![]() |
Indonesia terus mendorong proyek energi baru terbarukan seperti PLTSa dan PLTS. Namun di balik pencitraan hijau itu, batu bara tetap dominan dalam bauran energi. (pv-tech.org) |
Ketika Indonesia berkomitmen menuju netral karbon pada 2060, pertanyaan besar muncul: apakah langkah-langkah yang diambil sejauh ini benar-benar menuju transisi energi bersih, atau hanya kosmetik hijau yang menyamarkan kenyataan bahwa energi fosil masih menjadi raja?
Pemerintah telah menggembar-gemborkan proyek-proyek energi baru terbarukan (EBT), dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Namun, di balik sorotan lampu proyek hijau ini, batu bara masih mendominasi bauran energi nasional.
Kontradiksi ini membuka perdebatan panjang: apakah Indonesia benar-benar dalam jalur revolusi energi, atau justru terjebak dalam praktik greenwashing yang sistematis?
Menelisik klaim solusi dua masalah sekaligus: energi dan sampah
Salah satu proyek yang disorot adalah PLTSa, yang digadang-gadang menjadi solusi dua masalah sekaligus: pengelolaan sampah dan pasokan energi bersih. Pemerintah menargetkan pembangunan PLTSa di 33 kota, naik tajam dari target awal 12 kota.
Dua fasilitas yang sudah beroperasi penuh adalah PLTSa Putri Cempo di Solo dan PLTSa Benowo di Surabaya. Di DKI Jakarta, empat proyek PLTSa baru sedang disiapkan, termasuk yang di Sunter, Jakarta Utara.
"Teknologinya makin efisien. PLTSa sekarang bisa jual langsung ke PLN tanpa perlu tipping fee," ujar Arya Wibawa, analis energi terbarukan dari Lembaga Energi Hijau Nusantara.
Pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 untuk mempercepat pembangunan PLTSa. Targetnya, revisi rampung pada Juli 2025. Skema pendanaan juga berubah: dari sistem tipping fee menjadi subsidi langsung pembelian listrik oleh PLN. Tarif listrik dari PLTSa ditetapkan sekitar US$13,35 sen/kWh untuk kapasitas hingga 20 MW.
Dengan produksi sampah nasional yang mencapai 65,8 juta ton per tahun, PLTSa dipandang sebagai solusi strategis. Tak hanya mengurangi volume sampah hingga 90%, teknologi ini juga mengurangi emisi metana dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA), salah satu kontributor gas rumah kaca yang kuat.
Batu Bara Masih Jadi Raja
Di balik geliat EBT, fakta di lapangan menunjukkan batu bara tetap menjadi tulang punggung energi nasional. Hingga 2023, lebih dari 60% pembangkit listrik Indonesia masih bergantung pada batu bara. Produksi batu bara pun terus meningkat, dengan target mencapai 664 juta ton pada 2022 dan terus naik pada tahun-tahun berikutnya.
"Transisi energi di Indonesia masih setengah hati. Dominasi batu bara bukan hanya soal teknis, tapi juga politik dan ekonomi," kata Dr. Yenny Wahid, aktivis lingkungan dan peneliti kebijakan energi. Ia menyoroti bagaimana kebijakan energi nasional masih memberi ruang besar bagi pelaku industri batu bara.
Subsidi besar-besaran pada sektor batu bara memperkuat dominasi ini. Pada 2016 saja, subsidi energi fosil di Indonesia mencapai US$8,8 miliar, mayoritas untuk memastikan listrik berbasis batu bara tetap murah di pasar domestik.
"Selama harga energi dari batu bara disubsidi, energi terbarukan akan selalu tertinggal dari segi keekonomian," ujar Yenny.
Greenwashing dalam Balutan Proyek Hijau?
Proyek-proyek EBT seperti PLTSa dan PLTS memang memberi harapan. Namun, sejumlah pakar dan organisasi lingkungan mulai mempertanyakan efektivitasnya. Mereka menilai ada potensi greenwashing—yakni pencitraan seolah ramah lingkungan padahal dampaknya terbatas atau bahkan problematik.
"PLTSa bukan tanpa masalah. Pembakaran sampah berpotensi menghasilkan zat berbahaya jika tidak diawasi ketat," kata Dr. Hermawan Prasetyo, ahli lingkungan dari Universitas Gadjah Mada. Ia menekankan bahwa tanpa teknologi dan regulasi ketat, PLTSa bisa menimbulkan polusi baru.
Selain itu, kapasitas produksi energi dari PLTSa masih relatif kecil. Rata-rata hanya 10–20 MW per proyek. Jika dibandingkan dengan kebutuhan nasional, kontribusinya baru dalam skala mikro. Hal ini memperkuat argumen bahwa PLTSa lebih sebagai proyek simbolik ketimbang transformatif.
PLTS dan Tantangan Efisiensi
Energi surya juga menjadi andalan dalam strategi EBT Indonesia. Namun, keberhasilan PLTS sangat bergantung pada efisiensi teknologi dan faktor eksternal. Rata-rata efisiensi panel surya komersial saat ini berkisar 15–20%, dengan tantangan seperti suhu tinggi, bayangan, dan cuaca mendung yang bisa menurunkan kinerja.
"Kalau ingin PLTS berkontribusi signifikan, harus ada investasi besar di teknologi penyimpanan dan efisiensi panel," ujar Dwi Aryo, pengamat energi dari Institute for Sustainable Energy.
Biaya awal pembangunan PLTS juga masih menjadi penghalang, terutama bagi daerah terpencil. Sementara itu, insentif dan regulasi untuk mendorong adopsi PLTS di tingkat rumah tangga dan swasta masih minim.
Regulasi yang Masih Ketinggalan Zaman
Salah satu hambatan utama transisi energi di Indonesia adalah lambannya reformasi regulasi. Banyak proyek EBT terhambat oleh birokrasi dan ketidakpastian hukum. Izin pembangunan bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan untuk proyek kecil.
Pemerintah mengakui hal ini. KLHK dan Kementerian ESDM kini tengah mengharmonisasi regulasi untuk mempercepat investasi hijau. Namun, hingga pertengahan 2025, proses ini masih belum rampung sepenuhnya.
PLN sebagai operator utama juga menghadapi tantangan dalam menyerap listrik dari EBT, terutama terkait tarif dan integrasi jaringan. Meski telah membuka peluang untuk pembelian listrik dari PLTSa dan PLTS, tarifnya kerap dianggap belum menarik bagi investor.
Transisi energi bukan hanya isu teknis dan ekonomi, tetapi juga soal keadilan sosial. Kelompok masyarakat miskin dan pekerja sektor batu bara adalah pihak paling rentan dalam peralihan ini. Jika transisi dilakukan tanpa skema perlindungan sosial yang kuat, mereka bisa kehilangan pekerjaan tanpa pengganti.
"Just transition harus jadi prinsip utama. Transisi energi tak boleh mengorbankan kelompok rentan," ujar Dian Kusuma, aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang.
Sementara itu, masyarakat di sekitar TPA dan lokasi PLTSa juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Banyak proyek PLTSa yang gagal karena resistensi warga terhadap dampak lingkungan dan bau yang ditimbulkan.
Menuju Transisi yang Nyata, Bukan Palsu
Dengan target ambisius pengurangan emisi 31,89% pada 2030 dan net zero pada 2060, Indonesia butuh langkah lebih konkret. Ini bukan sekadar soal membangun proyek hijau, tapi soal mendesain ulang sistem energi nasional secara menyeluruh.
Itu berarti mengalihkan subsidi dari batu bara ke energi terbarukan, mempercepat reformasi regulasi, memastikan keadilan sosial dalam setiap langkah, dan yang paling penting: transparansi serta akuntabilitas atas proyek-proyek yang diklaim ramah lingkungan.
Revolusi energi bukan sekadar mengganti sumber daya, tapi mengganti cara berpikir dan bertindak. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menumpuk proyek-proyek hijau yang tampak canggih di permukaan, tapi menyembunyikan ketergantungan lama di balik asap batu bara.
0Komentar