Rokok ilegal semakin marak di Jakarta, dijual bebas tanpa cukai dengan harga murah. Negara rugi triliunan, aparat kesulitan menindak.

Mencari rokok ilegal di Jakarta kini semudah membeli gorengan di pinggir jalan. Tak perlu menyusup ke pasar gelap, rokok tanpa pita cukai itu dijajakan secara terbuka di warung, lapak kaki lima, hingga emperan toko. 

Fenomena ini makin menjadi-jadi sepanjang 2025, seiring kenaikan harga rokok legal dan lemahnya penindakan di lapangan.

Data terbaru Direktorat Jenderal Bea Cukai menunjukkan bahwa hingga Juni 2025, sudah terjadi 13.248 penindakan terhadap barang ilegal. 

Yang mencengangkan, 61 persen dari kasus tersebut adalah rokok ilegal, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 3,9 triliun. Di balik angka fantastis itu, realitas di lapangan justru menyuguhkan pemandangan ironis: aparat seakan tutup mata.

Di kawasan Jakarta Utara seperti Cilincing, Sunter Jaya, dan Warakas, rokok tanpa cukai dijual bebas seperti kacang goreng. Nama-nama merek asing yang tak tercatat dalam daftar resmi pemerintah mudah ditemukan di kios kecil hingga tangan-tangan keliling. 

Harga jualnya menggoda: hanya Rp 10.000–15.000 per bungkus, bahkan ada yang di bawah Rp 8.000. Jauh lebih murah dibandingkan rokok legal yang kini bisa tembus Rp 40.000. Murah, rasanya tak jauh beda, dan tanpa pajak itulah daya tarik utamanya.

Tak sedikit pembeli berasal dari kalangan pekerja lapangan dan pengemudi ojek daring. Sementara pedagang rokok ilegal, sebagian besar adalah warga biasa yang berjualan untuk menambah pemasukan. 

Kondisi ini membuat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta ragu untuk bertindak. "Kami khawatir dicap menindas rakyat kecil kalau langsung main angkut. Penjualnya bukan mafia, tapi pedagang kecil," ujar seorang pejabat Satpol PP yang enggan disebut namanya.

Namun, fenomena ini tidak bisa terus dibiarkan. Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani, menyebut bahwa peredaran rokok ilegal sudah pada titik yang memprihatinkan. 

"Produksi massal rokok ilegal makin mudah karena teknologi mesin pelinting kini bisa dimiliki siapa saja. Akhirnya, pengawasan makin sulit, distribusi makin cepat," jelasnya dalam konferensi pers, Mei lalu.

Operasi besar-besaran bertajuk "Operasi Gurita" pun diluncurkan Bea Cukai sejak akhir April hingga Juni 2025. Hasilnya, lebih dari 182 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan. 

Meski begitu, penindakan hukum belum sebanding dengan masifnya peredaran di lapangan. Dari ratusan penindakan, hanya 22 kasus yang sampai ke tahap penyidikan.

Tak hanya soal kehilangan penerimaan negara, rokok ilegal juga menyimpan potensi bahaya kesehatan yang luput dari perhatian publik. Tanpa pengawasan produksi dan bahan baku, kualitasnya dipertanyakan. 

"Rokok ilegal tidak memiliki standar. Bisa jadi kadar nikotinnya lebih tinggi, atau menggunakan bahan kimia berbahaya," kata pakar kesehatan publik dari UI, dr. Iqbal Mahardika.

Fenomena ini juga menunjukkan paradoks dalam kebijakan cukai. Kenaikan tarif yang bertujuan menekan konsumsi, justru membuka celah pasar gelap. 

"Setiap kali cukai naik tinggi, penjualan rokok ilegal ikut terdongkrak. Ini pola yang sudah berulang," ujar ekonom dari INDEF, Nailul Huda.

Di balik semua ini, isu pembiaran oleh oknum aparat dan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam distribusi barang ilegal juga menjadi sorotan. 

Di beberapa kawasan, warga menduga ada 'backup' tertentu yang membuat penjual bisa beroperasi dengan bebas tanpa takut razia. Bahkan ada laporan bahwa iklan terselubung rokok ilegal turut dipasang di media sosial oleh akun-akun lokal yang berafiliasi dengan penjual.

Sementara itu, edukasi ke masyarakat soal bahaya dan ciri-ciri rokok ilegal masih minim. Banyak konsumen bahkan tidak sadar bahwa rokok yang mereka beli adalah barang ilegal. 

Padahal cirinya cukup jelas: tanpa pita cukai, harga jauh lebih murah, merek asing yang tidak familiar, dan kemasan tak sesuai standar.

Negara kehilangan triliunan rupiah, pengawasan lemah, aparat serba salah, dan masyarakat tidak sadar sedang menjadi bagian dari masalah. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal bukan lagi sekadar isu cukai, tapi sudah menjadi soal ekonomi, hukum, dan moral yang kompleks. Jika tidak ditangani tuntas, Jakarta bisa menjadi model pasar bebas rokok ilegal yang sulit dibendung.