Riset terbaru menunjukkan pembangunan IKN menekan 10.000 nelayan Teluk Balikpapan: ruang tangkap hilang, mangrove rusak, pendapatan anjlok.( ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU)


Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, yang dulu menjadi salah satu pusat perikanan tradisional di pesisir, kini berubah drastis sejak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dimulai. Wilayah ini tak hanya jadi jalur vital distribusi material proyek, tapi juga lokasi perluasan kawasan industri dan infrastruktur.

Di balik slogan “kota hijau masa depan”, nelayan tradisional justru kehilangan ruang hidup. Mereka terjepit di laut yang semakin sempit dan di darat yang digusur. 

“Dulu bisa dapat 20–30 kilogram ikan atau udang per hari, sekarang cuma cukup untuk makan,” kata Kadir, nelayan Pantai Lango, menggambarkan penurunan hasil tangkapan hingga 70% sejak aktivitas pembangunan IKN mengguncang teluk.


Kargo Padat, Ruang Tangkap Hilang

Sejak 2022, aktivitas kapal kargo di Teluk Balikpapan melonjak tajam. Ribuan ton material konstruksi untuk IKN setiap bulan keluar-masuk melalui Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau, membuat jalur laut yang dulu bebas kini dipenuhi tongkang dan kapal besar.

Nelayan dilarang mendekat 500 meter dari jetty industri, membuat ruang tangkap mereka semakin sempit. Alat tangkap tradisional seperti belat kerap dipindahkan paksa karena dianggap menghalangi aktivitas logistik.

Akibatnya, sebagian besar nelayan terpaksa melaut lebih jauh hingga ke Selat Makassar. Tapi ini bukan tanpa risiko: biaya bahan bakar melonjak hingga 50%, ombak lebih besar, dan potensi kecelakaan lebih tinggi. 

“Kalau tidak ke Makassar, tidak ada ikan. Tapi ke sana pun kadang rugi karena bensin habis,” keluh nelayan Jenebora.

Turunnya hasil tangkapan memicu konflik horizontal. Banyak nelayan masuk ke wilayah tangkap kelompok lain di hulu teluk, memicu gesekan. Sebagian memilih ke perairan yang lebih berbahaya demi bertahan hidup.

Pendapatan pun anjlok drastis. Nelayan udang di Pantai Lango kini hanya bisa membawa pulang 4 kilogram per hari, padahal dulu bisa 20–30 kilogram. Kompensasi perusahaan yang terlibat proyek tak menutup kerugian jangka panjang. 

“Dikasih Rp3 juta per bulan selama tiga bulan. Setelah itu? Kita bertahan sendiri, padahal penghasilan normal bisa Rp10–15 juta per bulan kalau musim bagus,” kata Kadir.


Mangrove Hilang, Teluk Balikpapan Menuju Nasib Teluk Jakarta?

Kerusakan ekosistem pesisir memperburuk situasi. Data LSM lingkungan menunjukkan lebih dari 4 hektare mangrove di Mentawir dan Kariangau hilang akibat pembukaan jalur untuk alat berat pembangunan IKN.

Hilangnya mangrove memicu dampak berantai pada keanekaragaman hayati. Populasi pesut pesisir mamalia laut endemik tersisa hanya 73 ekor (data 2015) dan kini semakin terancam polusi suara kapal serta sedimentasi. Habitat bekantan dan dugong pun ikut menyusut.

Parahnya, praktik industri ilegal ikut mempercepat kerusakan. PT MMP, perusahaan smelter nikel yang beroperasi tanpa izin lingkungan, dilaporkan membuka 30 hektare mangrove di Kariangau. 

“Kalau mangrove rusak, tamatlah hidup kami. Ikan, udang, kepiting, semua hilang,” kata anggota Pokja Pesisir Balikpapan.

Pakar memperingatkan, jika pola ini dibiarkan, Teluk Balikpapan bisa bernasib seperti Teluk Jakarta: ekosistem hancur, sedimentasi ekstrem, dan bencana banjir permanen. Pendangkalan di beberapa titik teluk kini mencapai 6–7 meter akibat sedimentasi dari industri dan pembangunan. 

“Kalau tren ini berlanjut, dalam 10 tahun Teluk Balikpapan bisa jadi teluk mati,” kata seorang akademisi Universitas Mulawarman.


Kebijakan Tata Ruang: Laut Bukan untuk Nelayan?

Di luar kerusakan fisik, masalah terbesar bagi nelayan adalah kebijakan yang menyingkirkan mereka. Perda RZWP3K Kalimantan Timur (2021) menetapkan sebagian besar Teluk Balikpapan sebagai zona industri dan pelabuhan.

Hanya 31,8 hektare yang dialokasikan untuk 10.000 nelayan tradisional padahal kebutuhan ideal mencapai 100 hektare per 100 nelayan. Desa Jenebora dan Pantai Lango bahkan tidak diakui sebagai wilayah tangkap resmi dalam peta tata ruang.

“Ini bias daratan. Perencanaan IKN tidak menganggap laut sebagai ruang hidup masyarakat. Nelayan diposisikan sebagai penghalang proyek,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur. Ia menyebut IKN sebagai “ilusi nasionalisme yang menutupi penderitaan ekologis dan marjinalisasi masyarakat”.

Kebijakan ini juga berdampak di darat. Pembangunan Bandara VVIP IKN mengambil alih tanah warga, termasuk komunitas Suku Balik dan Paser di Pemaluan. 

Relokasi dipaksakan dengan kompensasi yang dianggap tak adil dengan rumah senilai Rp470 juta diganti Rp600 juta, sementara harga tanah baru melonjak karena spekulasi. Investor justru diberi kemudahan akses lahan.

Kondisi ini mendorong gugatan hukum. Pada Maret 2025, kelompok nelayan Balikpapan memenangkan gugatan terhadap Keputusan Menteri Perhubungan No. 54/2023 tentang izin pelabuhan alih muat. Namun kemenangan itu tidak menjamin perlindungan jangka panjang, karena Perda RZWP3K tetap berlaku.


“Kalau Laut Rusak, Tamatlah Hidup Kami”

Di tengah semua janji pemerintah soal kota hijau dan keberlanjutan, nelayan merasakan realita yang jauh berbeda. Otorita IKN sering menyebut komitmen lingkungan dari evaluasi garis pantai hingga program restorasi namun, menurut nelayan dan LSM, langkah nyata di lapangan hampir tak terlihat.

Proses penyusunan Undang-Undang IKN juga menuai kritik. Regulasi ini disusun hanya dalam 17 hari tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat pesisir. 

“Kami tidak pernah benar-benar diajak bicara. Semua keputusan datang dari atas. Yang terdampak justru kami,” kata nelayan Mentawir.

Sejumlah LSM dan akademisi mendorong langkah konkret agar Teluk Balikpapan tak hancur demi proyek negara:

1. Moratorium pembukaan mangrove di kawasan esensial hingga ada kajian lingkungan menyeluruh.

2. Revisi Perda RZWP3K untuk memasukkan zona tangkap tradisional dan pemukiman nelayan.

3. Restorasi ekosistem berbasis komunitas, misalnya melalui ekowisata edukasi di Mentawir.

4. Kompensasi jangka panjang berbasis pendapatan untuk nelayan yang kehilangan ruang hidup, bukan sekadar santunan singkat.

Bagi nelayan, persoalan ini bukan sekadar soal uang. Laut adalah sumber hidup sekaligus identitas mereka. “Kalau laut rusak, tamatlah hidup kami,” tegas Pokja Pesisir Balikpapan.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan yang belum terjawab. mampukah IKN benar-benar menjadi kota hijau masa depan tanpa mengorbankan nelayan dan ekosistem Teluk Balikpapan? Selama suara masyarakat pesisir hanya jadi catatan kaki, jawabannya masih belum pasti.