Polda Metro Jaya menutup penyelidikan panjang soal kematian diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) berinisial ADP (39), yang ditemukan meninggal di kamar indekosnya di Menteng, Jakarta Pusat, 8 Juli 2025. Setelah hampir tiga pekan pemeriksaan, polisi menyatakan tidak ada indikasi keterlibatan pihak lain.
Hasil autopsi dan pemeriksaan psikologis menyebut tekanan kesehatan mental menjadi faktor utama yang memengaruhi keputusan korban sebelum kematiannya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra menegaskan, “Indikasi meninggal tanpa keterlibatan pihak lain. Kepolisian belum menemukan adanya peristiwa pidana.” Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers, 29 Juli 2025, usai pemeriksaan 24 saksi dan analisis 103 barang bukti, termasuk rekaman CCTV di 20 titik serta pemeriksaan sidik jari, DNA, toksikologi, digital, dan psikologi forensik.
Hasil autopsi dokter forensik RSCM menyebut penyebab kematian ADP adalah mati lemas akibat gangguan pertukaran oksigen di saluran pernapasan atas. Tidak ada tanda kekerasan, racun, narkotika, atau alkohol di tubuh korban.
![]() |
| Lakban kuning yang ditemukan di lokasi kejadian. Polisi memastikan sidik jari dan DNA pada barang bukti ini hanya milik diplomat Kemlu ADP. (ANTARA FOTO) |
Bukti sidik jari dan DNA pada lakban serta barang bukti lain juga hanya milik ADP. “Bahwa dari lakban yang diperoleh adalah sidik jari ADP,” kata Sigit Kusdianto, ahli sidik jari Pusident Bareskrim.
Tim DNA turut memastikan tak ada materi biologi orang lain di lokasi kejadian. “Kami tidak menemukan di TKP adanya bercak darah, sperma atau material biologi di kamar korban atau di luar kamar korban. Kami tidak menemukan materi dari orang lain,” ujar Kompol Rofiq, anggota tim DNA.
Rekaman CCTV mengungkap aktivitas terakhir ADP sehari sebelum ditemukan tewas. Pada 7 Juli, ia bekerja, berkunjung ke Grand Indonesia, lalu kembali ke kantor Kemlu.
Yang jadi perhatian, ia menghabiskan 1 jam 26 menit di rooftop lantai 12 Kemlu mulai pukul 21.43 WIB. Ia naik membawa dua tas, tetapi turun pukul 23.09 WIB tanpa tas.
Dua tas itu, yang berisi rekam medis dan barang pribadi, ditemukan penyidik di tangga darurat rooftop. ADP pulang ke kos pukul 23.23 WIB. Esok paginya, sekitar pukul 08.30 WIB, penjaga kos menemukan ADP tewas di atas kasur, kepala terlilit lakban kuning dan tubuh berselimut biru, setelah istrinya dari Yogyakarta meminta kamar diperiksa karena tidak bisa menghubungi korban.
Temuan psikologi forensik menjadi kunci dalam menyimpulkan penyebab non-kriminal. Nathanael EJ Sumampow, psikolog forensik Apsifor-Himpsi yang tergabung dalam tim pemeriksa, menyebut ADP dikenal sebagai sosok bertanggung jawab, pekerja keras, dan peduli, tetapi cenderung menekan emosi negatif.
“Almarhum berusaha menginternalisasi berbagai emosi negatif yang dirasakan dan berupaya untuk tidak menunjukkannya di depan orang lain. Yang ini semua tentu menimbulkan dampak seperti burnout, compassion fatigue atau kelelahan kepedulian, terus-menerus terpapar dengan pengalaman-pengalaman penderitaan,” jelasnya.
ADP diketahui pernah mengakses layanan kesehatan mental daring pada 2013 dan 2021. Tekanan kerja sebagai diplomat, khususnya dalam melindungi WNI di luar negeri, membuatnya rentan pada kondisi kelelahan emosional.
“Setelah terakumulasi, penghayatan almarhum mengenai dirinya dan masalah tekanan hidup di episode terakhir kehidupannya mempengaruhi proses pengambilan keputusan almarhum terkait cara kematiannya,” tambah Sumampow.
Kemlu menegaskan telah menyerahkan seluruh data yang diperlukan ke penyidik. “Tidak ada lagi kewajiban yang harus kami lakukan, selain menunggu kesimpulan dari apa yang akan disampaikan oleh pihak kepolisian. Kami sudah share apapun yang kami punya, terkait data-data yang dibutuhkan, yang waktu itu disinyalir akan membantu proses penyelidikan oleh kepolisian yang lebih lanjut,” kata Juru Bicara Kemlu Roy Soemirat.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu Judha Nugraha juga meminta publik tidak membuat spekulasi, “Kita tunggu hasil penyelidikan dari polisi, jangan berspekulasi.”
Meski penyelidikan resmi menutup potensi unsur pidana, pertanyaan publik masih ada. Metode kematian ADP dinilai janggal.
“Itu kan jadi tambah misterius. Apakah dia sering melakukan itu [menutup wajah dengan benda]? Karena membungkus kepala bukan hal yang lazim,” kata Fathul Lubabin Nuqul, Ketua Bidang Pengembangan Keilmuan dan Penelitian Apsifor-Himpsi.
Kasus ini juga menyoroti lemahnya perhatian pada kesehatan mental di sektor kerja bertekanan tinggi, termasuk korps diplomatik. Psikolog forensik menegaskan, tidak ada faktor tunggal yang menjelaskan kondisi psikologis ADP, melainkan akumulasi tekanan pribadi dan profesional.
Bagi masyarakat yang mengalami gejala depresi atau memiliki pikiran untuk bunuh diri, layanan konseling dan bantuan profesional seperti Into the Light Indonesia bisa menjadi rujukan.
Kasus ADP menjadi pengingat pentingnya dukungan sistematis dan akses bantuan bagi pekerja di lingkungan dengan tingkat stres tinggi, agar tragedi serupa tidak terulang.


0Komentar