Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang-gadang jadi simbol Indonesia masa depan kini berada di titik genting. Setelah menyerap dana negara dan swasta sebesar Rp151 triliun, proyek raksasa di Kalimantan Timur itu menghadapi kemungkinan moratorium atau penghentian sementara, menyusul ketidakjelasan komitmen politik dari pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Saat fisik pembangunan diklaim mencapai 85% dan proyek bandara VVIP serta Istana Negara hampir rampung, perdebatan justru menghangat, apakah Nusantara akan jadi pusat pemerintahan baru, atau malah berubah arah sebelum dihuni?
Pembangunan Jalan, Keputusan Tertahan
Proyek IKN telah berjalan nyaris tiga tahun. Jalan tol dibuka, jembatan penghubung dibangun, bendungan selesai, dan perkantoran strategis seperti Istana Presiden dan kantor Kemenko berdiri megah di tengah hutan Kalimantan.
Bahkan, bandara khusus VVIP dikabarkan sudah bisa digunakan untuk operasional terbatas sejak akhir 2024.
Namun, meski secara fisik pembangunan terus berlangsung, aspek hukumnya belum tuntas. Sampai akhir Juli 2025, belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang secara resmi menyatakan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara padahal itu mandat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022.
Pemerintah Joko Widodo sempat menjanjikan Keppres tersebut terbit sebelum masa jabatannya berakhir. Tapi kini, tongkat estafet sudah di tangan Prabowo Subianto, dan sinyal kejelasan itu tak kunjung muncul.
NasDem Lontarkan Wacana Moratorium
Ketidakpastian arah ini mendorong Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Saan Mustopa, mengusulkan langkah drastis yakni moratorium sementara pembangunan IKN.
"Pemerintah segera melakukan moratorium sementara sembari menyesuaikan pembangunan IKN dengan kemampuan fiskal dan prioritas nasional," ujar Saan dalam pernyataannya kepada media.
Bagi Saan, tanpa kejelasan hukum dan prioritas fiskal yang selaras, pembangunan IKN bisa menjadi beban baru, terutama saat pemerintah baru memiliki banyak program populis seperti makan siang gratis yang butuh alokasi dana besar.
NasDem juga menyodorkan alternatif: jadikan IKN ibu kota Provinsi Kalimantan Timur saja, atau mulai pemindahan terbatas dari Wakil Presiden dan beberapa kementerian agar tidak mubazir.
Menanggapi usulan tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR, Bahtra Banong, menyatakan lembaganya akan melakukan kajian komprehensif.
Menurutnya, keputusan besar seperti moratorium harus diputuskan berdasarkan evaluasi menyeluruh terhadap aspek hukum, anggaran, serta dampaknya bagi masyarakat lokal dan investor.
"Soal apakah perlu dimoratorium atau tidak, nanti kami akan melakukan kajian yang lebih mendalam," kata Bahtra.
Uang Sudah Terlalu Dalam Masuk
Sampai pertengahan 2025, proyek IKN telah menyerap Rp151,08 triliun, terdiri dari Rp89 triliun dari APBN dan Rp58,41 triliun dari investasi swasta. Pemerintah juga telah menganggarkan Rp48,8 triliun untuk kelanjutan pembangunan dalam lima tahun ke depan (2025–2029).
Ekonom dari INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyebut proyek ini sebagai contoh klasik dari “too big to fail”.
"IKN itu sudah terlalu besar untuk dihapuskan begitu saja. Investasi awal sudah besar, dan jika berhenti mendadak, itu bisa jadi kerugian negara yang signifikan," ujarnya.
Menurutnya, keputusan apapun yang diambil ke depan, tidak bisa lepas dari tanggung jawab terhadap dana publik yang telah dikeluarkan.
Alternatif: IKN Dimanfaatkan Sebagian
Jika moratorium diberlakukan, bukan berarti seluruh proyek harus ditinggalkan. Ekonom Bhima Yudhistira dari Celios justru melihat peluang dari aset yang sudah ada.
"Nusantara bisa digunakan untuk kantor wakil presiden, pelatihan militer, atau kawasan wisata hijau. Dengan begitu, biaya operasional bisa ditutup dari pendapatan alternatif," kata Bhima.
Ia mengingatkan, infrastruktur yang tidak digunakan justru akan menimbulkan biaya pemeliharaan besar dan pemborosan yang lebih parah.
Ronny P. Sasmita, analis dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, menyarankan agar IKN diberi status khusus atau diubah menjadi pusat administrasi provinsi saja.
"Pembangunan bisa terus berjalan tapi tidak lagi menggunakan dana APBN secara besar-besaran," ujarnya.
Efisiensi Fiskal, Tapi Ada Harga Sosial
Wacana moratorium juga datang dari keprihatinan atas fiskal negara yang semakin ketat. Berdasarkan kajian dari FITRA, pemerintah bisa menghemat hingga Rp20–30 triliun jika moratorium dilakukan dan anggaran IKN direalokasi ke program prioritas lain.
Namun, jika pembangunan dihentikan tanpa solusi lanjutan, dampak sosial dan lingkungan bisa signifikan. Setidaknya 54 desa terdampak proyek IKN.
Masyarakat di sekitar wilayah Sepaku yang telah kehilangan lahan, pekerjaan, atau ruang hidup bisa merasakan kerugian berganda jika proyek berhenti tanpa manfaat nyata.
Di sisi lain, sejumlah partai besar menolak gagasan moratorium. Golkar, salah satunya, melalui ketua umum merangkap Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, menyatakan pemerintah tetap konsisten menjalankan proyek IKN.
"Nggak ada moratorium. Rencana dan tahapan IKN sudah disusun dan dilaksanakan sesuai jadwal," tegas Bahlil.
Ia menekankan bahwa pembangunan IKN akan terus dikawal sesuai roadmap hingga tahap akhir pada 2045, terutama karena sudah banyak investor dalam dan luar negeri yang terlibat.
"Kota Sudah Dibangun, Tapi Siapa yang Akan Datang?"
Inilah dilema besar saat ini. Infrastruktur sudah 85% rampung. Istana Presiden hampir jadi. Bandara VVIP sudah siap. Tapi pertanyaan paling mendasar masih belum terjawab: siapa yang akan menempatinya?
Tanpa Keppres, belum ada dasar hukum yang mewajibkan pemindahan pemerintahan. Bahkan Presiden Prabowo pun belum menyampaikan secara gamblang apakah ia akan benar-benar berkantor di Nusantara.
Di sisi lain, relokasi kementerian dan lembaga besar membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan SDM yang tidak sederhana.
Sejumlah pengamat membandingkan dengan pengalaman Brasil dan Malaysia saat memindahkan ibu kota.
Brasília dibangun dari nol dan mulai dihuni dalam waktu 3 tahun. Putrajaya, sebagai pusat administrasi Malaysia, butuh waktu 4 tahun untuk relokasi tahap awal.
Namun, yang membedakan adalah konsistensi politik dan roadmap yang kuat antar rezim. Tanpa itu, kota baru hanya akan jadi lambang megaproyek yang tak terselesaikan.
Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?
Jika Keppres tidak segera diterbitkan, opsi tengah bisa dipertimbangkan:
Pindahkan kantor Wakil Presiden terlebih dahulu
Gunakan fasilitas IKN untuk pelatihan TNI atau pusat pelatihan ASN
Jadikan Nusantara sebagai kawasan hijau eksperimental atau destinasi wisata
Ubah status menjadi kawasan khusus atau pusat administrasi regional
Dengan strategi ini, proyek tetap bernyawa meski tak berjalan penuh, dan dana rakyat tidak sepenuhnya hilang.
IKN adalah proyek paling ambisius yang pernah dijalankan Indonesia sejak era Orde Baru. Tapi hari ini, IKN berada dalam persimpangan: melanjutkan dengan kepastian hukum, atau berhenti sementara demi menyelamatkan fiskal.
Namun, apapun keputusannya, satu hal pasti: membangun kota tidak cukup hanya dengan batu dan semen. Ia butuh keputusan politik yang solid, keberanian mengambil risiko, dan kejelasan visi jangka panjang.
Tanpa itu, Nusantara hanya akan menjadi proyek Rp151 triliun yang dipenuhi bangunan kosong dan janji yang tak ditepati.

0Komentar