AS kembali menempatkan senjata nuklir taktis B61-12 di Inggris untuk pertama kalinya sejak 2008. Langkah ini memicu reaksi Rusia dan menandai perubahan besar strategi NATO di tengah meningkatnya ketegangan global. (US Air Force/Flick)

Pesawat kargo militer C-17 milik Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) mendarat di Pangkalan Udara RAF Lakenheath, Inggris, pada 16 Juli 2025 setelah terbang dari Pangkalan Udara Kirtland, New Mexico pusat penyimpanan utama senjata nuklir AS. 

Peristiwa ini memicu spekulasi kuat bahwa Washington resmi kembali menempatkan senjata nuklir taktis jenis B61-12 di Inggris untuk pertama kalinya sejak 2008.

Meski pemerintah AS dan Inggris menolak mengonfirmasi atau menyangkal penempatan ini, kebijakan “neither confirm nor deny” atau NCND sudah lama menjadi standar NATO untuk menjaga kerahasiaan nuklir. 

Namun, para analis menilai langkah ini mengindikasikan perubahan besar dalam strategi pertahanan NATO, terutama di tengah meningkatnya ketegangan dengan Rusia, konflik berkepanjangan di Ukraina, dan situasi memanas di Asia serta Timur Tengah.

Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) sudah mengungkap sejak 2023 bahwa dokumen anggaran militer AS menunjukkan rencana “menghidupkan kembali misi nuklir di Inggris”, yang dianggap sebagai langkah memutus pola kebijakan pasca-Perang Dingin. 

"Dokumen anggaran militer mengindikasikan rencana kuat untuk menghidupkan kembali misi nuklir di Inggris, memutus pola kebijakan pasca-Perang Dingin,” tulis laporan FAS.


Kembali Hadirnya B61-12 dan F-35A

Bom nuklir B61-12 yang diduga dibawa memiliki panjang 3,5 meter, bobot 320 kilogram, dan daya ledak bervariasi dari 0,3 hingga 170 kiloton. Senjata ini bisa dipasangkan dengan jet tempur F-35A milik Inggris, yang akan mengembalikan kemampuan serangan nuklir udara Inggris yang hilang sejak penghapusan bom WE.177 pada 1998.

Sidharth Kaushal, analis dari Royal United Services Institute (RUSI), menyebut bahwa penerbangan kargo tersebut kemungkinan besar membawa B61-12 yang bisa diintegrasikan dengan F-35A. “Ini menandakan kembalinya fleksibilitas dalam penggunaan senjata nuklir taktis,” ujarnya kepada The Times.

AS saat ini memiliki sekitar 200 senjata nuklir taktis, dengan setidaknya separuhnya sudah ditempatkan di Eropa, termasuk di Jerman, Belgia, Turki, dan Belanda. Jika penempatan di Inggris dikonfirmasi, total senjata nuklir AS di Eropa akan meningkat signifikan.


Respons Rusia dan Ancaman Balasan

Kremlin segera merespons laporan penempatan ini. Juru bicara Dmitry Peskov mengatakan Moskow “memantau dengan sangat cermat” perkembangan tersebut, dan menganggap langkah itu sebagai bagian dari eskalasi postur nuklir NATO. 

“Doktrin nuklir Rusia tetap berlaku, termasuk klausul pembalasan terhadap serangan negara non-nuklir yang didukung kekuatan nuklir,” ujar Peskov.

Rusia sejak 2023 sudah mengerahkan rudal balistik Iskander yang mampu membawa hulu ledak nuklir ke Belarus, sebagai balasan terhadap ekspansi NATO di Eropa Timur. Dengan penempatan B61-12, analis menilai risiko perlombaan senjata di Eropa meningkat tajam.


Tarik Ulur Politik Global dan Tekanan Ekonomi

Langkah ini juga bertepatan dengan ultimatum Presiden AS Donald Trump kepada Rusia pada 14 Juli 2025, yang memberi waktu 50 hari untuk mencapai kesepakatan damai di Ukraina atau menghadapi tarif impor AS hingga 100%. 

Ancaman itu meningkatkan tensi antara dua kekuatan nuklir dunia, terutama setelah Moskow menuduh NATO melakukan “provokasi terbuka”.

Hans M. Kristensen dari FAS menyebut penempatan ini bagian dari strategi AS untuk mempertahankan daya tawar. 

“AS memiliki 1.830 senjata nuklir taktis, sementara Rusia sekitar 230. Meski jauh lebih sedikit dibanding era Perang Dingin, jumlah ini tetap cukup untuk mengubah dinamika keamanan global,” ujarnya.


Ambiguitas NATO dan Risiko Penggunaan Nuklir

Meski penempatan B61-12 belum secara resmi dikonfirmasi, kebijakan NATO yang menjaga ambiguitas dianggap sengaja dilakukan demi menjaga fleksibilitas strategis. 

Namun, para analis mengingatkan bahwa senjata nuklir taktis berpotensi menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir, karena daya ledaknya yang lebih kecil dan sifatnya yang bisa digunakan di medan perang.

James M. Acton, peneliti dari Carnegie Endowment, mengingatkan bahwa setiap ancaman penggunaan senjata ini bisa memicu eskalasi tak terkendali. 

“Ancaman nuklir Putin bertujuan untuk menekan pihak Barat, tapi jika benar-benar digunakan, risikonya adalah keterlibatan langsung NATO,” ujarnya.

Dengan peningkatan infrastruktur di RAF Lakenheath dan RAF Marham serta integrasi F-35A, langkah AS ini tampaknya bukan penempatan sementara, melainkan bagian dari rencana jangka panjang untuk memperkuat postur pertahanan NATO. 

Meski pemerintah tetap bungkam, fakta di lapangan memperlihatkan Eropa kembali menjadi titik panas nuklir setelah hampir dua dekade.