Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali ungkap kelalaian keselamatan laut dan pola kecelakaan yang terus berulang di jalur vital Jawa–Bali. (ASDP Ketapang for Times Indonesia)

KMP Tunu Pratama Jaya, kapal feri yang mengangkut 65 orang dan 22 kendaraan, tenggelam di Selat Bali pada 2 Juli 2025, hanya 25 menit setelah berangkat dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.

Insiden terjadi jelang tengah malam, sekitar pukul 23:35 WIB. Seberapa besar? Hingga 3 Juli 2025 pukul 17:00 WIB, enam orang dinyatakan meninggal, 30 selamat, dan 29 masih hilang, dengan operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) terkendala cuaca buruk. 

Penumpang, kru kapal, dan keluarga mereka kini terjerat duka dan ketidakpastian, sementara sorotan tertuju pada lemahnya prosedur keselamatan maritim di Indonesia.


Kronologi Tragedi: Dari Panggilan Darurat hingga Kapal Terbalik

Malam itu, Rabu, 2 Juli 2025, KMP Tunu Pratama Jaya berangkat dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali, pada pukul 22:56 WIB. 


Kapal feri jenis Ro-Ro ini mengangkut 65 orang—53 penumpang dan 12 kru—serta 22 kendaraan, termasuk tujuh truk tronton. 

Rute ini adalah jalur vital yang menghubungkan Jawa dan Bali, namun Selat Bali dikenal dengan arus kuat dan gelombang tak terduga.

Sekitar pukul 23:20 WIB, kapal mengirimkan panggilan darurat melalui radio saluran 17, melaporkan kebocoran di ruang mesin. 

Menurut Koordinator Pos SAR Banyuwangi, Wahyu Setiabudi, hanya lima menit kemudian, pukul 23:35 WIB, petugas jaga syahbandar melihat kapal terbalik dan tenggelam di koordinat 8°9'32.35"S, 114°25'6.38"E, dekat Perairan Cekik, Gilimanuk. 

Data BMKG mencatat gelombang laut saat itu mencapai 2–2,5 meter, disertai angin kencang dan arus kuat, memperburuk situasi.

"Sekitar tiga menit setelah oleng, kapal sudah terbalik. Saya masih sempat meloncat," kenang Bejo Santoso, penumpang asal Cluring, Banyuwangi, kepada kantor berita Antara. 

Ia berhasil menjangkau jaket pelampung sebelum kapal karam. Namun, ia pesimistis penumpang di dalam ruang kapal bisa selamat, mengingat kecepatan insiden yang hanya hitungan menit.

Kesaksian serupa datang dari Imron, warga Banyuwangi. "Kapal miring keras tiga kali. Yang ketiga, air laut sudah masuk ke ruang penumpang," ujarnya. 

Ia selamat karena terdorong air ke atas dan keluar melalui celah ruang penumpang, lalu menemukan jaket pelampung di laut. Saiful Munir, penumpang lain, juga terselamatkan berkat jaket pelampung yang "tidak tahu dari mana" ia temukan.

Ketiadaan peringatan darurat dari kru kapal menjadi sorotan utama. "Tak ada pengumuman kapal akan tenggelam. Kami selamat karena keberuntungan menemukan jaket pelampung atau sekoci," ungkap Bejo. 

Hal ini menggambarkan kepanikan di tengah situasi kritis, di mana penumpang harus mengandalkan naluri dan keberuntungan untuk bertahan hidup.


Duka Keluarga dan Ketidakpastian Manifes

Hingga pukul 17:00 WIB, 3 Juli 2025, tim SAR gabungan melaporkan 30 orang selamat, sebagian besar ditemukan di Perairan Gilimanuk, Bali. 

Papan pengumuman pendataan penumpang KMP Tunu Pratama Jaya memuat nama Fitri April Lestari. (Dokumentasi BBC News Indonesia/Eko Purwanto)

Namun, enam orang dinyatakan meninggal, termasuk Fitri April Lestari dan anaknya, Afnan Agil Mustafa (3 tahun), yang jenazahnya diterima RSUD Negara, Jembrana. 

"Ada penambahan satu korban anak-anak, Afnan Agil Mustafa, asal Banyuwangi," kata Direktur RSUD Negara, Ni Putu Eka Indrawati, kepada detikBali. 

Korban meninggal lainnya termasuk Anang Suryono, Eko Sastriyo, Cahyani,  dan Elok Rumantini, yang bekerja di kantin kapal.

Tragisnya, nama Fitri dan Afnan, bersama beberapa korban lain seperti Mardiana Tri Susanti, Jimmy (11 tahun), Asraf Natan (7 tahun), Dina, dan Bintang (2 tahun), tidak tercatat dalam manifes awal kapal. 

Ini memicu kekhawatiran keluarga bahwa jumlah penumpang sebenarnya lebih banyak dari 65 orang yang dilaporkan. 

Helen, yang menanti ibunya, Mardiana, di Jimbaran, Bali, mengaku kehilangan kontak sejak pukul 21:30 WITA malam sebelumnya. 

"Saya hubungi satu per satu, tak ada yang jawab. Nama mereka bahkan tidak ada di manifes," ujarnya sembari menangis kepada wartawan BBC News Indonesia, Christine Nababan.

Di posko darurat Pelabuhan Ketapang, suasana dipenuhi isak tangis. Poniyem,  nenek Afnan, hanya bisa pasrah menanti kabar anaknya, Fitri, dan cucunya, yang kemudian dikonfirmasi meninggal. 

"Saya dapat kabar dari menantu sekitar pukul 03:00 dini hari," katanya. Sementara itu, Komang Wiardani, istri sopir truk I Komang Surata, masih berharap suaminya ditemukan, hidup atau mati. 

"Dia bilang ombak sedang tinggi, lalu suruh saya tidur. Itu percakapan terakhir kami," ujarnya, menahan tangis.

Keluarga Elok Rumantini menerima video penemuan jenazahnya, yang dikenali dari pakaian dan ciri-ciri tubuh. "Keluarga memastikan itu Elok, kru kantin kapal," kata Saiful Bahri, tetangga korban. 

Kakak Elok pingsan di posko darurat saat membaca papan pengumuman nama-nama korban, mencerminkan luka mendalam yang dirasakan keluarga.


Operasi SAR: Berpacu dengan Cuaca Buruk

Operasi SAR dimulai segera setelah laporan tenggelamnya kapal pada pukul 00:18 WIB, 3 Juli 2025. Tim gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, KSOP Tanjung Wangi, KPLP, ASDP, dan relawan dikerahkan. 

Tim SAR gabungan, yang terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, KSOP hingga nelayan sekitar, melakukan pencarian korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (3/7/2025). (Foto: Antara/Budi Candra Setya)

Sembilan kapal, termasuk KN SAR 249 dari Surabaya, menyisir Selat Bali, didukung 80 prajurit Kodim 1617/Jembrana dan drone bawah laut dari Polda Jawa Timur. Namun, gelombang setinggi 2,5 meter, angin kencang, dan arus kuat menghambat upaya pencarian.

"Kondisi laut sangat menantang. Ombak dan arus kuat membuat visibilitas dan pergerakan tim terbatas," kata Kepala Basarnas, Mohammad Syafii. 

Penemuan life jacket di Pantai Boom, Banyuwangi, menunjukkan arus laut membawa puing dan korban jauh dari lokasi tenggelam. 

Hingga pukul 17:00 WIB, operasi dihentikan sementara karena kegelapan dan cuaca buruk, mengurangi peluang menemukan penyintas dalam waktu kritis.

Kepala Kantor SAR Surabaya, Nanang Sigit, melaporkan bahwa korban selamat mayoritas berada di Perairan Gilimanuk, menggunakan sekoci atau berenang ke pesisir, dibantu nelayan setempat. 

"Korban selamat sehat, tapi ada yang kelelahan dan dehidrasi," ujarnya. Satu korban meninggal ditemukan terpisah, menambah kompleksitas pencarian.


Sorotan Keselamatan: Ketiadaan Peringatan dan Jaket Pelampung Tercecer

Pengamat transportasi dari ITB, Sony Sulaksono Wibowo, menyoroti lemahnya prosedur keselamatan di KMP Tunu Pratama Jaya. "Tak ada pengarahan keselamatan awal. Penumpang tidak diberi tahu lokasi jaket pelampung atau jalur evakuasi," katanya. 

Jaket pelampung yang ditemukan penyintas kebanyakan tercecer di laut, bukan didistribusikan kru. "Ini beda dengan penerbangan, yang punya aturan internasional ketat. Laut jadi anak tiri di Indonesia," tambahnya.

Sony mengingatkan insiden KM Sinar Bangun di Danau Toba (2018), yang menewaskan lebih dari 150 orang, sebagai bukti pengawasan keselamatan maritim yang kendor. 

"Setelah Sinar Bangun, aturan jaket pelampung sempat ketat, tapi lambat laun dilonggarkan," ujarnya. Ia menekankan perlunya konsistensi dalam pengawasan dan edukasi keselamatan.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam laporan sebelumnya atas insiden serupa, seperti KMP Rafelia II (2016) dan KMP Yunicee (2021), menemukan pola berulang: kelebihan muatan, stabilitas kapal buruk, dan kurangnya pelatihan darurat. 

Pada KMP Yunicee, air laut di geladak kendaraan dan hanya satu perahu karet penyelamat mempercepat tenggelamnya kapal. 

KMP Rafelia II juga bermasalah dengan pengikatan kendaraan dan modifikasi pintu rampa yang memudahkan masuknya air.


Pola Kecelakaan di Selat Bali: Tragedi yang Berulang

Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali ungkap kelalaian keselamatan laut dan pola kecelakaan yang terus berulang di jalur vital Jawa–Bali. (Ist)

Selat Bali, dengan arus kuat dan gelombang tak terduga, telah menjadi lokasi berulangnya kecelakaan feri. Pada Agustus 2022, KMP Tunu Pratama Jaya sendiri pernah kandas akibat angin 35 knot, mengangkut 15 penumpang dan 7 kendaraan. Meski tanpa korban jiwa, insiden itu menunjukkan kerentanan kapal.

KMP Yunicee (Juni 2021) tenggelam dengan 11 tewas dan 13 hilang, akibat kelebihan muatan dan stabilitas buruk. 

KMP Rafelia II (Maret 2016) menewaskan 6 orang karena muatan berlebih dan modifikasi kapal yang buruk. 

KMP Agung Samudra IX dan KMP Gerbang Samudra 2 (Juni 2023) juga kandas, meski semua penumpang selamat.

"Pola ini menunjukkan Selat Bali butuh standar keselamatan khusus," kata Sony. KNKT merekomendasikan pengawasan ketat terhadap Surat Persetujuan Berlayar (SPB), pelatihan darurat, dan pengelolaan muatan.


Respons Pemerintah dan Seruan Reformasi

Presiden Prabowo Subianto, dari Arab Saudi, memerintahkan Basarnas memprioritaskan penyelamatan. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menekankan koordinasi SAR yang cepat. 

ASDP Indonesia Ferry menegaskan kapal milik PT Raputra Jaya, bukan armada mereka, sambil memastikan lintasan lain tetap beroperasi dengan pengawasan ketat.

Ketua DPR, Puan Maharani, menyerukan perbaikan tata kelola transportasi maritim. "Kita harus pastikan keselamatan penumpang dan kru," katanya. 

DPRD Jawa Timur juga mengkritik lemahnya pengawasan keselamatan pelayaran, menuntut reformasi sistemik.

Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya adalah cerminan buruknya pengawasan keselamatan maritim di Indonesia. Ketiadaan peringatan darurat, jaket pelampung yang tercecer, dan ketidaksesuaian manifes menambah derita korban dan keluarga. 

Dengan 6 korban tewas, 30 selamat, dan 29 masih hilang, operasi SAR terus berpacu dengan waktu di tengah cuaca buruk. 

Pola kecelakaan berulang di Selat Bali menuntut perubahan mendasar: inspeksi kapal yang lebih ketat, pelatihan darurat wajib, dan pengawasan manifes yang akurat. 

Bagi keluarga seperti Helen dan Wiardani, kepastian adalah harapan terakhir di tengah duka yang tak terucap.