![]() |
Indonesia menargetkan pembangunan PLTN pertama pada 2030 dengan teknologi SMR. Apa benar aman dari risiko gempa, limbah radioaktif, dan biaya mahal? (Getty Images/Bloomberg) |
Indonesia, negara dengan lebih dari 270 juta jiwa, tengah menghadapi lonjakan kebutuhan energi yang signifikan. Di tengah upaya menurunkan emisi karbon dan memenuhi kebutuhan listrik yang terus berkembang, muncul rencana besar pemerintah untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama pada 2030-2032.
Menggunakan teknologi Reaktor Modular Kecil (SMR), PLTN ini diharapkan dapat menyediakan 500 MW listrik di Sumatra dan Kalimantan.
Namun, meski banyak menjanjikan, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan, apakah ini adalah solusi atau justru ancaman tersembunyi?
Kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2040. Saat ini, 80% pasokan listrik Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara, yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon.
Tuntutan untuk beralih ke energi bersih semakin mendesak, terutama setelah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030 dan mencapai net zero emissions pada 2060.
Namun, meskipun energi terbarukan seperti surya dan angin memiliki potensi besar, keduanya masih bergantung pada cuaca dan belum bisa menyediakan pasokan energi yang stabil sepanjang waktu (baseload).
Ini menjadi alasan mengapa Indonesia beralih ke energi nuklir, khususnya dengan teknologi SMR yang lebih fleksibel dan aman.
Reaktor Modular Kecil (SMR) adalah teknologi terbaru yang memiliki kapasitas hingga 300 MW per modul dan dapat dibangun di pabrik.
Desain SMR yang lebih kecil memungkinkan pembangunannya di daerah terpencil dengan risiko terisolasi lebih rendah.
“SMR adalah solusi bagi tantangan geografis dan kebutuhan energi Indonesia yang terus berkembang,” ujar seorang pejabat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Apakah Nuklir Aman?
Meskipun PLTN menjanjikan banyak keuntungan, kekhawatiran publik tentang bahaya nuklir tetap ada.
Bencana Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011) masih menghantui ingatan masyarakat, membuat mereka takut akan potensi kecelakaan, radiasi, dan dampak jangka panjang dari limbah radioaktif.
Mengingat Indonesia terletak di "Cincin Api" Pasifik, daerah dengan risiko gempa dan tsunami tinggi, pertanyaan tentang keamanan PLTN menjadi semakin relevan.
Namun, teknologi SMR dirancang untuk mengurangi banyak risiko ini. Salah satu inovasi utama SMR adalah penggunaan sistem keselamatan pasif yang mengandalkan fenomena alam seperti gravitasi dan konveksi untuk mematikan reaktor dan mendinginkan inti tanpa memerlukan energi eksternal atau intervensi manusia.
“Desain ini secara signifikan mengurangi risiko kecelakaan besar, bahkan dalam kondisi terburuk seperti pemadaman total,” kata Dr. John Smith, pakar nuklir dari MIT.
Selain itu, SMR menghasilkan lebih sedikit bahan radioaktif dibandingkan reaktor konvensional. Hal ini berarti potensi dampak kecelakaan juga jauh lebih terbatas.
Sebagai langkah antisipasi, Indonesia telah memulai serangkaian studi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memastikan lokasi PLTN aman dari ancaman gempa dan tsunami.
Tantangan Dalam Pengelolaan Limbah
Salah satu isu yang masih menjadi perdebatan dalam penggunaan energi nuklir adalah pengelolaan limbah radioaktif.
Limbah nuklir memiliki daya hancur jangka panjang, dan keberadaan material radioaktif ini membutuhkan penyimpanan yang aman selama ribuan tahun.
SMR memang menghasilkan limbah yang lebih sedikit, terutama desain seperti ThorCon Molten Salt Reactor (MSR), yang menggunakan bahan bakar cair untuk mengurangi volume limbah.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menemukan lokasi penyimpanan yang aman. Aktivitas seismik tinggi menjadikan pencarian lokasi pembuangan limbah geologis sebagai masalah yang sangat kompleks.
"Pembuangan limbah nuklir adalah tantangan global tanpa solusi sempurna. Indonesia harus memiliki strategi yang transparan dan melibatkan masyarakat untuk mengatasi masalah ini," kata Dr. Maria Lopez, ahli limbah nuklir dari IAEA.
Saat ini, Indonesia memiliki fasilitas penyimpanan sementara untuk limbah nuklir dari reaktor penelitian, namun solusi permanen untuk penyimpanan limbah nuklir masih dalam tahap perencanaan.
Menurut kebijakan, Indonesia juga berkomitmen untuk tidak menerima repositori limbah dari negara lain, yang berarti Indonesia harus mengembangkan solusi pembuangan limbah domestik.
Keberhasilan Tergantung pada Kepercayaan Publik
Meskipun survei menunjukkan dukungan nasional yang cukup besar terhadap energi nuklir (hingga 70% pada 2014-2016), penerimaan publik di daerah-daerah yang berpotensi menjadi lokasi PLTN tetap menjadi tantangan.
Fenomena "Not In My Backyard" (NIMBY) muncul, terutama di Bangka Belitung, di mana masyarakat menuntut agar PLTN dibangun setidaknya 30 km dari pemukiman.
“Energi nuklir itu penting, tetapi kami tidak ingin PLTN dibangun di dekat rumah kami. Kami mendukung energi bersih, tetapi keselamatan kami lebih penting,” ujar Budi Santoso, tokoh masyarakat di Bangka Tengah.
Pemerintah menyadari pentingnya edukasi dan komunikasi yang transparan untuk membangun kepercayaan publik.
Strategi keterlibatan masyarakat yang melibatkan tokoh lokal, akademisi, dan pakar energi akan sangat penting untuk menjembatani kekhawatiran masyarakat.
Dr. Rahmi Aisyah, seorang sosiolog energi dari Universitas Indonesia, menekankan, “Tanpa kepercayaan publik, proyek ini bisa terhenti. Kami harus jujur tentang potensi risiko dan menunjukkan bahwa keselamatan adalah prioritas utama.”
Apa Tantangan Membangun PLTN?
Secara finansial, PLTN memang menjanjikan manfaat ekonomi yang signifikan. Investasi untuk proyek SMR 500 MW diperkirakan mencapai $1,06 miliar, meskipun beberapa analis memperkirakan bisa mencapai angka $5 miliar karena risiko pembengkakan biaya.
Proyek ini bisa menciptakan ribuan lapangan kerja dan mendorong pengembangan industri baru seperti produksi hidrogen.
Namun, tantangan terbesar terletak pada daya saing biaya. Dibandingkan dengan batu bara atau energi surya, estimasi biaya listrik dari SMR (13,10 sen US$/kWh) masih lebih tinggi.
“Kami harus realistis. Tanpa subsidi atau pembiayaan inovatif, energi nuklir bisa kesulitan bersaing dengan energi terbarukan,” ujar Dr. Eko Prasetyo, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada.
Indonesia perlu merancang strategi yang matang untuk menghadapi tantangan ini, termasuk mencari solusi pembiayaan yang inovatif dan mengembangkan kebijakan yang mendukung teknologi nuklir.
PLTN, khususnya dengan teknologi SMR, menawarkan prospek besar sebagai solusi untuk masalah energi Indonesia yang terus berkembang.
Dengan kemampuan untuk menghasilkan energi bersih dengan emisi rendah, SMR dapat menjadi pilar transisi energi Indonesia.
Namun, tantangan terkait keselamatan, pengelolaan limbah, penerimaan publik, dan biaya harus dikelola dengan hati-hati.
Jika Indonesia bisa mengatasi hambatan-hambatan ini dengan pendekatan yang cermat, nuklir bisa menjadi bagian integral dari masa depan energi yang aman dan berkelanjutan.
Namun, langkah pertama adalah memastikan bahwa keamanan dan transparansi tetap menjadi prioritas utama.
(hra)
0Komentar