![]() |
| Riset global dan kisah anak muda Indonesia ungkap paradoks media sosial: koneksi tanpa batas justru memicu kesepian dan rasa terasing. (Ilustrasi: Apluswire/Nem) |
Pada jam-jam larut malam, layar ponsel tak pernah benar-benar gelap. Ratusan juta orang di seluruh dunia, termasuk hampir 200 juta pengguna aktif di Indonesia, terus menggulir linimasa Instagram, TikTok, dan X (Twitter).
Dalam hitungan detik, mereka bisa melihat kehidupan glamor selebritas, tren tarian viral, atau kabar terbaru teman lama. Namun, di balik banjir interaksi digital itu, banyak yang mengaku justru merasa semakin sendirian.
Pertanyaannya, apakah media sosial yang dirancang untuk menghubungkan justru menanamkan rasa keterasingan baru di era digital?
Sejumlah riset global dan fenomena di tanah air menunjukkan paradoks yang tak bisa diabaikan: koneksi tanpa batas, tetapi kesepian kian menebal.
Koneksi Virtual, Sepi yang Nyata
Sebuah studi yang dilakukan University of Pennsylvania pada 2018 menjadi salah satu penelitian awal yang memicu perdebatan ini.
Dalam riset tersebut, partisipan yang membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari mengalami penurunan signifikan dalam tingkat kesepian dan depresi dibanding kelompok yang menggunakan tanpa batas.
“Media sosial menciptakan ilusi keterhubungan, tapi interaksi itu sering dangkal dan tidak memuaskan secara emosional,” kata Melissa Hunt, psikolog klinis yang memimpin riset itu.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat. Laporan Gallup Global Emotions 2023 mencatat bahwa Gen Z adalah kelompok dengan tingkat kesepian tertinggi di dunia, meskipun mereka juga yang paling aktif di media sosial. Lebih dari 42% responden usia 18–24 tahun menyatakan sering merasa sendirian, angka yang melonjak dibanding satu dekade lalu.
Menurut Dr. Risa Pahlavi, sosiolog media dari Universitas Indonesia, hal ini tak lepas dari social comparison perbandingan sosial yang tak berkesudahan.
“Linimasa media sosial dipenuhi pencapaian orang lain, tubuh ideal, gaya hidup mewah. Otak kita terus membandingkan diri dengan standar yang sering kali tidak realistis. Itu bisa memicu rasa rendah diri dan kesepian, walau dikelilingi ribuan koneksi online,” ujarnya.
Fenomena FOMO (fear of missing out) juga ikut memperparah. Riset dari American Psychological Association (2024) menunjukkan bahwa 60% pengguna muda merasa cemas jika tidak aktif di media sosial, namun 48% dari mereka justru merasa lebih kesepian setelah sesi penggunaan panjang. Sebuah kontradiksi yang menandakan media sosial tak sekadar alat komunikasi, tapi juga sumber tekanan psikologis.
Di Indonesia, Nongkrong untuk Konten, Bukan untuk Dekat
Di kota-kota besar Indonesia, media sosial membentuk cara baru berinteraksi. Nongkrong di kafe tak lagi soal ngobrol panjang, tapi sering jadi ajang berburu konten untuk Instagram atau TikTok.
“Kadang kita datang bukan untuk ketemu teman, tapi untuk foto. Setelah itu semua sibuk dengan HP masing-masing,” kata Ardi (24), pekerja kreatif di Jakarta, yang mengaku aktif di media sosial lebih dari lima jam sehari.
Data We Are Social dan Meltwater 2025 menunjukkan Indonesia memiliki lebih dari 191 juta pengguna aktif media sosial, dengan rata-rata penggunaan 3 jam 5 menit per hari.
Mayoritas pengguna adalah generasi muda, terutama usia 18-34 tahun. Sementara itu, Survei Katadata Insight Center (2024) menemukan bahwa sekitar 32% anak muda di kota besar mengaku merasa kesepian meski sering bertemu teman.
Psikolog remaja, Putri Santosa, menyebut fenomena ini sebagai “keintiman semu”. “Banyak relasi sosial kini bersifat performatif. Nongkrong, foto, unggah di media sosial, lalu interaksi berhenti di situ. Hubungan yang mendalam, percakapan personal, makin jarang terjadi,” jelasnya.
Selain itu, parasocial relationship hubungan satu arah dengan influencer atau figur publik semakin populer di kalangan anak muda.
“Orang merasa dekat dengan selebgram atau YouTuber favorit, tapi itu bukan relasi dua arah. Ini bisa menutupi rasa kesepian sementara, tapi tidak menggantikan kebutuhan koneksi emosional nyata,” tambah Putri.
Algoritma, Dopamin, dan Spiral Kesepian
Mengapa media sosial yang terlihat menyenangkan bisa berujung pada rasa hampa? Jawabannya ada pada cara platform itu dirancang.
Algoritma media sosial seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan. Notifikasi likes dan komentar menciptakan dopamin loop sensasi puas yang mendorong pengguna terus kembali.
Namun, menurut Jean Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, efeknya bisa berbahaya. Dalam bukunya Generations (2023), Twenge menjelaskan bahwa peningkatan penggunaan media sosial berkorelasi dengan lonjakan gangguan kecemasan dan depresi pada remaja sejak 2012, terutama setelah smartphone dan platform berbasis foto-video mendominasi.
“Interaksi online tidak bisa menggantikan dukungan sosial nyata. Semakin lama orang berada di layar, semakin sedikit waktu mereka untuk interaksi tatap muka,” tulis Twenge.
Data WHO 2024 mendukung temuan ini: kasus depresi global meningkat 25% sejak pandemi, dan sebagian peneliti menyebut media sosial sebagai faktor pemicu signifikan, terutama pada generasi muda. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2023 mencatat 18% remaja melaporkan gejala depresi, meningkat dua kali lipat dibanding 2018.
Sementara itu, platform media sosial justru mendorong konsumsi konten yang memicu emosi ekstrem. Konten yang menimbulkan kecemasan, kemarahan, atau rasa iri sering mendapat lebih banyak interaksi.
“Ini menciptakan spiral negatif: makin banyak konten pemicu, makin sering pengguna membandingkan diri, makin besar rasa tidak puas dan kesepian,” kata Dr. Risa.
Media Sosial Bukan Biang Keladi, tapi Cara Kita Menggunakannya
Meski banyak bukti yang menunjukkan dampak negatif media sosial, para ahli sepakat bahwa masalahnya tidak semata pada platform itu sendiri. Cara pengguna memanfaatkan media sosial menjadi penentu.
“Media sosial bisa memperkuat hubungan jika digunakan untuk hal yang benar seperti menjaga kontak dengan keluarga jauh, berbagi dukungan dalam komunitas, atau sebagai sarana edukasi,” kata Putri Santosa.
Ia menyarankan beberapa langkah untuk mengurangi dampak buruk media sosial:
1. Batasi waktu penggunaan – fitur screen time di ponsel bisa membantu.
2. Kurasi linimasa – berhenti mengikuti akun yang memicu rasa rendah diri.
3. Gunakan untuk interaksi positif, seperti grup belajar atau komunitas hobi.
4. Sisihkan waktu untuk interaksi tatap muka – sekadar bertemu teman tanpa agenda konten.
Sejumlah negara juga mulai mengatur literasi digital. Korea Selatan, misalnya, meluncurkan kampanye nasional “Digital Detox” pada 2024, yang mendorong sekolah dan kantor untuk mengadakan hari tanpa gawai. Di Indonesia, upaya serupa masih terbatas pada inisiatif komunitas dan platform edukasi.
Apakah Kesepian Akan Jadi Epidemi Baru?
Tren global menunjukkan kesepian bukan sekadar masalah pribadi, tapi ancaman kesehatan masyarakat. Surgeon General AS pada 2023 menyatakan kesepian kronis meningkatkan risiko kematian dini hingga 29%, setara dengan merokok 15 batang sehari.
Lonjakan kasus gangguan kesehatan mental akibat isolasi sosial juga diprediksi membebani ekonomi global hingga US$1 triliun per tahun (WHO, 2024).
Jika penggunaan media sosial terus meningkat tanpa literasi yang memadai, para ahli khawatir fenomena ini bisa menjadi “epidemi senyap” berikutnya, khususnya di negara-negara dengan penetrasi internet tinggi seperti Indonesia.
Namun, bagi Dr. Risa, solusinya bukan menolak teknologi. “Kuncinya bukan mematikan media sosial, tapi menggunakannya secara sadar. Kita perlu belajar bahwa koneksi digital tidak selalu sama dengan koneksi emosional. Keduanya harus seimbang,” tegasnya.
Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat. Ia bisa mendekatkan, bisa pula menjauhkan. Yang membedakan adalah bagaimana kita menggunakannya, dan sejauh mana kita memahami batas antara dunia digital dan kebutuhan manusiawi untuk benar-benar hadir secara fisik dan emosional dalam kehidupan satu sama lain.

0Komentar