Tahun 2025 jadi masa sulit bagi industri batu bara Indonesia. Ekspor batu bara termal, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi ekspor negara, merosot tajam sebesar 12% menjadi 187 juta ton dalam lima bulan pertama tahun ini, menurut data Kpler.
China dan India, dua raksasa importir batu bara termal yang secara historis menjadi pasar utama Indonesia, kini mengurangi pembelian mereka masing-masing sebesar 12,3% dan 14,3% pada periode yang sama.
Penurunan ini bukan sekadar perlambatan pasar global, melainkan pergeseran struktural dalam perdagangan energi dunia.
Indonesia, yang selama ini mendominasi sebagai eksportir batu bara termal terbesar, kini terpaksa mencari cara untuk bertahan di tengah preferensi global yang beralih ke batu bara bernilai kalor tinggi (HCV) dan diversifikasi sumber pasokan oleh kedua negara tersebut.
Industri batu bara Indonesia berada di persimpangan jalan, dengan dampak yang dirasakan oleh jutaan pekerja tambang, komunitas lokal, hingga perekonomian nasional.
Mengapa China dan India Berpaling?
Pergeseran ini bukan terjadi begitu saja. Terdapat konvergensi faktor ekonomi, kebijakan, dan lingkungan yang mendorong China dan India untuk mengubah strategi impor mereka.
Pertama, efisiensi ekonomi menjadi pendorong utama. Kedua negara kini lebih memilih batu bara HCV yang menghasilkan lebih banyak energi per ton, meskipun harganya lebih tinggi.
“Batu bara CV yang lebih tinggi lebih mahal, tetapi menghasilkan lebih banyak energi untuk setiap dolar yang dihabiskan pada harga saat ini,” ungkap Vasudev Pamnani, direktur I-Energy Natural Resources, perusahaan perdagangan batu bara di India.
Ia menambahkan, “Satu juta ton batu bara CV tinggi dapat menggantikan 1,2 hingga 1,5 juta ton batu bara dari Indonesia.”
Preferensi ini mencerminkan pasar yang semakin matang, di mana efisiensi jangka panjang lebih diutamakan ketimbang harga murah awal.
Batu bara Indonesia, yang sebagian besar berkalori rendah hingga menengah, kini terdesak untuk meningkatkan kualitas atau mencari pasar baru.
Kedua, dinamika harga global turut memperparah situasi. Penurunan harga batu bara dunia sejak Oktober 2023 telah membuat batu bara HCV dari Australia, Rusia, dan Afrika Selatan lebih kompetitif.
Indeks harga batu bara Australia bahkan turun lebih cepat dibandingkan indeks Indonesia, menekan daya saing batu bara Indonesia.
Di China, pasokan batu bara Rusia yang didiskon, meskipun turun 49% pada Maret 2025 karena stok pelabuhan yang tinggi, tetap menjadi ancaman.
Sementara itu, India meningkatkan impor dari Afrika Selatan sebesar 26,1% dan dari Rusia sebesar 52% pada Mei 2025, menunjukkan pergeseran ke sumber-sumber alternatif yang menawarkan harga kompetitif dan kualitas lebih tinggi.
Ketiga, ambisi swasembada energi di China dan India menjadi faktor kunci. China, sebagai konsumen dan produsen batu bara terbesar dunia, memangkas impornya hampir 10% menjadi 137,4 juta ton pada Januari-Mei 2025, didorong oleh peningkatan produksi domestik sebesar 70-80 juta ton dan percepatan energi terbarukan.
Meski demikian, China masih menyetujui 11,29 GW pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada kuartal pertama 2025, mencerminkan kontradiksi kebijakan antara transisi energi dan ketergantungan batu bara.
Di India, impor batu bara turun lebih dari 5% menjadi 74 juta ton pada periode yang sama, dengan produksi domestik naik 3,4%.
Meski India berencana menghentikan impor batu bara termal pada Maret 2025, target ini sulit tercapai karena kebutuhan listrik yang melonjak, yang masih bergantung pada ekspansi batu bara hingga 2032.
Industri Batu Bara Indonesia di Ujung Tanduk
Penurunan ekspor ke China dan India telah mengguncang industri batu bara Indonesia. Produksi batu bara pada April 2025 hanya mencapai 245-250 juta ton, turun dari 269 juta ton pada periode yang sama di 2024.
Ekspor pun anjlok dari 175 juta ton pada Januari-April 2024 menjadi 155-160 juta ton pada 2025, level terendah dalam tiga tahun.
Penurunan ini tidak hanya mencerminkan perlambatan pasar global, tetapi juga kehilangan pangsa pasar Indonesia yang tidak proporsional dibandingkan penurunan impor keseluruhan China dan India.
Dampaknya meluas. Ribuan pekerja tambang di Kalimantan dan Sumatra menghadapi ketidakpastian, dengan beberapa perusahaan pertambangan kecil terpaksa menghentikan operasi.
Komunitas lokal yang bergantung pada aktivitas tambang juga terkena imbas, dengan penurunan pendapatan dan ancaman pengangguran.
Pemerintah, yang mengandalkan pendapatan ekspor batu bara untuk mendanai pembangunan infrastruktur, kini menghadapi tekanan fiskal.
Harga acuan batu bara domestik (HBA) naik menjadi $97,80 per ton pada Mei 2025, naik 13% dari tahun sebelumnya, namun kebijakan ini justru ditolak pembeli utama seperti China dan India, yang lebih memilih indeks ICI karena dianggap lebih transparan.
Ketidaksesuaian ini memperburuk penurunan ekspor dan menyoroti tantangan kebijakan domestik.
Menuju Pasar Domestik dan Hilirisasi
Menghadapi krisis ini, Indonesia bergerak cepat. Para penambang kini beralih ke permintaan domestik, yang diproyeksikan menyumbang 48,6% produksi batu bara pada 2025, pangsa tertinggi dalam satu dekade.
Sektor peleburan nikel menjadi penyelamat utama, menawarkan harga lebih menguntungkan dibandingkan ekspor tradisional.
Kewajiban Pasar Domestik (DMO) ditetapkan sebesar 229,3 juta ton untuk 2025, naik 4% dari 2024, dengan konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik diperkirakan melonjak dari 183 juta ton pada 2024 menjadi 298 juta ton pada 2037.
“Pasar domestik, khususnya industri nikel, menjadi penyangga kritis di tengah penurunan ekspor,” ujar seorang pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia.
Namun, ketergantungan pada sektor nikel juga membawa risiko. Fluktuasi harga nikel global atau perubahan kebijakan domestik dapat mengganggu stabilitas pasar ini.
Untuk mengatasi ketergantungan ini, pemerintah mendorong hilirisasi, seperti pengembangan briket, gasifikasi, dan produksi amonium nitrat.
Fokus khusus diberikan pada batu bara metalurgi, dengan target produksi batu bara kokas mencapai 11,8 juta ton pada 2025, naik dari 9,8 juta ton pada 2023.
Meski demikian, Indonesia masih mengimpor 90% kebutuhan kokasnya dari China, menggarisbawahi kesenjangan struktural dalam rantai nilai baja domestik.
Investasi dalam pabrik kokas dan fasilitas pembuatan baja lokal menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan nilai tambah.
Diversifikasi Pasar dan Kontradiksi Kebijakan
Selain mengandalkan pasar domestik, Indonesia berupaya mendiversifikasi tujuan ekspor melalui perjanjian perdagangan seperti ASEAN Plus Three dan RCEP.
Negosiasi bilateral dengan negara seperti Amerika Serikat juga dipertimbangkan untuk membuka pasar baru. Namun, kebijakan batu bara Indonesia diwarnai kontradiksi.
Di satu sisi, pemerintah berkomitmen pada transisi energi melalui kesepakatan $20 miliar untuk memensiunkan pembangkit batu bara. Di sisi lain, pembangkit baru terus dibangun untuk mendukung industri.
“Kontradiksi ini menciptakan ketidakpastian bagi investor,” kata seorang analis energi dari Jakarta. “Sektor swasta lebih fokus pada keuntungan jangka pendek daripada rencana transisi jangka panjang.”
Ke depan, industri batu bara Indonesia menghadapi tantangan berat: persaingan global, penurunan harga, dan tekanan transisi energi. Namun, peluang tetap ada.
Permintaan domestik yang kuat, terutama dari sektor nikel, memberikan stabilitas jangka pendek. Hilirisasi, jika berhasil, dapat mengubah Indonesia dari eksportir bahan mentah menjadi pemain kunci dalam rantai nilai energi global.
Diversifikasi pasar ke negara-negara di luar China dan India juga dapat membuka aliran pendapatan baru.
Namun, keberhasilan strategi ini bergantung pada kebijakan yang koheren. Pemerintah harus menyelaraskan target emisi dengan ekspansi batu bara, memperbaiki logistik di Kalimantan, dan mendorong investasi swasta dalam hilirisasi.
Tanpa langkah-langkah ini, industri batu bara Indonesia berisiko kehilangan daya saing di pasar global yang semakin kompleks.
Seperti dikatakan oleh seorang pakar energi, “Indonesia harus bergerak cepat untuk menangkap peluang domestik dan global, atau kita akan tertinggal dalam perlombaan energi dunia.”
(nem)
0Komentar