Partai NasDem melontarkan usulan yang langsung bikin publik menoleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diminta langsung berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) begitu resmi dilantik Oktober 2024. Bukan sekadar wacana, NasDem menilai langkah itu penting untuk mencegah IKN berubah jadi “kota mati” setelah proyeknya menelan ratusan triliun rupiah dari APBN.
Wakil Ketua Umum NasDem Saan Mustopa menjelaskan, kehadiran Wapres di IKN akan menunjukkan bahwa pusat pemerintahan baru benar-benar hidup dan tidak sekadar proyek fisik.
Apalagi sejumlah gedung utama sudah hampir rampung. Kalau tidak segera diisi, biaya perawatan gedung bisa membengkak dan investasi negara jadi mubazir.
Ia juga mendorong Presiden Prabowo segera menerbitkan Keputusan Presiden atau Keppres yang meresmikan perpindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN, termasuk penempatan kementerian prioritas seperti PUPR, Bappenas, dan kementerian koordinator.
Hingga pertengahan 2025, progres pembangunan memang terbilang masif. Istana Wakil Presiden sudah mencapai 42,67 persen per Juni, sementara jaringan tol yang menghubungkan wilayah inti IKN sudah tembus 70 persen.
Tapi geliat aktivitas pemerintahan masih jauh dari kata berjalan. Di sinilah NasDem melihat pentingnya figur publik seperti Gibran hadir secara fisik untuk menunjukkan bahwa IKN benar-benar siap jadi pusat komando pemerintahan.
Dukungan atas usulan ini datang dari berbagai arah, termasuk dari partai yang dulu menolak IKN. PKS misalnya, sempat jadi satu-satunya fraksi yang menolak UU IKN di DPR. Tapi kini sikapnya melunak.
Mardani Ali Sera dari PKS bilang penempatan Gibran sepenuhnya hak prerogatif Presiden Prabowo. Tapi ia mengingatkan, proyek IKN harus dijaga agar tak jadi beban fiskal berkepanjangan.
Menurutnya, salah satu cara paling realistis adalah mendorong skema pembiayaan swasta. Area-area komersial di IKN bisa dikelola untuk membiayai sebagian operasional, tanpa terlalu membebani APBN.
Koalisi pendukung pemerintahan juga bersuara. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyebut IKN sebagai simbol pemerataan pembangunan yang harus dijaga.
Ia mendukung penuh kebijakan Prabowo terkait IKN, termasuk jika Gibran harus berkantor di sana. Dukungan juga datang dari PDIP, yang notabene bukan bagian dari koalisi. Politikus PDIP Guntur Romli bahkan menyebut kehadiran Gibran bisa jadi akselerator pembangunan luar Jawa.
Tapi ia menyarankan agar Presiden tetap berkantor di Jakarta demi menjaga kestabilan pusat kendali pemerintahan.
Yang menarik, NasDem tak sekadar melempar usulan. Mereka juga menyiapkan skenario alternatif kalau status IKN sebagai ibu kota nasional masih belum bisa dijalankan penuh.
Salah satu idenya, IKN bisa difungsikan dulu sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Timur. Dengan begitu, aktivitas administrasi tetap berjalan sambil menunggu kepastian hukum dan fiskal untuk perpindahan pusat negara.
Skenario ini disebut lebih realistis ketimbang membiarkan gedung-gedung yang sudah jadi terbengkalai tanpa penghuni.
Dari sisi pendanaan, IKN memang bukan proyek kecil. Total kebutuhan investasi untuk seluruh proyek dipatok Rp466 triliun, dengan target hanya 20 persen dari APBN dan sisanya dari swasta.
Tapi sampai akhir 2024, dana APBN yang sudah terserap mencapai Rp89 triliun, sementara kontribusi swasta baru Rp58,41 triliun. Artinya, dominasi anggaran negara masih terlalu besar dibanding rencana awal.
Untuk fase kedua pembangunan 2025–2028, pemerintahan Prabowo telah menyetujui anggaran tambahan sebesar Rp48,8 triliun untuk menyelesaikan area legislatif, yudikatif, dan hunian ASN.
Masalahnya, tanpa kepastian aktivitas pemerintahan, minat investor akan terus tertahan. Banyak proyek swasta seperti rumah sakit, hotel, hingga kawasan komersial belum berani jalan karena menunggu sinyal dari pusat.
Dalam konteks ini, kehadiran Gibran bisa menjadi game changer. Ia bukan hanya wajah baru dalam pemerintahan, tapi juga magnet bagi investor yang mencari kepastian jangka panjang.
Kini, semua mata tertuju pada Prabowo. Akankah ia benar-benar mengutus Gibran untuk berkantor di Kalimantan Timur? Atau tetap memilih Jakarta sebagai titik koordinasi utama pemerintahan?
Yang jelas, waktu terus berjalan. IKN tidak bisa terus menunggu. Di atas kertas, semua partai mendukung. Tapi tanpa keputusan konkret, IKN akan tetap jadi megaproyek yang besar di anggaran, tapi belum hidup di kenyataan.

0Komentar