dahsyat. Radius kehancuran mencapai 100 meter, dengan korban mengalami luka tembus dan tubuh tak berbentuk.
Lebih dari sekadar bom, pemerintah Gaza menyebut Israel telah menggunakan senjata terlarang internasional, termasuk bom tandan, senjata kimia, hingga amunisi termobarik yang menghisap oksigen di sekitarnya.
"Bukan cuma soal kehancuran infrastruktur, ini adalah cara sistematis menjadikan Gaza tak layak huni," tegas Ismail al-Thawabteh, Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza.
Industri senjata Israel makin digdaya
Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mengungkapkan lonjakan tajam ekspor senjata Israel dalam lima tahun terakhir. Antara 2019 hingga 2023, Israel menjadi eksportir senjata terbesar ke-9 dunia, dengan pasar utama di Asia dan Eropa.
Iron Dome, David’s Sling, dan sistem rudal Arrow menjadi ikon pertahanan modern buatan Israel yang diminati pasar global. Meski secara ukuran negara tergolong kecil, Israel telah menjelma sebagai kekuatan besar dalam industri persenjataan berteknologi tinggi.
Angkanya pun berbicara nilai ekspor senjata Israel melonjak dari sekitar US$7,2 miliar pada 2021 menjadi lebih dari US$12,5 miliar pada 2023.
Banyak pembeli internasional secara eksplisit tertarik dengan label “field tested” alias sudah terbukti di lapangan—yang dalam konteks ini berarti di Gaza.
Tren ekspor senjata Israel per kuartal berikut ini menggambarkan lonjakan tajam yang terjadi sejak awal 2023, terutama setelah konflik di Gaza kembali memanas.
Amerika Serikat dan Jerman jadi penyokong utama
Meski senjata Israel mendunia, nyatanya sebagian besar komponennya berasal dari mitra luar negeri. Antara 2019–2023, 69% impor senjata Israel berasal dari Amerika Serikat, dan 30% dari Jerman. Dua negara itu juga tercatat sebagai pendonor militer terbesar ke Tel Aviv.
Sejak serangan 7 Oktober 2023, AS mempercepat pengiriman ribuan senjata ke Israel, termasuk:
• 1.000 bom berpemandu presisi GBU-39
• Kit panduan JDAM (Joint Direct Attack Munition
• Rudal pencegat Iron Dome
• Artileri berat dan kendaraan lapis baja
Bahkan Jerman, yang sempat menahan ekspor senjata ke berbagai negara konflik, justru meningkatkan nilai ekspornya ke Israel hampir 10 kali lipat, dari €32 juta pada 2022 menjadi €326 juta pada 2023. Produk unggulannya termasuk frigat kelas Sa’ar 6 dan mesin kendaraan tempur.
Namun, tidak semua negara sepakat. Inggris menangguhkan 30 dari 350 lisensi ekspor senjatanya ke Israel, dan Belanda resmi melarang ekspor komponen pesawat F-35 yang digunakan dalam konflik. Tekanan terhadap negara-negara pemasok terus meningkat, seiring meningkatnya korban sipil di Gaza.
Dunia hukum internasional mulai bergerak
Derasnya kritik terhadap praktik militer Israel tidak lagi sebatas pernyataan politik. Sejumlah negara dan lembaga internasional mulai membawa kasus ini ke jalur hukum.
Afrika Selatan menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) atas dugaan genosida. Nicaragua menggugat Jerman karena terus mengekspor senjata ke pihak yang dituduh melakukan kejahatan perang.
Bahkan Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanannya.
Warga sipil Gaza juga menggugat pemerintah Jerman di pengadilan Berlin, menuntut pencabutan lisensi ekspor senjata.
Amnesty International menyebut praktik ini sebagai “apartheid yang terotomatisasi”, sementara Human Rights Watch mencatat puluhan ribu warga sipil Palestina tewas akibat serangan militer Israel, banyak di antaranya terjadi di area padat penduduk dengan penggunaan senjata yang dinilai tidak proporsional.
Di tengah kelaparan Gaza, pasar senjata Israel justru tumbuh
Ironisnya, ketika industri pertahanan Israel mencetak rekor, kondisi kemanusiaan di Gaza justru berada di titik terburuk.
Sekitar 1,94 juta penduduk Gaza menghadapi krisis pangan akut, dengan 470 ribu jiwa masuk kategori darurat kelaparan (fase IPC 5). Ribuan bayi terancam meninggal karena kekurangan gizi, air bersih, dan akses kesehatan. Rumah sakit kewalahan, infrastruktur hancur, dan bantuan kemanusiaan tersendat karena blokade.
Namun di sisi lain, Gaza juga menjadi portofolio "efektivitas" senjata yang kemudian dijual ke luar negeri. Konflik yang terus berlanjut memberi Israel keunggulan unik kemampuan menunjukkan efektivitas sistem persenjataan mereka di medan tempur nyata suatu hal yang tidak bisa diklaim oleh banyak negara produsen senjata lainnya.
Narasi ‘hak membela diri’ jadi tameng legitimasi kekuatan militer
Sampai hari ini, narasi bahwa Israel berhak membela diri masih menjadi alasan utama yang digunakan negara-negara pendukung untuk melanjutkan bantuan senjata.
Namun kritik dari lembaga HAM terus menguat, mempertanyakan: sampai kapan ‘hak membela diri’ bisa digunakan untuk membenarkan uji coba senjata di wilayah berpenduduk sipil?
Gaza menjadi cermin dunia tentang bagaimana teknologi militer dipasarkan, bukan dari brosur, tapi dari puing-puing dan korban nyawa. Di medan ini, setiap ledakan bukan hanya kehancuran, tapi juga promosi.
0Komentar