Ekonomi Indonesia anjlok ke level terendah sejak 1970-an, hanya 4-5% di 2025, ungkap BI. Ketidakpastian global jadi penyebab utama, namun BI optimistis dengan sinergi dan penurunan suku bunga 5,5% untuk dorong pertumbuhan. (Dok. B-universe/Rommy)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus merosot, bahkan mencapai level terendah dalam beberapa dekade terakhir. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, di tengah ketidakpastian ekonomi global, laju ekonomi Tanah Air kini hanya berkisar 4-5%, angka yang jauh di bawah gemilangnya era oil boom 1970-an yang mampu mencetak pertumbuhan hingga 7,5%. 

Pernyataan ini disampaikan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono, dalam agenda Fit and Proper Test Deputi Gubernur BI di Komisi XI DPR RI, Jakarta, pada Selasa (1/7/2025). 

Ancaman stagnasi ini tak hanya mengguncang pelaku ekonomi, tapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor dan masyarakat luas. 

Dicky memaparkan, perlambatan ekonomi ini bukanlah hal baru. Sebelum tahun 1970, Indonesia menikmati ledakan pertumbuhan ekonomi hingga 7,5%, didorong oleh pendapatan ekspor minyak yang melimpah. 

Memasuki era awal industri manufaktur, pertumbuhan masih cukup kuat di angka 6,3%. Namun, ketika sektor komoditas menjadi motor utama, laju ekonomi mulai turun ke 5,6%. 

Kini, dengan berbagai tantangan global yang kian kompleks, pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam stagnan di kisaran 4-5%. 

“Kita sedang berhadapan dengan banyak sekali tantangan. Pertumbuhan kita cenderung stagnan,” ujar Dicky dengan nada prihatin. 

Data mendukung pernyataan ini. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 hanya mencapai 4,6-5,4%, revisi dari perkiraan sebelumnya yang lebih optimistis. 

World Bank memperkirakan pertumbuhan rata-rata 4,8% untuk periode 2025–2027, sementara OECD sedikit lebih pesimistis dengan proyeksi 4,7%. 

Bahkan, IMF baru-baru ini memangkas estimasi pertumbuhan Indonesia untuk 2025 menjadi 4,7% dari 5,1%, sebagaimana dilaporkan Reuters pada 23 April 2025. 

Angka-angka ini jauh tertinggal dibandingkan era 1970-an, ketika pertumbuhan sering melesat di atas 7%, bahkan menyentuh 10,02% pada 1973, menurut data historis dari Wikipedia. 

Apa yang menyebabkan keadaan ini?

Ketidakpastian ekonomi global menjadi biang keladi utama. Jakarta Globe pada 21 Mei 2025 melaporkan bahwa BI terpaksa memangkas proyeksi pertumbuhan setelah kinerja kuartal pertama 2025 melempem. 

Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga komoditas, dan ketegangan geopolitik turut menekan laju ekonomi domestik. 

“Daya saing Indonesia relatif moderat, bukan posisi yang cukup baik. Kalau kita tidak sikapi dengan bijaksana, ini akan memberikan implikasi berat buat perekonomian kita,” tegas Dicky. 

Dampaknya dirasakan luas. Pelaku usaha, terutama di sektor manufaktur dan ekspor, mulai merasakan tekanan akibat permintaan global yang melemah. 

Masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, juga terkena imbasnya melalui kenaikan harga barang dan ancaman ledakan PHK di beberapa sektor. 

Investor pun mulai was-was, terutama dengan prospek pertumbuhan yang tak lagi seksi dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam atau Filipina yang mampu menjaga momentum lebih baik. 

Meski begitu, BI tak tinggal diam. Dicky menegaskan bahwa sinergi dan kolaborasi antara kementerian, lembaga, dan DPR menjadi kunci untuk keluar dari jerat perlambatan ini. 

“Potensi yang ada dalam perekonomian kita ini besar,” katanya optimistis. 

Salah satu langkah konkret adalah menjaga kebijakan moneter yang kompetitif. Saat ini, suku bunga acuan BI berada di level 5,5%, yang menurut Dicky cukup kompetitif dibandingkan suku bunga federal AS yang berkisar 4,5%. 

“Kita akan terus upayakan untuk membawa suku bunga turun ke bawah,” janjinya, seperti dikutip dari situs resmi BI. 

Penurunan suku bunga ini diharapkan bisa mendorong investasi dan konsumsi domestik, yang menjadi penopang utama ekonomi di tengah lesunya pasar ekspor. 

Namun, tantangan untuk bangkit tak mudah. Data dari World Bank menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat konsisten di atas 5% pada dekade sebelumnya, tetapi kini terjebak di zona stagnasi. 

Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami masa keemasan, seperti pada 1971 dengan pertumbuhan 7,92% atau 1978 dengan 7,95%, menurut Worldometer. 

Kini, dengan proyeksi yang jauh lebih rendah, BI dan pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mengembalikan kejayaan ekonomi tersebut. 

Langkah BI untuk menurunkan suku bunga dan memperkuat koordinasi lintas lembaga patut diapresiasi, tapi keberhasilannya akan bergantung pada eksekusi yang tepat dan respons cepat terhadap dinamika global. 

Bagi masyarakat dan pelaku usaha, pesan Dicky jelas: Indonesia punya potensi besar, tapi tanpa langkah bijak, ancaman stagnasi ekonomi bisa semakin nyata.