Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, mengungkap bahwa Jerman secara teknis mampu memproduksi senjata nuklir dalam waktu yang relatif singkat bahkan bisa dalam hitungan bulan. Meski ditegaskan sebagai asumsi hipotetis, pernyataan ini memantik perhatian baru soal dinamika proliferasi nuklir, terutama di tengah situasi geopolitik yang makin tegang.
Dalam wawancara dengan media Polandia Rzeczpospolita, yang kemudian dikutip oleh Russia Today, Grossi menyebut bahwa Jerman memiliki bahan nuklir, keahlian teknis, dan infrastruktur ilmiah yang cukup untuk mengembangkan senjata nuklir jika memang memilih ke arah itu. "Jerman dapat membangun bom nuklir dalam beberapa bulan. Ini hanyalah asumsi hipotetis belaka," kata Grossi.
Komentar ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran soal perlombaan senjata nuklir yang tidak lagi hanya didominasi oleh negara-negara "paria" seperti Korea Utara atau Iran, melainkan mulai merambah ke sekutu-sekutu Barat sendiri.
Konsep yang disebut nuclear latency yakni kemampuan suatu negara untuk memproduksi senjata nuklir dalam waktu singkat tanpa secara eksplisit memilikinya jadi sorotan utama.
Jerman selama ini dikenal sebagai negara non-nuklir di bawah payung perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Namun di tengah ketidakpastian jaminan keamanan dari Amerika Serikat, terutama setelah beberapa kali ketegangan internal NATO, muncul kembali perdebatan lama soal kemandirian pertahanan nuklir di Eropa.
Beberapa pihak di dalam aliansi Barat bahkan menyarankan agar negara seperti Jerman diberi akses ke senjata nuklir Prancis atau Inggris, atau setidaknya dimasukkan ke dalam sistem pencegah nuklir bersama di Eropa.
Situasi ini makin rumit setelah serangan udara yang dilakukan AS dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran, yang diklaim sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi pengembangan senjata nuklir Teheran.
Namun intelijen AS sendiri dan IAEA membantah bahwa Iran sedang aktif mengembangkan senjata nuklir. Respons Iran atas serangan itu sangat keras: mereka menangguhkan kerja sama dengan IAEA dan mengusir para inspektur, sambil menuding lembaga tersebut tidak netral karena tidak mengutuk serangan tersebut.
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, secara terbuka menyatakan kekecewaannya terhadap sikap IAEA, menyebut badan itu bersikap berat sebelah dan gagal menjaga netralitas. Dalam catatan terakhir IAEA, Iran disebut memiliki sekitar 408 kg uranium yang telah diperkaya hingga 60% angka yang cukup dekat dengan level militer.
Grossi memperingatkan bahwa jika Iran terus meningkatkan level pengayaan, mereka bisa memiliki bahan baku senjata dalam beberapa bulan saja.
Pada 12 Juni 2025, Dewan Gubernur IAEA resmi menyatakan Iran tidak patuh terhadap kesepakatan pengawasan internasional, memicu resolusi darurat dan kecaman keras dari tiga negara Eropa Jerman, Prancis, dan Inggris.
Kondisi ini menciptakan ketegangan berlapis. Di satu sisi, negara-negara yang selama ini mendukung sistem non-proliferasi mulai merasa sistem tersebut tak lagi cukup menjamin keamanan mereka. Di sisi lain, negara seperti Iran merasa dirugikan oleh standar ganda dan tekanan politik.
Sementara itu, Rusia menuding Barat sengaja membesar-besarkan ancaman keamanan demi menaikkan anggaran pertahanan dan melanggengkan ketegangan global.
Moskow berkali-kali menyatakan tidak berniat mengancam NATO, tapi justru melihat aliansi Barat sebagai aktor yang terus memperluas konflik melalui retorika dan kebijakan militeristik.
Lantas apakah transparansi nuklir yang selama ini digagas melalui NPT dan pengawasan IAEA justru menjadi beban bagi negara-negara yang patuh? Beberapa analis kebijakan mulai mempertanyakan efektivitas sistem saat ini.
Bila jaminan keamanan tidak lagi kredibel, dan pengawasan internasional malah membuat negara terbuka rentan terhadap serangan, maka insentif untuk bersikap tertutup dan bahkan mengambil langkah preemptif bisa meningkat.

0Komentar