Amerika Serikat tak lagi bermain kode soal kemungkinan konflik bersenjata dengan China di Selat Taiwan. Pentagon kini menekan dua sekutu utamanya di Asia-Pasifik Jepang dan Australia untuk secara terang-terangan menyatakan sikap dan komitmen mereka jika perang dengan Beijing benar-benar pecah.
Desakan ini datang langsung dari Elbridge Colby, pejabat tinggi kebijakan pertahanan AS, dalam pertemuan bilateral dengan perwakilan pertahanan Jepang dan Australia, menurut laporan Financial Times dan sejumlah media internasional termasuk The Japan Times serta EconoTimes.
Washington ingin kedua negara menyusun skenario operasional dan mempertegas peran militer masing-masing dalam skema konfrontasi terbuka antara AS dan China. Ini bukan sekadar koordinasi, melainkan bentuk komitmen nyata dalam pakta keamanan Indo-Pasifik yang kini semakin diuji realitas geopolitik kawasan.
Colby, yang saat ini menjabat sebagai Under Secretary of Defense for Policy, tidak hanya mendorong transparansi rencana perang, tapi juga mendesak peningkatan belanja pertahanan dari kedua negara. Ia bahkan meminta Taiwan menaikkan anggaran militernya menjadi 10% dari PDB angka yang jauh di atas standar pertahanan di banyak negara maju.
Tekanan ini datang di tengah meningkatnya ketegangan militer di Selat Taiwan, di mana Beijing terus mengerahkan jet tempur dan kapal perang secara rutin untuk menekan pulau tersebut. Situasi ini membuat AS mempercepat diplomasi keamanan dengan sekutu strategisnya, agar tidak ada ambiguitas bila konflik pecah sewaktu-waktu.
Laporan The Japan Times menyebutkan bahwa Jepang masih berhati-hati dalam menanggapi tekanan ini. Tokyo, meski telah meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan sejak 2023 dengan target mencapai 2% dari PDB pada 2027 belum secara eksplisit menyatakan akan turut serta dalam perang atas Taiwan.
Pemerintah Jepang tampaknya mempertimbangkan reaksi publik domestik dan sensitivitas konstitusi damai mereka.
Sementara Australia menghadapi dilema serupa. Pemerintah di Canberra dilaporkan masih mencari keseimbangan antara aliansi strategis dengan AS dan hubungan dagang yang erat dengan China.
Namun, tekanan dari Pentagon tampaknya akan membuat Negeri Kanguru semakin terbuka terhadap kemungkinan kontribusi militer jika konflik benar-benar terjadi.
Pentagon sendiri tengah menyusun ulang strategi keamanan kawasan, terutama setelah China secara agresif memperluas pengaruh militernya di Laut China Selatan dan sekitarnya.
Laporan tahunan Departemen Pertahanan AS pada akhir 2024 menilai bahwa kekuatan militer China telah mencapai tingkat kesiapan tertinggi dalam dua dekade terakhir, dengan potensi operasi militer terhadap Taiwan yang bisa terjadi dalam waktu dekat.
Laporan BusinessWorld Online dan Newsweek juga mengungkapkan bahwa langkah AS ini memicu ketegangan diplomatik di balik layar. Beberapa negara sekutu menilai pendekatan Washington terlalu mendesak dan bisa memperburuk hubungan dengan Beijing.
Meski begitu, Pentagon tetap menekankan bahwa kejelasan sikap sekutu menjadi krusial. “Kita tidak bisa menunggu hingga peluru pertama ditembakkan. Sekutu harus tahu siapa berdiri di mana,” ujar Colby seperti dikutip dari laporan Pravda USA.
Langkah Pentagon ini juga dinilai sebagai sinyal kepada China bahwa AS tidak sendirian jika ketegangan meningkat menjadi konfrontasi nyata. Semakin jelas posisi Jepang dan Australia, semakin kuat pula efek gentar terhadap Beijing.
Namun di balik manuver strategis ini, pertanyaannya kini mengarah pada kesiapan publik dan parlemen di Jepang serta Australia untuk menerima kemungkinan terlibat dalam perang besar di Asia Timur sesuatu yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II.
0Komentar