Israel mendesak China untuk menggunakan pengaruh ekonominya guna menekan Iran menghentikan ambisi nuklir dan militernya. (Wikipedia)

Israel mendesak China untuk menggunakan pengaruh ekonomi dan politiknya guna menekan Iran agar mengendalikan ambisi nuklir dan militernya. Pernyataan ini mencuat pada Selasa (1/7/2025) di Shanghai, di tengah ketegangan geopolitik yang kian memanas akibat perang 12 hari antara Israel dan Iran. 

Dengan China sebagai pembeli 90% minyak Iran, tekanan ini dinilai bisa mengguncang ekonomi Teheran. Namun, akankah Beijing merespons, atau justru memilih diam untuk menjaga hubungan strategis dengan mitra utamanya di Timur Tengah?

Konsul Jenderal Israel di Shanghai, Ravit Baer, tak ragu menyoroti peran China. "China adalah satu-satunya yang mampu mempengaruhi Iran," ujarnya kepada wartawan, seperti dilansir Al Arabiya, Rabu (2/7/2025). 

Ia menambahkan, "Iran akan kolaps jika China tidak membeli minyaknya." Dalam wawancara dengan Bloomberg TV sehari kemudian, Baer mengulangi pernyataannya, menegaskan bahwa pembelian minyak Iran oleh China, yang mencapai 1,7 juta barel per hari, memberi Beijing kekuatan besar untuk menekan Teheran. 

"Sayangnya, banyak uang dari penjualan minyak itu digunakan untuk kegiatan jahat Iran di kawasan," tambahnya, merujuk pada aktivitas militer Iran di Timur Tengah.

China memang menjadi penopang ekonomi Iran. Pada 2021, kedua negara menandatangani kemitraan strategis dengan potensi investasi US$400 miliar selama 25 tahun, mencakup energi dan infrastruktur. 

Minyak Iran, yang menyumbang sebagian besar pendapatan ekspornya, hampir seluruhnya diserap China, yang membeli sekitar 90% dari total ekspor minyak Teheran. 

Dengan ketergantungan ini, Israel melihat peluang bagi China untuk memainkan peran kunci dalam meredam ambisi nuklir Iran, yang dianggap sebagai ancaman serius oleh Tel Aviv.

Namun, desakan ini muncul di tengah hubungan Israel-China yang merenggang. Perang Israel di Gaza dan serangan terhadap Iran bulan lalu telah memicu kecaman dari Beijing. 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyerukan solusi diplomatik untuk isu nuklir Iran, sambil mengkritik serangan Israel sebagai "preseden berbahaya." 

Postingan di platform X dari akun resmi China, seperti @SpoxCHN_LinJian, juga menegaskan bahwa tindakan Israel dapat memicu "konsekuensi bencana" di kawasan. 

Sikap ini menunjukkan keengganan China untuk langsung menekan Iran, terutama mengingat kemitraan strategis mereka.

Konflik 12 hari antara Israel dan Iran, yang baru saja dihentikan melalui gencatan senjata yang dimediasi AS, telah meninggalkan kerusakan parah. 

Situs-situs militer dan nuklir Iran dilaporkan hancur, dengan beberapa komandan militer dan ilmuwan atom tewas. 

Iran, yang bersikeras bahwa program nuklirnya bersifat damai, kini berada dalam posisi sulit, terjepit antara tekanan Barat dan ketergantungan ekonomi pada China. 

Namun, sejarah menunjukkan bahwa Teheran sulit dibujuk untuk mengubah kebijakan strategisnya, bahkan oleh mitra seperti China.

Baer sendiri meragukan kemauan China untuk menjadi penutup konflik ini. "Menjadi mediator adalah tanggung jawab besar," katanya, mengisyaratkan bahwa Beijing lebih memilih menjaga hubungan ekonomi dengan Iran ketimbang terlibat dalam mediasi geopolitik. 

Meski hubungan dagang Israel-China tetap kuat—dengan China sebagai mitra dagang terbesar kedua Israel setelah AS—ketegangan politik akibat perang di Gaza dan serangan terhadap Iran membuat situasi semakin rumit.

Lalu, seberapa besar peluang China akan menekan Iran? Analis menilai kecil. "China punya leverage ekonomi, tapi Iran bukan negara yang mudah diatur," ujar Dr. Jonathan Fulton, pakar Timur Tengah dari Zayed University, kepada Bloomberg. 

Ia menambahkan bahwa prioritas China adalah stabilitas pasokan minyak dan hubungan ekonomi, bukan mengambil risiko dengan menekan mitra strategisnya. 

Data dari Kementerian Perdagangan China menunjukkan bahwa impor minyak dari Iran terus melonjak, menyumbang 10% dari total kebutuhan minyak Beijing pada 2024.

Sementara itu, ketegangan di kawasan terus memengaruhi pasar global. Harga minyak dunia, yang sempat melonjak 5% selama konflik Israel-Iran, kini stabil di kisaran US$85 per barel setelah gencatan senjata. 

Namun, investor tetap was-was, mengingat potensi eskalasi baru jika Iran tidak merespons tekanan internasional. 

Bagi Israel, desakan kepada China adalah upaya terbaru untuk menekan Iran melalui jalur ekonomi, setelah sanksi Barat dan serangan militer gagal menghentikan program nuklir Teheran.

Bagi pasar global, situasi ini tetap menjadi bom waktu. Jika China memilih untuk tidak bertindak, Iran mungkin terus mempercepat program nuklirnya, memicu respons militer lebih lanjut dari Israel. 

Sebaliknya, jika Beijing menekan Teheran, hubungan strategis China-Iran bisa terguncang, dengan dampak pada rantai pasok minyak global.