Korupsi bukan hanya soal moral, tapi juga respons biologis otak terhadap kekuasaan dan kesempatan. Di Indonesia, lemahnya sistem hukum dan kontrol sosial memperparah refleks ini jadi kebiasaan. (Ilustrasi: Apluswire/Robin Santoso)


Tak ada yang lahir dengan niat menjadi koruptor. Tapi nyatanya, dari kursi kepala desa hingga pucuk kekuasaan negara, praktik korupsi nyaris jadi hal lumrah. Bukan hanya karena lemahnya pengawasan atau minimnya hukuman, tapi karena sesuatu yang lebih dalam: cara kerja otak manusia yang bereaksi terhadap kekuasaan dan kesempatan.

Dalam tubuh manusia, ada satu bagian kecil bernama nucleus accumbens (NAcc). Ini adalah pusat "kesenangan" dalam otak, tempat dopamin dilepaskan saat kita mendapatkan sesuatu yang dianggap menguntungkan  termasuk uang haram dari korupsi. 

Semakin sering seseorang menerima gratifikasi, semakin aktif jalur dopaminik ini, memperkuat kecenderungan untuk mengulanginya. 

Fenomena ini bukan asumsi belaka, tapi dibuktikan dalam riset pemindaian otak (fMRI) yang menemukan peningkatan aktivitas di bagian ini saat seseorang menerima suap.

"Korupsi bisa menjadi candu, seperti kecanduan narkoba. Otak kita memperkuat perilaku yang memberi penghargaan instan," ujar Prof. Tali Sharot, ahli neurosains dari University College London.

Namun korupsi bukan hanya soal kesenangan. Area otak lain, seperti korteks prefrontal ventromedial (vmPFC) dan orbitofrontal cortex (OFC), bertanggung jawab atas pengambilan keputusan etis dan kontrol diri. 

Ketika bagian ini melemah karena pembiasaan atau kekuasaan yang tidak terkendali, seseorang cenderung mengambil keputusan yang merugikan orang lain.

Sementara itu, amigdala  pusat pengatur rasa takut dan konsekuensi  justru berfungsi sebaliknya. Ia seharusnya jadi rem moral. 

Tapi dalam praktik korupsi yang berulang tanpa hukuman tegas, fungsinya tumpul. Tak heran banyak pelaku yang tampak tak takut risiko, bahkan merasa kebal hukum.

Peluang yang Membuka Jalan Korupsi

Satu hal yang sering diabaikan: korupsi bukan hanya soal niat, tapi juga soal kesempatan. Dalam teori Fraud Triangle yang digagas Donald R. Cressey, korupsi lahir dari kombinasi tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.

Dalam sistem yang longgar dan penuh celah, bahkan otak manusia pun bisa "belajar" bahwa korupsi adalah pilihan yang menguntungkan. (antikorupsi.org)

Di Indonesia, di mana sistem pengawasan kerap longgar dan proses hukum lamban, kesempatan seringkali terbuka lebar. Ketua KPK bahkan menegaskan, "Korupsi terjadi karena ada kekuasaan, kesempatan, dan lemahnya integritas."

Teori GONE (Greedy, Opportunity, Need, Exposure) pun menguatkan bahwa keserakahan dan kebutuhan menjadi pendorong, namun kesempatan adalah katalis utama. 

Ketika seseorang memiliki jabatan, akses anggaran, dan pengawasan yang lemah, risiko korupsi melonjak drastis. Integritas pun diuji  atau justru runtuh.

Ketika Lingkungan Menyesuaikan Otak

Otak manusia bersifat plastis ia menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dalam budaya yang permisif terhadap korupsi, otak akan menganggap perilaku menyimpang sebagai sesuatu yang normal. 

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap praktik korupsi yang berulang dapat melemahkan alarm moral dalam otak — respons saraf terhadap tindakan tidak etis pun jadi semakin redup.

Di sinilah masalah sistemik menjadi nyata. Dalam lingkungan kerja atau institusi yang menoleransi korupsi, tekanan sosial justru mendorong individu untuk ikut bermain. 

Ketika pelaku dihargai dan penolak dikucilkan, norma bergeser, dan korupsi menjadi refleks kolektif, bukan lagi keputusan pribadi. (Unsplash/Jesus Monroy)

Seorang staf yang menolak bisa jadi dikucilkan, sementara pelaku korup malah naik jabatan. Akibatnya, korupsi bukan lagi tindakan individu, tapi refleks kolektif.

Normalisasi ini mengaktifkan sistem saraf peniru dalam otak, membuat individu lebih mudah mengikuti arus ketimbang menolak. 

Otak kita, seperti dikatakan ahli psikologi sosial Philip Zimbardo, "lebih cepat beradaptasi pada norma baru daripada berpikir ulang dampaknya."

Gangguan Kepribadian, atau Hanya Adaptasi?

Beberapa studi mengaitkan perilaku koruptif dengan gangguan kepribadian seperti narsisme, psikopati, dan sosiopati. Individu dengan gangguan ini cenderung manipulatif, kurang empati, dan tak peduli terhadap penderitaan orang lain.

Namun perlu diingat, tak semua koruptor adalah psikopat. Banyak yang awalnya jujur, lalu berubah setelah bertahun-tahun berada dalam sistem yang rusak. 

Ini bukan soal penyakit jiwa, tapi soal adaptasi otak terhadap situasi yang memberi penghargaan atas perilaku buruk.

"Berkuasa dalam waktu lama bisa melemahkan jaringan pengendali diri dalam otak," ujar Dr. Robert Sapolsky, neuroendokrinolog dari Stanford University. 

Kekuasaan memberi rasa percaya diri yang berlebihan, mengikis empati, dan membuat seseorang hanya fokus pada tujuan pribadi.

Seberapa Besar Dampaknya?

Dampak korupsi tidak hanya kasatmata dalam bentuk kerugian negara, tapi juga merusak tatanan sosial dan kesehatan mental publik. 

Ketika uang publik dikorupsi, dampaknya terasa dalam bentuk pelayanan publik yang buruk, pendidikan yang mandek, hingga ketimpangan sosial yang terus melebar. (gramedia.com)

Indonesia kehilangan ratusan triliun rupiah per tahun akibat praktik ini. Pada 2022, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia anjlok ke skor 34/100  terendah sejak reformasi.

Di sisi lain, masyarakat yang terus-menerus hidup dalam sistem yang tidak adil mengalami stres kolektif. 

Studi dari Transparency International menyebutkan, warga negara dengan persepsi tinggi terhadap korupsi memiliki tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi, dan lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental seperti depresi.

Strategi Pencegahan: Dari Otak ke Budaya

Kalau korupsi bisa tumbuh karena jalur saraf yang terbangun, maka ia juga bisa dicegah dengan meretas ulang sistem otak. Neurosains menyarankan pencegahan yang lebih dalam dari sekadar hukuman.

Pendidikan antikorupsi sejak dini, misalnya, terbukti efektif membentuk jalur neural yang kuat untuk nilai kejujuran dan etika. 

Pendekatan seperti simulasi etis, diskusi berbasis kasus, dan pelatihan kontrol impuls dapat menguatkan peran korteks prefrontal pusat pengendali moral.

Ketegasan hukum tak hanya memberi efek jera ia bekerja hingga ke dalam otak. Rasa takut atas konsekuensi bisa menjadi rem biologis paling efektif terhadap dorongan korupsi. (ugm.ac.id)

Penegakan hukum yang cepat dan tegas juga sangat penting. Saat hukuman bersifat pasti dan dekat, amigdala akan aktif, memunculkan rasa takut dan memperkuat kendali diri.

Teknologi neuroimaging bahkan sudah mulai digunakan dalam mendeteksi pola otak yang menunjukkan kecenderungan perilaku menyimpang. Meski masih kontroversial, pendekatan ini membuka jalan baru dalam deteksi dini.

Lebih jauh lagi, pendekatan komunitas terbukti mampu membangun norma sosial baru. Ketika masyarakat menolak perilaku korup, tekanan sosial akan berbalik arah, membuat pelaku merasa malu, bukan bangga.

Apakah Kita Juga Akan Korup Jika Punya Kuasa?

Pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan ya atau tidak. Namun data dan riset menunjukkan jika seseorang memiliki kekuasaan, akses, dan kesempatan, serta berada dalam sistem yang permisif tanpa pengawasan besar kemungkinan ia akan tergoda.

Namun bukan berarti semua orang pasti korup. Individu dengan integritas tinggi dan didukung sistem sosial yang bersih bisa menolak godaan itu. Korupsi bukan takdir. Ia bisa dicegah, jika sistemnya dibenahi dan otak diberi alasan untuk berkata tidak.

"Korupsi bukan penyakit, dan tentu saja, bisa dihindari," ujar pakar antikorupsi Indonesia dalam banyak forum. Yang dibutuhkan adalah pemahaman bahwa perilaku manusia termasuk korupsi bisa dipetakan, dipahami, dan diintervensi.

Dalam sistem yang sehat, refleks otak kita pun bisa tetap waras.