Media sosial seperti TikTok dan X mendorong polarisasi, memperkuat emosi, dan melemahkan kemampuan berpikir kritis. Algoritma dan narasi populis membuat kita terjebak dalam ruang gema tanpa ruang untuk logika dan dialog sehat. (Ilustrasi: Apluswire/Nem)

SEKARANG, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi momen atau candaan ringan. Dari unggahan sederhana tentang politik hingga opini tentang isu sehari-hari, platform seperti X, TikTok, dan Instagram telah menjadi arena pertempuran narasi yang sengit.

Satu cuitan salah di X bisa memicu hujatan massal dalam hitungan menit. Fenomena ini mengungkap krisis yang lebih dalam: kemampuan kita untuk berpikir kritis merosot tajam.

Apa yang membuat kita begitu mudah terjebak dalam polarisasi? Bagaimana algoritma dan narasi populis memperkeruh logika kita? Dan yang terpenting, bagaimana kita bisa keluar dari jebakan ini?

Menurut laporan We Are Social 2024, 4,9 miliar orang setara 60,1 persen populasi dunia aktif di media sosial. Rata-rata, mereka menghabiskan 2 jam 31 menit per hari di platform digital.

Di Indonesia, angka ini lebih ekstrem. Sekitar 68 persen penduduk mengakses media sosial setiap hari, dengan TikTok dan X sebagai primadona.

Namun, di balik angka-angka ini ada ancaman nyata. Algoritma yang memanjakan, hoaks terstruktur, dan jebakan populisme telah mengikis kemampuan kita untuk menganalisis informasi secara jernih.


Medan Perang Digital 

Bayangkan Anda membuka X dan melihat unggahan tentang kenaikan harga BBM. Dalam sekejap, kolom komentar dipenuhi makian.

Satu pihak menyebut kebijakan itu pro-rakyat, pihak lain menudingnya sebagai konspirasi korporasi. Argumen nyaris tak terlihat, digantikan oleh emosi mentah.

Situasi ini bukan hal baru. Pada 2015, media sosial masih jadi tempat diskusi ringan meme lucu atau tren musik. Kini, di 2025, setiap topik, dari politik hingga selera kuliner, bisa memicu perang digital.

Pakar komunikasi dari Universitas Marmara, Ali Murat Kirik, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari perang hibrida. Media sosial telah menjadi senjata untuk menyebarkan disinformasi dan memanipulasi persepsi publik.

Dalam konflik Rusia–Ukraina, misalnya, narasi palsu tentang Presiden Volodymyr Zelenskyy yang “kabur dari Kyiv” atau video perang lama yang dimanipulasi menyebar cepat di platform seperti X.

Di Indonesia, kasus serupa terjadi menjelang pemilu lokal Papua 2024. Unggahan provokatif tentang kandidat gubernur memicu polarisasi tajam di masyarakat.

Apa pemicunya? Algoritma media sosial adalah dalang utama.

Platform seperti TikTok, YouTube, dan X dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Laporan MIT Technology Review 2023 mengungkap bahwa algoritma ini memprioritaskan konten yang membangkitkan emosi marah, takut, atau gembira karena emosi membuat pengguna bertahan lebih lama.

Akibatnya, pengguna terperangkap dalam echo chamber, ruang digital yang hanya memperkuat keyakinan mereka tanpa ruang untuk pandangan berbeda.

"Algoritma tidak peduli pada fakta mereka hanya peduli pada waktu layar," kata Kirik.

Data memperkuat argumen ini. Studi Pew Research Center 2024 menunjukkan 62 persen pengguna media sosial di AS hanya terpapar konten yang selaras dengan pandangan politik mereka.

Di Indonesia, survei Kompas 2023 mengungkap bahwa 47 persen pengguna TikTok jarang memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.

Hasilnya, hoaks menyebar seperti api. Klaim tak berdasar tentang “kecurangan pemilu” atau isu sensitif seperti agama di X sering kali viral, memperdalam perpecahan sosial.


Narasi Kita vs Mereka – Senjata Populisme yang Mematikan Nalar


Di tengah hiruk-pikuk digital, narasi “kita vs mereka” menjadi bahan bakar polarisasi. Narasi ini, yang sering dimainkan oleh politisi atau influencer, mengeksploitasi emosi seperti ketakutan dan frustrasi terutama di masa sulit.

Ketika inflasi di Indonesia mencapai 5,5 persen pada 2023 (data Bank Indonesia), keresahan meluas. Di saat seperti ini, tokoh populis muncul dengan pesan sederhana:

“Elit Jakarta mencuri hak rakyat” atau “Imigran merebut pekerjaan kita.”

Pesan ini, meski sering tak berdasar, menarik karena mudah dipahami dan membakar emosi.

Dr. Asep Saepudin, pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa narasi ini menargetkan otak emosional manusia.

“Di tengah ketidakpastian, orang ingin jawaban cepat. Narasi populis menawarkan musuh jelas dan solusi instan, tapi mengorbankan logika,” katanya dalam wawancara dengan Unair News 2023.

Akibatnya, loyalitas buta terhadap tokoh atau kelompok tertentu tumbuh subur. Sementara itu, kemampuan untuk mempertanyakan informasi perlahan hilang.

Ada empat pola berbahaya yang menandai jebakan populisme:

Rasa superioritas
Pendukung narasi populis sering merasa kelompok mereka lebih cerdas, sementara lawan dianggap bodoh. Ini terlihat di X, di mana pendukung satu kandidat mengejek lawan dengan label seperti “kampungan” atau “terbelakang.”

Serangan personal
Alih-alih membahas argumen, diskusi beralih ke tuduhan pribadi. Dalam debat online tentang kebijakan pajak, misalnya, argumen tenggelam oleh komentar seperti “dia pasti disuap!”

Membenarkan tindakan salah
Tindakan seperti menyebarkan hoaks atau bersikap kasar dibenarkan demi “tujuan mulia.” Pendukung tokoh tertentu bahkan membela penyebaran informasi palsu karena “untuk melawan korupsi.”

Pemimpin sebagai korban
Tokoh populis, meski berkuasa, kerap menggambarkan diri sebagai korban. Di X, mereka dipuji sebagai “pejuang rakyat yang diserang media,” memperkuat loyalitas fanatik.


Algoritma yang Memanjakan, Otak yang Melempem


Selain narasi populis, algoritma media sosial memperparah krisis ini. Konten di TikTok, dengan durasi rata-rata 47 detik, dirancang untuk menarik perhatian instan bukan untuk mendorong analisis mendalam.

Studi University of Cambridge menemukan bahwa rentang perhatian manusia kini hanya delapan detik. Lebih pendek dari ikan mas.

Media sosial memperburuk ini dengan menyajikan konten yang “memanjakan” otak. TikTok, misalnya, menganalisis preferensi pengguna lalu menyuguhkan konten sesuai selera.

Hasilnya adalah groupthink digital. Pengguna sulit menerima pandangan yang berbeda karena hanya disuguhi apa yang ingin mereka lihat.

Fenomena ini terlihat jelas dalam isu politik lokal.

Menjelang pemilu Papua 2024, unggahan di X tentang “kecurangan pemilu” atau “konspirasi elit” sering viral tanpa bukti. Menurut Mastel, 58 persen hoaks di Indonesia disebarkan melalui media sosial dengan X dan WhatsApp sebagai kanal utama.

Contoh nyata lain adalah hoaks vaksin COVID-19 tahun 2021. Salah satunya menyebut vaksin menyebabkan kemandulan. Klaim ini viral di WhatsApp. Padahal, verifikasi dari Tempo dan Mafindo membuktikan klaim itu salah. Sayangnya, hanya 29 persen pengguna memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.


Strategi Menyelamatkan Pemikiran Kritis


Lantas, bagaimana melawan krisis ini?

Dr. Saepudin menekankan pentingnya literasi media digital. “Verifikasi sumber adalah langkah pertama. Gunakan alat seperti Google Images atau situs pengecekan fakta seperti Mafindo. Jangan terpancing judul sensasional,” katanya.

Data Mafindo 2024 menunjukkan 73 persen hoaks bisa dicegah jika pengguna memverifikasi sebelum menyebarkan.

Berikut lima langkah praktis untuk menjaga nalar:

• Perhatikan cara argumen dibangun
Jika narasi di X menyerukan “boikot elit” tanpa data, waspadalah.

• Pisahkan kritik dari serangan pribadi
Jika tokoh idola Anda menyerang karakter lawan, bukan gagasannya itu tanda bahaya.

• Hindari rasa superior
Konten yang membuat Anda merasa lebih pintar dari orang lain sering kali manipulatif.

• Cari sudut pandang beragam
Ikuti akun berbeda pandangan atau baca sumber yang tidak biasa Anda konsumsi.

• Akui ketidaksempurnaan
Tidak ada tokoh yang 100 persen benar. Bahkan idola bisa keliru.

Contoh sukses literasi media terlihat pada kasus pemilu 2019. Mafindo dan komunitas relawan berhasil meminimalkan dampak klaim “kecurangan sistemik” lewat kampanye verifikasi massal.

Namun tantangan tetap besar. Di tengah banjir informasi, kita harus aktif mencari kebenaran bukan pasif menunggu fakta. Krisis berpikir kritis di era media sosial bukan akhir cerita. Dengan literasi digital, skeptisisme sehat, dan keberanian keluar dari echo chamber, kita bisa kembali menjadi pemikir mandiri.

Seperti kata Kirik, “Masyarakat harus dilatih literasi media untuk melawan manipulasi.”

Tahun 2025, pilihan ada di tangan kita: tenggelam dalam narasi atau bangkit dengan nalar. Jika ingin saya bantu ubah ke versi AMP, carousel Instagram, atau buatkan narasi video reels berdurasi 1 menit, tinggal beri perintah.