![]() |
Delapan dekade sejak Deklarasi HAM 1948, dunia masih dihantui pelanggaran hak asasi. Apa yang membuat penegakan HAM mandek di banyak negara? (Unsplash/Markus Spiske) |
Lebih dari delapan dekade setelah disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948, dunia masih dihantui oleh pelanggaran hak asasi manusia di berbagai belahan bumi.
Dari perang sipil yang berkecamuk di Myanmar, penindasan sistematis terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, hingga pembungkaman kebebasan sipil di negara-negara yang menyebut dirinya demokratis —tantangan terhadap hak asasi manusia tampak di berbagai belahan dunia.
Lantas, mengapa penegakan HAM masih menjadi persoalan besar hingga hari ini?
Tak kurang dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan komitmennya pada perlindungan hak-hak dasar manusia. Namun, realita di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya.
Bahkan menurut Amnesty International, pada 2024 terjadi peningkatan 12% dalam pelanggaran HAM berat secara global, termasuk pembunuhan di luar proses hukum dan penyiksaan oleh aparat negara.
Komitmen Global, Pelaksanaan Lokal yang Mandek
"Masalah utama terletak pada jurang antara norma dan implementasi," ujar Dr. Rina Santoso, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia. "Banyak negara menandatangani konvensi, tapi tak menerapkannya secara konsisten di dalam negeri."
![]() |
Ilustrasi: Negara-negara yang menjunjung tinggi HAM secara retoris, kerap melakukan pelanggaran terhadap warganya sendiri melalui represi sistematis. (AAP/Bianca De Marchi) |
Hal ini tercermin dari banyaknya kasus di mana negara mengklaim menjunjung HAM, tetapi pada saat yang sama melakukan tindakan represif terhadap warganya sendiri. Di beberapa kasus, sistem peradilan nasional justru menjadi alat pelanggeng kekuasaan, bukan penegak keadilan.
Negara Berdaulat vs Norma Universal
Salah satu kendala klasik dalam penegakan HAM adalah konflik antara prinsip kedaulatan negara dan standar HAM universal. Negara sering berdalih bahwa standar internasional tak bisa serta-merta diterapkan karena perbedaan budaya, agama, atau sistem hukum lokal.
"HAM itu bersifat universal, tapi pelaksanaannya harus sensitif terhadap konteks lokal," kata Prof. Haruto Mizuno, peneliti senior di Human Rights Watch Asia. Namun, menurutnya, argumen budaya sering digunakan sebagai tameng untuk menutupi pelanggaran yang sistematis.
Contohnya, dalam kasus pelanggaran hak perempuan atau LGBT di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika, dalih budaya lokal sering menjadi penghalang utama bagi reformasi hukum yang sejalan dengan konvensi internasional.
Lembaga Internasional: Gigi Tumpul di Tengah Krisis
Sejumlah mekanisme hukum internasional sebenarnya telah dibentuk. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Mahkamah Internasional (ICJ), hingga Dewan HAM PBB menjadi garda terdepan. Namun, efektivitasnya kerap dipertanyakan.
"Masalahnya, yurisdiksi mereka terbatas dan sering kali terganjal politik," ujar Yohana Lie, Direktur Eksekutif Institute for Justice and Democracy. "Banyak negara kuat tidak mengakui ICC, bahkan menarik diri dari kewajiban internasional saat merasa terancam."
AS, China, dan Rusia adalah contoh negara besar yang menolak tunduk pada kewenangan ICC. Akibatnya, tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan negara-negara besar jarang tersentuh hukum internasional.
Politik Global: Agenda Si Kuat
Penegakan HAM tak bisa dilepaskan dari permainan geopolitik. Negara-negara besar kerap memakai isu HAM sebagai alat diplomasi—mendukung atau mengecam pelanggaran berdasarkan kepentingan strategis.
Laporan Freedom House 2024 mencatat bahwa dari 210 negara dan wilayah yang dianalisis, hanya 20% yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip HAM secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Sementara sisanya menunjukkan inkonsistensi yang tinggi tergantung pada arah politik dan tekanan internasional.
![]() |
Pasukan keamanan Venezuela terlibat bentrok sengit dengan para demonstran anti-pemerintah di ibu kota Caracas pada 12 April. (REUTERS) |
Contohnya, kecaman negara-negara Barat terhadap pelanggaran HAM di Iran atau Venezuela cukup keras, tetapi bersikap lunak terhadap pelanggaran serupa di negara mitra dagang seperti Arab Saudi.
Konflik Bersenjata: Ketika Hukum Terlupakan
Krisis kemanusiaan di Gaza, Sudan, dan Ukraina menunjukkan bagaimana konflik bersenjata menjadi ruang paling brutal bagi pelanggaran HAM.
Pembunuhan massal, pengungsian paksa, pemerkosaan sistematis, hingga pemblokiran bantuan kemanusiaan menjadi gambaran buram dunia hari ini.
"Saat peluru mulai menyalak, hukum sering kali dilupakan," ujar Fatima El-Hassan, aktivis kemanusiaan dari Sudan. Ia menambahkan bahwa lembaga internasional kerap tak mampu menjangkau wilayah konflik karena diblokir oleh pihak yang bertikai.
Di sisi lain, teknologi digital juga memberi tantangan baru. Sistem pengawasan masif berbasis AI yang digunakan di China, Israel, dan AS menuai kekhawatiran akan privasi dan kebebasan sipil.
“Pengawasan kini bisa dilakukan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ini membuka potensi pelanggaran HAM yang sistematis,” ujar Edward Tan, analis teknologi dan HAM di ASEAN Digital Rights Forum.
Namun, teknologi juga menjadi alat perjuangan. Aktivis HAM di negara-negara represif memanfaatkan media sosial untuk membangun solidaritas global dan mendokumentasikan pelanggaran secara real-time. Tapi risiko kriminalisasi tetap tinggi.
Di banyak negara berkembang, institusi penegak hukum tidak hanya lemah, tapi juga korup. Menurut Transparency International, lebih dari 60% warga di negara-negara berpendapatan rendah tak percaya pada aparat penegak hukum mereka.
"Tanpa lembaga yang kuat dan independen, tidak ada jaminan keadilan," kata Rina Santoso. Selain itu, rendahnya literasi HAM di kalangan masyarakat maupun aparat juga memperburuk situasi.
Menuju Penegakan yang Konsisten dan Berkeadilan
Solusi terhadap stagnasi penegakan HAM bukan hanya pada regulasi, tapi pada kemauan politik dan kolaborasi lintas batas. Diperlukan reformasi institusional, peningkatan pendidikan HAM, dan penguatan peran masyarakat sipil.
ASEAN, misalnya, mendapat sorotan karena dinilai pasif terhadap pelanggaran HAM di Myanmar. Namun, sejumlah negara anggota seperti Indonesia mulai mendorong pendekatan dialogis dan tekanan diplomatik.
Sementara itu, gerakan akar rumput dari masyarakat sipil—mulai dari LSM, jurnalis independen, hingga whistleblower—terus menjadi benteng terakhir dalam menjaga marwah HAM di berbagai penjuru dunia.
80 tahun sejak deklarasi DUHAM, dunia masih mencari cara untuk mewujudkan janji keadilan yang sejati.
Di tengah tantangan geopolitik, ketimpangan kekuasaan, konflik bersenjata, dan kemajuan teknologi yang ambigu, penegakan HAM bukan sekadar isu hukum—tapi soal pilihan moral global.
Selama negara-negara besar masih memegang kendali atas arah kebijakan HAM global, dan lembaga internasional tak diberi taring, maka impian tentang keadilan yang setara dan universal akan terus tertunda.
0Komentar