Konflik di Sweida, Suriah, menewaskan 1.120 orang. Sebanyak 194 warga sipil Druze diduga dieksekusi aparat keamanan pemerintah Assad. (AP/Vadim Ghirda)

Konflik bersenjata di Sweida, Suriah, meledak tak terkendali sejak akhir pekan lalu. Hingga Senin (21/7/2025), laporan terbaru dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) menyebut jumlah korban tewas telah tembus 1.120 orang. 

Angka ini menjadikan eskalasi di Sweida sebagai salah satu babak paling mematikan dalam konflik sektarian yang menghantui Suriah selama lebih dari satu dekade terakhir.

Mayoritas korban berasal dari komunitas Druze, kelompok minoritas agama yang selama ini relatif netral dalam konflik Suriah. Dari total korban, 427 orang adalah pejuang Druze bersenjata, sedangkan 298 lainnya merupakan warga sipil Druze. 

Lebih mengejutkan lagi, 194 dari warga sipil tersebut tewas akibat eksekusi langsung oleh aparat keamanan pemerintah Suriah, menurut laporan dari Times of Israel dan pemantauan media lokal yang diverifikasi lembaga HAM internasional.

Di sisi lain, pemerintah Suriah juga menanggung kerugian besar. Sedikitnya 354 personel keamanan dan tentara Assad dilaporkan tewas dalam baku tembak yang berlangsung brutal sejak Sabtu malam (13/7/2025). 

Bahkan, 15 di antara mereka tewas akibat serangan udara Israel yang diklaim dilakukan untuk “melindungi komunitas Druze” dari potensi pembantaian massal.

Sumber-sumber diplomatik yang berbicara kepada Reuters menyebut serangan Israel dilakukan secara terkoordinasi dengan AS, termasuk dalam pengiriman bantuan medis ke wilayah pegunungan Sweida. 

Pemerintah Israel mengklaim keterlibatannya “bersifat defensif dan humaniter,” namun langkah ini justru memperkeruh situasi di lapangan. Campur tangan militer Israel dinilai mengubah konflik lokal menjadi medan gesekan regional yang lebih luas.

Konflik ini juga menyeret kelompok lain. Sebanyak 21 warga Badui Sunni turut menjadi korban, termasuk 3 di antaranya yang dieksekusi oleh pejuang Druze. 

Informasi ini menegaskan bahwa pertempuran di Sweida tak lagi sekadar bentrokan dua pihak, melainkan telah menjadi konflik sektarian yang menyebar cepat di antara komunitas agama dan etnis.

Pemerintah Suriah sempat mengumumkan gencatan senjata pada 15 Juli, namun tidak diindahkan oleh pihak-pihak yang bertikai. 

Gencatan baru diumumkan kembali pada 19 Juli 2025, dan hingga saat ini relatif berhasil menahan intensitas kontak senjata, menurut laporan AFP dan France24. 

Namun demikian, situasi tetap genting. Warga sipil yang tersisa mengalami keterbatasan pangan, air bersih, dan akses medis. Lebih dari 128.000 warga dilaporkan telah mengungsi dari Sweida sejak awal bentrokan.

“Saya tidak ingat kapan terakhir kali situasi kemanusiaan di wilayah Druze seburuk ini,” ujar Omar al-Khatib, analis keamanan Timur Tengah dari Damascus Policy Center, kepada Aftonbladet. “Yang terjadi sekarang bukan sekadar konflik, tapi pembersihan etnis dengan dalih stabilisasi.”

Sweida yang selama ini dikenal sebagai kantong Druze damai kini berubah menjadi medan perang terbuka. Serangan udara, penyergapan, hingga eksekusi massal menjadi pemandangan sehari-hari. 

Keterlibatan Israel membuka dimensi baru konflik ini dan membuat banyak pihak khawatir akan pecahnya perang proksi baru di wilayah selatan Suriah, berdekatan dengan perbatasan Yordania dan Dataran Tinggi Golan.

Perkembangan terbaru ini juga mempertegas rapuhnya otoritas pemerintah Suriah di wilayah selatan. Milisi lokal, kelompok adat, hingga suku-suku bersenjata kini bergerak tanpa kendali, memperburuk ketidakstabilan dan menyulitkan upaya perdamaian. 

Banyak pengamat menilai, bila gencatan 19 Juli kembali gagal, maka gelombang kekerasan berikutnya bisa lebih masif.

Sampai saat ini, tidak ada indikasi kuat bahwa semua pihak benar-benar berkomitmen untuk menghentikan konflik. 

Laporan Reuters menyebutkan bahwa pasukan pro-pemerintah masih terus melakukan penangkapan dan penyisiran di pinggiran Sweida, sementara kelompok Druze bersenjata mempertahankan posisinya di pusat kota. 

Sementara itu, suara internasional yang menyerukan penghentian kekerasan masih belum cukup kuat menekan Damaskus dan Tel Aviv untuk mundur dari aksi-aksi militer mereka.