Wali Kota Ito, Maki Takubo, resmi mundur hanya dua bulan setelah terpilih akibat skandal ijazah palsu. Ia terancam pidana dan reputasi kota ikut tercoreng. (Instagram/@maki.takubo)

Maki Takubo, Wali Kota Ito di Prefektur Shizuoka, Jepang, resmi menyatakan mundur dari jabatannya pada 7 Juli 2025. Langkah itu diambil setelah gelombang kritik publik dan tekanan parlemen kota terkait terbongkarnya dugaan penggunaan ijazah palsu yang ia klaim berasal dari Universitas Toyo, Tokyo.

Takubo sebelumnya disebut sebagai lulusan Fakultas Hukum Universitas Toyo dalam berbagai dokumen resmi dan materi kampanye. 

Namun, universitas tersebut dengan tegas membantah klaim itu, menyatakan bahwa Takubo tidak pernah lulus karena sudah dikeluarkan sejak lama. 

Pernyataan keras dari universitas membuat publik dan majelis kota Ito bergerak cepat, menyebut dugaan itu bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi bentuk kebohongan publik yang melanggar integritas pejabat publik.

“Sekalipun saya mengatakan bahwa ijazah itu asli, tanpa bukti yang solid itu hanya akan jadi perkataan semata. Jadi saya pikir lebih baik menyerahkan kepada kejaksaan untuk menyimpulkan,” kata Takubo dalam pernyataan resminya. 

Ia juga berjanji akan menyerahkan dokumen yang selama ini ia klaim sebagai ijazah dan buku tahunan kepada jaksa dalam waktu 10 hingga 14 hari ke depan.

Langkah ini diambil menyusul putusan bulat Dewan Kota Ito yang mengeluarkan resolusi khusus mendesak Takubo untuk mundur. 

Komite investigasi internal juga langsung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah Jepang untuk menggali lebih dalam dugaan pelanggaran hukum dalam proses pencalonan dan kampanye Takubo.

Pengunduran diri ini menimbulkan gejolak sosial dan politik di tingkat lokal. Takubo, yang awalnya dianggap simbol perubahan karena menjadi salah satu perempuan termuda yang terpilih sebagai wali kota, kini menghadapi kemungkinan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Jabatan Publik Jepang. 

Pasalnya, pencantuman gelar akademik palsu dalam dokumen kampanye bisa dikategorikan sebagai pemberian informasi tidak benar kepada pemilih dan otoritas pemilu.

Kasus ini juga langsung berdampak pada sektor pariwisata lokal. Beberapa agen perjalanan di Jepang dilaporkan membatalkan paket wisata ke kota Ito, yang selama ini dikenal sebagai kota resor dengan sumber air panas terbaik di kawasan timur Jepang. 

Kredibilitas pemerintah kota dianggap tercoreng, dan sektor bisnis lokal ikut merasakan imbasnya. Ito memang sangat bergantung pada pariwisata domestik dan mancanegara—setidaknya 60% pemasukan ekonomi daerah berasal dari sektor ini.

Ketua DPRD Kota Ito, Hiromichi Nakajima, menyebut sikap Takubo “menjijikkan dan tidak tulus”, menandai betapa tajamnya kekecewaan di internal pemerintahan. 

“Saya berharap beliau segera mengundurkan diri agar tidak menimbulkan kebingungan lebih lanjut di kota Ito,” tegas Nakajima dalam rapat darurat pekan lalu.

Takubo sendiri mengaku selama ini percaya bahwa dirinya telah lulus dari universitas tersebut. Namun, pengakuan itu tidak cukup untuk meredam kecurigaan. 

Ijazah yang ia tunjukkan pun akhirnya dinyatakan palsu oleh pihak universitas dan diverifikasi ulang oleh komite dewan kota. 

Sejumlah pengamat politik di Jepang menyebut pembelaan Takubo sebagai bentuk “disonansi kognitif”—yakni pembenaran pribadi atas kesalahan sistemik.

Pengacara publik di Tokyo yang juga ahli hukum tata pemerintahan, Kazuo Minami, menilai bahwa kasus Takubo bisa menjadi preseden serius. 

“Dalam sistem Jepang, pelanggaran kecil dalam dokumen resmi bisa berujung pada penghapusan hak politik. Jika terbukti melanggar UU Pemilu, bukan hanya sanksi administratif, ia bisa kehilangan hak untuk mencalonkan diri selama bertahun-tahun ke depan,” kata Minami dalam wawancara dengan NHK.

Pakar lain juga menyoroti bagaimana sistem pemeriksaan latar belakang dalam pemilu lokal di Jepang tampak masih longgar. 

“Kita bicara tentang negara dengan teknologi dan birokrasi canggih, tapi nyatanya verifikasi ijazah bisa lolos di tahapan administratif. Ini alarm besar bagi sistem demokrasi lokal di Jepang,” ujar Naomi Sugimoto, analis politik dari Japan Policy Forum.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari kejaksaan terkait apakah Takubo akan dipanggil sebagai tersangka atau saksi. 

Namun tekanan publik terus meningkat, terlebih setelah berita ini mendapat sorotan media nasional Jepang selama hampir satu pekan penuh. 

Dalam survei cepat yang dilakukan Asahi Shimbun, 72% responden menyatakan kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan perempuan muda tersebut.

Dalam sejarah politik Jepang, skandal di tingkat wali kota seperti ini memang jarang terjadi, tapi tetap menimbulkan dampak psikologis besar. 

Apalagi sosok seperti Takubo awalnya dianggap angin segar bagi wajah birokrasi lokal yang selama ini didominasi pria berusia lanjut. Kini, semuanya berbalik hanya dalam hitungan minggu.

Jika kelak terbukti bersalah, Takubo bukan hanya kehilangan jabatan, tapi juga bisa menghadapi tuntutan pidana hingga bertahun-tahun penjara, sesuai dengan ketentuan hukum pemalsuan dokumen resmi di Jepang.