![]() |
Jejak Homo sapiens di Papua terbentang sejak 55.000 tahun lalu. Situs purba kini terancam tambang nikel dan konflik sosial di Raja Ampat. (Tristan Rusell, CC BY-SA) |
Selama lebih dari 50.000 tahun, Papua bukanlah tanah kosong. Ia adalah pintu masuk utama penyebaran manusia modern ke Pasifik. Namun hari ini, warisan sejarah itu berada di ujung tanduk.
Di pedalaman hutan tropis Pulau Waigeo, Raja Ampat, Gua Mololo berdiri sebagai saksi bisu kedatangan Homo sapiens puluhan ribu tahun silam. Penemuan resin olahan berusia sekitar 55.000 tahun di sana menggemparkan dunia arkeologi.
Ini adalah artefak tanaman tertua yang pernah ditemukan di luar Afrika. Bukti bahwa manusia purba tak hanya melintasi wilayah ini, tapi juga menetap, beradaptasi, dan berkembang.
Bukan Titik Lewat, Tapi Titik Awal
Manusia modern pertama kali tiba di kawasan Papua sekitar 80.000–60.000 tahun lalu. Bukan dengan berjalan kaki, tetapi menyeberangi laut, menggunakan perahu-perahu sederhana.
Mereka menyusuri jalur utara dari Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Bukan jalur selatan seperti yang selama ini diyakini.
"Penemuan di Gua Mololo mendobrak paradigma lama tentang rute migrasi manusia modern. Raja Ampat bukan sekadar perlintasan, tapi pusat adaptasi awal di wilayah tropis maritim," jelas Dr. Sofwan Noerwidi, peneliti Balai Arkeologi Nasional.
Artefak seperti tulang hewan, pecahan batu, arang, dan cangkang kerang di Mololo menunjukkan manusia purba mengandalkan laut dan hutan secara bersamaan.
Adaptasi ganda ini unik. Mereka berburu darat, menyelam, dan memanfaatkan sumber daya pesisir secara sistematis.
Teknologi dan Jejak Genetik Purba
Selain Gua Mololo, Gua Golo di Pulau Gebe menyimpan alat dari cangkang kerang Tridacna berusia sekitar 12.000 tahun. Temuan ini mengisyaratkan evolusi teknologi di kawasan Wallacea. Manusia purba tak hanya mampu bertahan, tetapi menciptakan teknologi dari apa yang tersedia di alam.
Yang lebih mengejutkan jejak genetik manusia Denisova ditemukan pada 3–5% DNA penduduk Papua modern. Ini adalah hasil percampuran antara Homo sapiens dan manusia purba Denisova sekitar 50.000 tahun lalu. Sebuah catatan sejarah biologis yang tidak dimiliki kawasan lain di dunia.
"DNA Denisova pada masyarakat Papua berperan penting dalam sistem imun dan adaptasi terhadap lingkungan ekstrem," kata Prof. David Reich dari Harvard Medical School dalam kajian genetiknya.
Tidak hanya itu, sekitar 3.500 tahun lalu, terjadi migrasi balik dari Papua ke Wallacea. Implikasinya besar sekitar 60% genetik masyarakat di Kepulauan Aru dan sekitarnya hari ini merupakan warisan dari nenek moyang Papua. Bukti kuat bahwa Papua menjadi episentrum pertukaran budaya dan genetik di Asia Tenggara bagian timur.
Ketika Tambang Masuk ke Gua Sejarah
Tapi jejak purba ini kini menghadapi tantangan eksistensial. Di bawah tekanan permintaan global untuk nikel bahan utama baterai kendaraan listrik eksplorasi tambang mulai merambah kawasan konservasi dan situs arkeologis.
Di Pulau Gebe, Gua Golo kini berada di zona terdampak aktivitas tambang. Sedimentasi dari pembukaan lahan menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Terumbu karang rusak. Air pesisir mengandung logam berat. Bahkan Gua Mololo tak lagi steril dari gangguan manusia.
![]() |
Raja Ampat, yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, juga menyimpan situs arkeologis penting. Aktivitas pertambangan dikhawatirkan mengancam dua kekayaan ini sekaligus. |
Menurut Greenpeace Indonesia, lebih dari 70% izin tambang di kawasan Raja Ampat tumpang tindih dengan area konservasi. Bahkan sebagian berada dalam wilayah Geopark Global UNESCO.
"Ini bukan sekadar soal ekologi. Ini menyangkut memori kolektif manusia," kata Asep Komarudin, juru kampanye hutan Greenpeace.
Ketegangan antara Tambang dan Tradisi
Tambang bukan hanya merusak gua-gua kuno. Ia menciptakan konflik sosial yang tajam. Di beberapa desa pesisir Raja Ampat, ketegangan muncul antara pelaku pariwisata, masyarakat adat, dan perusahaan tambang.
Pariwisata menyumbang hingga 70% ekonomi lokal. Namun ketika tambang masuk, lokasi wisata ditutup. Terumbu rusak, biota laut menghilang. Nelayan kehilangan mata pencaharian. Warga kehilangan akses ke laut.
"Kami tidak menolak pembangunan. Tapi jangan sampai kampung kami jadi korban. Kami ini penjaga tanah leluhur," kata Yulius Mambrasar, tokoh adat dari Waigeo.
Pemerintah daerah pun terjepit. Di satu sisi ingin mengembangkan ekonomi lewat tambang. Di sisi lain, harus menjaga warisan budaya dan ekologi yang jadi aset wisata dunia.
Repatriasi dan Harapan yang Tertunda
Sementara itu, upaya mengembalikan artefak Papua dari museum-museum dunia masih menghadapi jalan berliku.
![]() |
Koleksi artefak Papua di Belanda mencakup benda-benda sakral, peralatan prasejarah, hingga noken adat. (Pixabay/The Fealdo Project) |
Museum Leiden di Belanda, yang menyimpan ribuan artefak Papua, menyatakan kesediaan untuk mengembalikan koleksi mereka. Namun hingga kini, prosesnya tersendat.
"Repatriasi butuh anggaran besar, infrastruktur, dan museum lokal yang layak. Papua belum siap sepenuhnya," kata Heri Prabowo, arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tanpa dukungan anggaran yang kuat, artefak yang seharusnya menjadi bahan pendidikan lokal justru tersimpan ribuan kilometer jauhnya dari tempat asalnya.
"Kalau warisan ini rusak, tak bisa kembali. Kita bicara soal jejak awal manusia modern," kata Dr. Sofwan Noerwidi.
Para arkeolog, aktivis lingkungan, dan tokoh adat bersatu dalam desakan yang sama: hentikan tambang di zona sejarah. Namun hingga kini, moratorium belum terjadi. Investasi terus mengalir, alat berat terus bekerja.
Di tengah itu semua, Gua Mololo tetap diam. Tapi diamnya bukan berarti tak bersuara. Setiap lapisan tanahnya menyimpan cerita tentang manusia pertama yang datang ke Pasifik. Cerita yang kini harus bersaing dengan deru mesin tambang.
Papua: Bukan Tanah Kosong, Tapi Tanah Awal
Selama puluhan ribu tahun, Papua menjadi pusat pengetahuan manusia purba tentang laut, tropis, dan adaptasi ekstrem. Wilayah ini adalah "laboratorium terbuka" evolusi Homo sapiens di dunia tropis.
Namun dalam waktu yang jauh lebih singkat tak sampai satu dekade ancaman terhadap warisan itu datang lebih cepat daripada upaya perlindungannya.
"Papua bukan halaman belakang Indonesia. Ini pintu depan sejarah manusia dunia," kata Asep Komarudin. Pernyataan itu menggema di tengah desakan agar Raja Ampat dan Papua tidak dikorbankan demi logam hijau yang ironisnya merusak masa depan.
0Komentar