Infrastruktur kabel laut sepanjang 55.000 km jadi tulang punggung internet Indonesia. Namun, kerusakan kabel, kekacauan penataan ruang laut, dan krisis SDM subsea mengancam kedaulatan digital nasional. (Ilustrasi: Apluswire/Heninda Rochman Amilia)

Bayangkan sebuah dunia di mana akses internet tiba-tiba terputus: pelajar tak bisa mengikuti kelas daring, dokter tak dapat mengakses data pasien melalui telemedisin, dan transaksi e-commerce macet. 

Bagi Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi keempat terbesar secara global, skenario ini bukan sekadar imajinasi. 

Infrastruktur kabel laut sepanjang lebih dari 55.069 kilometer di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang mengangkut 97% lalu lintas data global, adalah tulang punggung konektivitas digital nasional. 

Namun, di balik skala masifnya, jaringan ini terancam oleh kerusakan akibat bencana alam, kelalaian manusia, penataan ruang laut yang semrawut, dan kelangkaan talenta digital. 

Ketika kabel laut di Merauke putus, kerugian ekonomi mencapai jutaan dolar, mengguncang kehidupan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. 

Pertanyaannya, mampukah Indonesia menjaga nyawa digitalnya di dasar laut?

Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki kebutuhan unik akan konektivitas lintas pulau. 

Kabel laut serat optik, yang mampu menyalurkan data berkecepatan tinggi melintasi ribuan kilometer, adalah solusi paling efisien dibandingkan satelit yang terbatas dalam bandwidth dan kecepatan. 


Proyek Palapa Ring, yang dijuluki “Tol Langit,” membentang sepanjang 35.280 kilometer kabel laut dan 21.807 kilometer kabel darat, menjanjikan akses broadband 10 Mbps di pedesaan dan 20 Mbps di perkotaan. 

Telkom Indonesia, sebagai pemain utama, telah menggelar lebih dari 170.000 kilometer jaringan optik, menghubungkan lebih dari 200 juta pengguna domestik dan internasional. 

Namun, geografi kepulauan juga menghadirkan tantangan besar. Perairan Indonesia yang luas, dinamis, dan rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan longsor bawah laut meningkatkan risiko kerusakan infrastruktur. 

Aktivitas maritim yang padat, mulai dari perikanan hingga pelayaran, menambah kompleksitas. “Kabel laut adalah urat nadi digital kita, tetapi juga aset yang sangat rentan,” kata Dr. Ir. M. Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian, dalam sebuah wawancara. 

Tantangan ini diperparah oleh penataan ruang laut yang buruk dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) spesialis kabel laut, menempatkan Indonesia pada posisi strategis sekaligus rapuh dalam peta konektivitas global.


Skala Jaringan dan Kesenjangan Kualitas

Indonesia memiliki jaringan kabel laut yang mengesankan. Total panjang Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) di ZEE mencapai 55.069 kilometer, setara dengan 45 kali jarak Padang-Jakarta. 

Jaringan kabel bawah laut sepanjang 55.000 km menghubungkan pulau-pulau Indonesia, menjadi tulang punggung konektivitas internet nasional. (Dok. PLN)

Selain Palapa Ring, proyek seperti Biznet Nusantara Cable System-1 (BNCS-1) sepanjang 105,7 kilometer menghubungkan Jawa, Sumatera, dan Bangka, sementara Barat Timur Indonesia (BTI) membentang 4.700 kilometer dari Batam ke Manado. 

Sistem internasional seperti Bifrost, yang sedang dibangun sepanjang 16.000 kilometer, akan menjadikan Indonesia sebagai jalur penghubung Asia Tenggara ke Amerika Utara. 

Namun, skala besar ini tidak serta-merta menghasilkan kualitas layanan yang setara. Data Ookla menunjukkan Indonesia berada di peringkat 86 dunia untuk kecepatan mobile broadband (28,80 Mbps) dan 121 untuk fixed broadband (32,07 Mbps), jauh tertinggal dari Singapura (330,98 Mbps) atau Thailand (203,28 Mbps). 

“Kami punya backbone yang kuat, tapi last-mile connectivity masih menjadi bottleneck,” ungkap Prof. Dr. Khoirul Anwar, pakar telekomunikasi dari Telkom University. 

Kesenjangan ini terjadi karena kapasitas jaringan di tingkat lokal sering kali tidak memadai, distribusi bandwidth tidak merata, dan kurangnya redundansi rute yang menyebabkan gangguan besar saat satu kabel putus, seperti yang dialami Telkom IndiHome pada beberapa insiden sebelumnya.


Ancaman di Dasar Laut

Kerusakan kabel laut adalah ancaman nyata yang menghantui konektivitas Indonesia. International Cable Protection Committee (ICPC) mencatat bahwa 40% kerusakan kabel global disebabkan oleh aktivitas perikanan, sementara 15% akibat insiden jangkar kapal. 

Ilustrasi: Kapal pukat pelagis sepanjang 120 meter bernama Johanna Maria, milik perusahaan Belanda Jaczon berbendera Irlandia yang menangkap ikan di samudera Atlantik di wilayah Mauritania, Afrika Barat pada Maret 2010. (Foto : ejatlas.org)

Di Indonesia, kasus seperti putusnya kabel di Papua menunjukkan dampak kelalaian manusia. “Nelayan sering tidak tahu di mana kabel berada, dan jangkar kapal bisa merusak infrastruktur bernilai miliaran rupiah dalam hitungan detik,” ujar Dr. Anwar. 

Bencana alam juga menjadi musuh besar. Gempa megathrust Andaman-Sumatera 2004 dan Taifun Morakot di Taiwan 2009 menunjukkan bagaimana bencana dapat memutus kabel dan melumpuhkan komunikasi lintas negara. 

Di Indonesia, risiko serupa mengintai di wilayah rawan gempa seperti Laut Banda atau Selat Sunda. Sabotase, meski jarang, juga menjadi ancaman. 

Insiden pemotongan kabel di Mesir (2008) dan Filipina (2010) menjadi pengingat bahwa infrastruktur ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga keamanan nasional. 

Dampak kerusakan ini sangat luas. Gangguan internet di Merauke, misalnya, menyebabkan kerugian jutaan dolar, menghambat pendidikan, kesehatan, dan perdagangan. 

Sektor keuangan, yang bergantung pada koneksi real-time, lumpuh ketika kabel putus. “Satu hari tanpa internet bisa merugikan ekonomi lokal hingga miliaran rupiah,” kata Bonifasius Wahyu Pudjianto, Kepala BPSDM Kementerian Komdigi. 


Kekacauan Penataan Ruang Laut

Penataan ruang laut Indonesia menghadapi tantangan besar. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyoroti bahwa banyak kabel, termasuk yang dimiliki asing, tergeletak di luar alur resmi, terutama di Laut Natuna dan Teluk Jakarta. 

Ilustrasi: Banyak kabel bawah laut di Indonesia terpasang di luar jalur resmi, mencerminkan lemahnya penataan ruang laut dan pengawasan infrastruktur digital. (Foto: Adobestock)

Kepmen KP 14/2021, yang mengatur alur kabel dan pipa bawah laut, menemukan bahwa 145 dari 327 segmen kabel berada di luar jalur yang ditetapkan, dan 193 di antaranya tampaknya tidak beroperasi. 

“Kami butuh peta terintegrasi untuk mengetahui posisi pasti kabel-kabel ini,” tegas Trenggono dalam sebuah forum maritim. 

Kurangnya pemetaan real-time dan koordinasi lintas sektor antara KKP, Kominfo, Kemenhub, dan ESDM memperparah masalah. 

Kabel asing yang melintasi wilayah Indonesia tanpa pengawasan memadai juga menimbulkan risiko keamanan data. 

“Tanpa kontrol ketat, kita bisa kehilangan kedaulatan digital,” peringatkan Dr. Rudy Salahuddin. 

Regulasi seperti Peraturan Menteri Kominfo 16/2005 dan UNCLOS 1982 belum cukup untuk menangani kompleksitas ini, menuntut pendekatan lintas sektoral yang lebih kuat.

Di balik infrastruktur megah, Indonesia menghadapi krisis talenta digital. “Kami kekurangan ahli subsea yang paham perencanaan, instalasi, dan perbaikan kabel laut,” ujar Bonifasius. 

Hanya segelintir universitas, seperti Telkom University, yang mulai menawarkan kurikulum relevan, dengan sekitar 500 mahasiswa per tahun di program Teknik Telekomunikasi. 

Ketergantungan pada keahlian asing tidak hanya mahal, tetapi juga berisiko bagi kedaulatan digital. “Kami ingin talenta dari dalam negeri, bukan luar,” tegas Bonifasius, menegaskan visi kemandirian.


Langkah Pemerintah dan Solusi ke Depan

Pemerintah telah mengambil langkah signifikan. Kepmen KP 14/2021 menyentralisasi perizinan kabel laut di KKP, sementara proyek Palapa Ring Integrasi menambah 3.009 kilometer kabel laut untuk menjangkau 78 kabupaten/kota. 

Proyek kabel laut internasional Bifrost menghubungkan Indonesia ke Amerika Utara, menjadikan Manado sebagai gerbang digital strategis kedua setelah Batam. (Foto: Converge)

Sistem Bifrost, yang menghubungkan Indonesia ke Amerika Utara, menempatkan Manado sebagai gerbang internasional kedua setelah Batam. 

Kolaborasi dengan industri dan akademisi, seperti Telkom University, Meta, dan ICPC, juga digalakkan untuk mencetak talenta subsea. 

Namun, tantangan implementasi masih nyata. Operator sering kali tidak patuh pada regulasi, dan koordinasi lintas sektor masih lemah. 

ICPC merekomendasikan langkah konkret seperti larangan aktivitas perikanan di dekat kabel, pembuatan peta kesadaran kabel, dan penetapan zona perlindungan. 

Pendekatan restorative justice juga diusulkan untuk menangani kerusakan akibat kelalaian kapal, memungkinkan mediasi dan kompensasi tanpa proses pengadilan yang panjang. 

Posisi Indonesia sebagai jalur transit kabel laut global menjadikannya magnet investasi, seperti terlihat pada proyek Bifrost yang melibatkan Telin, Keppel, dan Meta. 

Namun, ini juga menimbulkan risiko geopolitik. Kabel asing yang tidak tertata dapat menjadi celah keamanan data. “Kedaulatan digital kita bergantung pada kemampuan mengelola infrastruktur ini,” kata Dr. Salahuddin. 

Partisipasi dalam forum seperti Quad Partnership for Cable Connectivity menunjukkan pentingnya kolaborasi global, tetapi Indonesia harus memperkuat kemampuan maritim dan hukum nasional untuk melindungi aset vital ini.


Menuju Hub Digital Global

Ke depan, Indonesia berambisi mencapai kecepatan internet 100 Mbps di seluruh wilayah. Inisiatif seperti pengembangan kabel optik untuk deteksi tsunami oleh UGM dan Telkom, serta Hyperscale Data Center di Cikarang, menunjukkan inovasi yang menjanjikan. Namun, keberhasilan bergantung pada: 

Pemetaan Real-Time: Bangun database terintegrasi untuk memantau kabel dan mencegah tumpang tindih. 

Redundansi Jaringan: Tambah rute alternatif untuk minimalkan gangguan. 

Edukasi Maritim: Sosialisasikan zona perlindungan kepada pelaku laut. 

Talenta Subsea: Perluas pelatihan dan insentif karir. 

Diplomasi Digital: Perkuat regulasi untuk kabel asing dan kerja sama internasional. 

Dengan 55.000 kilometer kabel laut, Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menjadi hub digital global. Namun, ancaman kerusakan, penataan yang buruk, dan krisis SDM menguji ketahanan infrastruktur ini. 

Seperti dikatakan Prof. Anwar, “Kabel laut adalah jantungan ekonomi digital kita—satu gangguan bisa melumpuhkan seluruh sistem.” 

Dengan regulasi tegas, investasi cerdas, dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat mengubah tantangan menjadi peluang, memastikan konektivitas merata, dan memperkuat kedaulatan digital di panggung dunia.