Pemerintah berencana membeli jet tempur KAAN senilai Rp 162 triliun. Namun, sejumlah aspek penting seperti anggaran, transfer teknologi, dan kesiapan operasional tampak belum jelas. (Ilustrasi: Apluswire/Irfan Afandi)

Pemerintah Indonesia kembali membuat gebrakan dengan rencana pembelian 48 unit jet tempur generasi kelima KAAN dari Turki, senilai Rp 162 triliun. Kesepakatan ini, yang diteken dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) pada pameran Indo Defence di Jakarta, 11 Juni 2025, jadi sorotan karena menambah daftar belanja alutsista di tengah anggaran pertahanan yang terbatas. 

Namun, di balik ambisi memperkuat kedaulatan udara, ada sejumlah aspek krusial yang tampaknya luput dari perhatian pemerintah. 

Apa saja yang terlewat, kapan dampaknya akan terasa, seberapa besar risikonya, dan siapa yang bakal terkena imbasnya?

Rencana pembelian jet KAAN, yang diumumkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bersama otoritas industri pertahanan Turki, memang menggoda. 

Jet generasi kelima ini menawarkan teknologi siluman dan kemampuan tempur canggih, menempatkan Indonesia sejajar dengan kekuatan udara global. 

Tapi, Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto buru-buru menegaskan bahwa MoU ini bukan jaminan pembelian. 

“Insya Allah ada pembelian alutsista baru, tunggu saja dulu,” katanya di Kantor Kemenhan, 30 Juni 2025. 

Pernyataan ini memunculkan tanda tanya besar: sudahkah pemerintah benar-benar menghitung langkahnya?

Pertama, soal anggaran. Dengan anggaran pertahanan 2025 hanya Rp 139,2 triliun, rencana belanja Rp 162 triliun untuk KAAN jelas jadi beban berat. 

Apalagi, Indonesia sudah berkomitmen membeli 42 jet Rafale dari Prancis seharga USD 8,1 miliar (Rp 125 triliun) dan menjajaki 24 jet F-15EX dari AS dengan perkiraan USD 10-15 miliar. 

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKB, Oleh Soleh, menyinggung soal ini dengan nada kritis. “Pemerintah wajib memperkuat pertahanan, tapi harus cermat. 

Anggaran kita di bawah 1% PDB, jauh dari Singapura yang 2,77%,” ujarnya. Data Defense Security Monitor menunjukkan, dari target pinjaman luar negeri Rp 124 triliun untuk 2025-2044, sebagian besar belum terserap optimal, seperti pada program Minimum Essential Force (MEF) yang gagal capai target 180 jet tempur pada 2024. 

Jika tak hati-hati, risiko defisit fiskal bisa melonjak, mengorbankan sektor lain seperti pendidikan atau kesehatan.

Kedua, ketidakpastian kontrak jadi sorotan. MoU dengan Turki bukan kontrak final. Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemenhan, bilang jumlah 48 unit masih bisa berubah. 

“Ini baru MoU, kontrak definitif nanti yang menentukan,” katanya. Sejarah akuisisi TNI AU penuh drama, dengan target MEF yang kerap meleset. 

Ketidakpastian ini bikin publik bertanya: apakah pemerintah punya rencana cadangan jika kesepakatan ini kandas?

Lalu, ada soal transfer teknologi yang masih buram. Pemerintah menjanjikan kerja sama produksi komponen KAAN dengan PT Dirgantara Indonesia (PTDI), tapi detailnya nihil. 

Peneliti pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menekankan pentingnya kemandirian. 

“Lihat Rafale atau IFX dengan Korea Selatan, ada transfer teknologi. KAAN harus begitu, jangan cuma beli barang jadi,” katanya. 

Tanpa transfer teknologi, Indonesia bakal terus ketergantungan impor, seperti kasus F-16 yang fiturnya kalah canggih dibandingkan versi AS, menurut peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi. 

Padahal, kolaborasi dengan PTDI bisa mendongkrak ekonomi lokal, apalagi jika lisensi produksi diteken.

Soal waktu pengiriman juga jadi celah. Jet KAAN baru akan dikirim ke Turki pada 2028, dan ke Indonesia kemungkinan setelah itu, hingga 2034. 

Sementara itu, armada F-16 TNI AU sudah uzur, dengan usia operasional mendekati batas. 

“Kesenjangan waktu ini bisa melemahkan kesiapsiagaan kita, terutama di Laut Cina Selatan,” kata Khairul Fahmi. 

Pemerintah tampaknya lupa merancang solusi sementara, seperti modernisasi armada lama atau pengadaan jet generasi 4.5 yang lebih cepat dikirim.

Biaya operasional jet generasi kelima juga tak kalah pelik. Sebagai gambaran, F-35 AS punya biaya operasional USD 36.000 per jam terbang. 

KAAN, yang masih pakai mesin General Electric F110 hingga 2032, kemungkinan tak jauh berbeda. Dengan anggaran pertahanan yang ketat, pemerintah belum bicara soal bagaimana menutup biaya perawatan ini. 

“Ini soal keberlanjutan. Kalau cuma beli tapi tak mampu operasionalkan, buat apa?” ujar Beni Sukadis.

Diversifikasi pemasok juga jadi pedang bermata dua. Selain KAAN, Indonesia menjajaki J-10 dari China dan F-15EX dari AS, di samping Rafale. Strategi ini memang kurangi ketergantungan, tapi bikin logistik dan pelatihan jadi rumit. 

“Beragam jet berarti suku cadang dan pelatihan berbeda-beda. Ini bisa bikin efisiensi anjlok,” kata Khairul. 

Belum lagi soal geopolitik. Minat pada J-10 bisa memanaskan hubungan dengan AS, apalagi dengan klaim China di Natuna. 

Sementara, penguatan militer Indonesia bisa bikin negara anggota FPDA—Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru, Inggris—waspada, meski Donny Ermawan menegaskan, “Indonesia negara damai, bukan untuk konfrontasi.”

Terakhir, pemerintah sepertinya lupa soal transparansi. Dengan biaya sebesar ini, komunikasi publik soal manfaat KAAN masih minim. 

Amelia Anggraini dari Komisi I DPR bilang, “Modernisasi harus dorong ekonomi lokal, tapi jangan sampai ke arah peperangan. Diplomasi tetap nomor satu.” 

Tanpa komunikasi yang jelas, dukungan publik dan DPR bisa goyah, apalagi mengingat kritik sebelumnya terhadap pembelian Mirage bekas dari Qatar.

Siapa yang terdampak? Tentu saja rakyat Indonesia, yang berharap anggaran negara digunakan secara bijak. 

TNI AU, yang butuh armada modern, juga bisa kecewa jika rencana ini tak matang. Industri pertahanan lokal seperti PTDI berisiko kehilangan peluang emas jika transfer teknologi tak maksimal. 

Dan di level kawasan, hubungan dengan negara tetangga bisa tegang jika modernisasi ini salah dimaknai.

Pemerintah perlu bergerak cepat. Prioritaskan kebutuhan strategis, pastikan transfer teknologi, dan siapkan solusi untuk kesenjangan operasional. 

Yang terpenting, komunikasi transparan dan diplomasi aktif harus jadi penutup agar pembelian ini tak cuma jadi wacana megah, tapi benar-benar kuatkan pertahanan tanpa picu ketegangan. 

Seperti kata Sjafrie Sjamsoeddin, “Kedaulatan itu harganya berapa?” Pertanyaan itu kini perlu jawaban yang lebih konkret.