Presiden AS Donald Trump menyebut aliansi BRICS tidak akan bertahan lama dan menegaskan bahwa dunia masih sangat bergantung pada dolar Amerika Serikat. (Joe Readle/Getty Images)

Presiden AS Donald Trump kembali menggebrak panggung geopolitik global. Dalam pernyataan terbarunya, ia menyebut aliansi ekonomi BRICS tak akan bertahan lama. Ia menyebut BRICS hanya 'gertakan negara kelas dua' yang tidak punya pijakan ekonomi kuat. 

Komentar itu langsung memicu respons tajam dari beberapa anggota blok, terutama China dan Rusia.

“BRICS itu omong kosong. Mereka semua masih butuh dolar, tapi sok-sokan ingin menyingkirkan dolar,” kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business, Kamis (17/7). 

Ia menegaskan bahwa aliansi itu tidak punya fondasi ekonomi yang cukup kuat untuk melawan dominasi AS.

Menurut Trump, upaya de-dolarisasi yang digaungkan BRICS hanyalah “ilusi kekuasaan ekonomi” dari negara-negara yang sebenarnya bergantung pada sistem keuangan Barat.

“Tanpa dolar, mereka akan runtuh. Dunia tidak butuh mata uang baru dari negara-negara bermasalah,” katanya blak-blakan.

Sejak pertemuan puncak terakhir di Rio de Janeiro, Brasil, pada 6–7 Juli 2025, BRICS secara resmi meneguhkan diri sebagai aliansi 11 negara. Ekspansi ini mencakup kehadiran penuh Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Indonesia, dan Arab Saudi menandai fase baru dari transformasi BRICS menjadi BRICS+.

Namun kenyataannya tak semulus itu.

Menurut laporan IMF terbaru, ketimpangan struktural di antara anggota BRICS semakin mencolok. Sementara China dan India menyumbang lebih dari 70% total PDB blok tersebut, negara-negara baru seperti Ethiopia dan Iran masih dibelit konflik internal dan sanksi ekonomi.

Ekonom senior dari Peterson Institute, Marcello Guzman, menyebut ekspansi BRICS lebih mirip “pernikahan politik ketimbang kemitraan ekonomi”.

“Ada ketidakseimbangan kronis di dalam BRICS. Uang ada di Asia, tapi pengaruh politik tersebar. Sulit bergerak sebagai satu suara,” ujarnya kepada CNBC International.


Yuan Digital Belum Jadi Ancaman Serius

Salah satu ambisi utama BRICS adalah mengurangi ketergantungan pada dolar AS lewat penguatan mata uang lokal dan penciptaan sistem pembayaran alternatif. China, sebagai motor utama, gencar mempromosikan penggunaan yuan digital lintas negara.

Namun data transaksi internasional menunjukkan dominasi dolar masih sulit ditandingi. SWIFT mencatat, per Juni 2025, lebih dari 83% pembayaran lintas negara masih menggunakan dolar AS, sementara yuan stagnan di angka 4,7%.

Di sinilah Trump merasa yakin bahwa dominasi keuangan AS tetap aman.

“Kalau mau bikin sistem baru, silakan. Tapi investor tetap percayakan uang mereka pada dolar. Dunia butuh stabilitas, bukan eksperimen,” katanya.

Bahkan beberapa negara BRICS seperti Brasil dan Afrika Selatan masih menyimpan cadangan devisa mereka dalam bentuk dolar dan euro, bukan mata uang baru BRICS.

Pernyataan Trump langsung ditanggapi dengan pedas dari Beijing dan Moskow.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menegaskan bahwa AS “terlalu sombong untuk membaca arah sejarah”.

“Zaman dominasi tunggal telah berakhir. Dunia sedang bergerak menuju keseimbangan. BRICS adalah manifestasi dari perubahan itu,” ujar Lin dalam jumpa pers Jumat (18/7).

Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut komentar Trump sebagai “retorika kampanye yang gagal dibedakan dari kebijakan luar negeri”.

“Mereka pikir dunia bisa dikendalikan dengan tweet atau acara talk show. Tapi tatanan baru sedang dibangun tanpa izin Washington,” kata Putin dalam pertemuan dengan Presiden Lula da Silva di Kazan.

Meski begitu, Putin mengakui bahwa proses membangun sistem alternatif “memakan waktu bertahun-tahun dan penuh tantangan”.


Ancaman Sanksi dan Perang Teknologi

Kembalinya Trump ke Gedung Putih pada Januari 2025 telah memperkeras posisi AS terhadap BRICS, khususnya terhadap China dan Iran. 

Dalam beberapa bulan terakhir, Washington menjatuhkan serangkaian sanksi teknologi terhadap perusahaan semikonduktor China dan memblokir sistem pembayaran yang dianggap mendukung penghindaran dolar.

Departemen Keuangan AS juga mengancam akan menjatuhkan sanksi sekunder kepada bank-bank di Afrika Selatan dan UEA jika kedapatan memfasilitasi transaksi dengan Iran dalam mata uang non-dolar.

“Kita tidak akan tinggal diam melihat dolar disingkirkan oleh mata uang dari rezim otoriter,” kata Menteri Keuangan AS Tom Cotton, mantan senator yang kini menjabat dalam kabinet Trump.

Kebijakan ini telah memicu kegelisahan di antara investor global. Bursa Shanghai sempat anjlok 3,1% setelah kabar sanksi baru diumumkan awal Juli lalu.

Para Investor Masih Pilih Dolar

Meskipun BRICS makin vokal dalam menantang dominasi dolar, kenyataan di pasar menunjukkan lain. Indeks dolar AS (DXY) justru menguat hampir 5% sejak awal tahun, mencapai level tertinggi dalam 16 bulan terakhir.

Fakta ini diperkuat dengan laporan Bank Dunia yang menyebut lebih dari 62% cadangan devisa global masih berbentuk dolar. Bahkan beberapa negara BRICS pun belum sepenuhnya percaya diri meninggalkan dolar.

Profesor ekonomi internasional dari Harvard, Jeffrey Tanaka, menyebut dominasi dolar bukan soal kekuatan militer atau politik, tapi soal kepercayaan pasar. “Selama AS punya ekonomi yang relatif stabil dan sistem hukum yang kredibel, dolar akan tetap jadi jangkar keuangan dunia,” ujarnya.

Menurutnya, BRICS masih menghadapi tantangan kredibilitas, terutama dalam hal kebijakan moneter dan sistem hukum yang konsisten.

"Jangan Anggap Serius Blok BRICS"

Trump juga menyentil para pengamat yang menurutnya “terlalu kagum” pada BRICS. Ia menyebut bahwa para elite Washington selama ini “panik berlebihan” terhadap ekspansi ekonomi China dan Rusia.

“Lihat apa yang mereka bangun: blok tanpa aturan, tanpa transparansi, dan tanpa tujuan yang jelas. Ini bukan NATO. Ini cuma klub,” tegasnya.

Ia bahkan menyebut akan mempertimbangkan keluar dari berbagai forum multilateral jika dirasa “merugikan kepentingan Amerika”.

Pernyataan ini memicu kekhawatiran bahwa masa jabatan kedua Trump bisa mempercepat keretakan tatanan global pasca-Perang Dunia II.


BRICS: Masih Cuma Retorika?

Meski BRICS kerap dipromosikan sebagai alternatif tatanan dunia, banyak analis menilai blok ini masih lebih banyak retorika ketimbang implementasi konkret. 

Proyek-proyek seperti sistem pembayaran BRICS Pay, penyatuan mata uang, dan bank pembangunan alternatif masih belum menunjukkan hasil nyata.

“Ada semangat besar, tapi minim realisasi. BRICS harus menunjukkan langkah nyata, bukan hanya deklarasi puncak,” kata Rina Hartati, pengamat geopolitik dari CSIS Indonesia.

Pernyataan terbaru Presiden Trump menjadi pengingat bahwa BRICS masih menghadapi jalan panjang untuk bisa benar-benar mengguncang dominasi ekonomi Barat. 

Meski jumlah negara anggota bertambah dan retorika kian keras, nyatanya dolar masih memegang kendali atas sistem keuangan global.